Agenda Ramadhan tanggal 12 Maret 2024 pada kegiatan Safari Ilmu di Bulan Ramadhan (Samudra) mengusung tema ”Menghidupkan Tradisi Ilmu dalam Pembangunan Islam: Menyelaraskan Aktivisme dan Intelektualisme” dengan Dr. Tiar Anwar Bachtiar, S.S., M.Hum. sebagai pembicara. Ia menyampaikan bahwa menjadi aktivis merupakan hal yang lumrah dilakukan oleh mahasiswa Indonesia. Mahasiswa Indonesia memiliki banyak kesempatan untuk berekspresi dalam berbagai topik permasalahan negeri. Hal ini menjadi salah satu peran identik mahasiswa untuk berpikir kritis terhadap apa yang sedang terjadi di negara ini dan selalu berpihak kepada masyarakat dengan menjadi pelopor aspirasi untuk Indonesia.
Beliau juga menyampaikan, peran mahasiswa sebagai aktivis ini juga tak luput dengan kondisi sejarah dari Indonesia sendiri yang sebelum merdeka banyak menghadapi gejolak penjajahan. Bermula dari Indonesia yang terbagi sebagai kerajaan Islam dan mencapai puncak keemasannya pada sistem hukum yang dianut saat itu, terkoneksinya dengan pusat kekuasaan Islam di Turki, dan perekonomian umat Islam yang sangat sejahtera pada abad ke-14, 15, dan 16.
Kerajaan Islam terus berkembang pesat di tanah nusantara hingga kolonialisme datang. Kolonialisme bagaikan badai yang menerpa peradaban, kerajaan menjadi terpecah belah, mudah ditaklukan dan diberdaya. Kerajaan Mataram lah yang mula-mula ditaklukan, Batavia dikuasai VOC. VOC yang awalnya datang untuk berdagang rempah, lama kelamaan menjarah dan menjajah. Kerajaan yang telah ditaklukan oleh VOC diwariskan kepada pemerintahan Kerajaan Hindia Belanda. Dari semua negara penjajah, VOC lah yang sangat memoroti Indonesia.
VOC memanfaatkan kekuasaan yang ada di Indonesia melalui kerajaan yang telah ditaklukan dengan menjadikan kaki tangan para penjajah. Kelompok elit pribumi seperti raja dimanfaatkan untuk masuk dalam birokrasi pemerintahan Hindia Belanda namun dengan jabatan dibawah Hindia Belanda. Bagai dicuci pikirannya, kaum elit pribumi dijadikan pegawai oleh pemerintahan kolonialisme.
Beliau juga menyampaikan keadaan ini menyebabkan raja-raja yang sadar akan adanya penjajahan berontak dan tidak mau masuk dalam birokrasi kolonialisme, seperti Pangeran Diponegoro yang melakukan perlawanan dalam Perang Jawa. Sejarah kelam inilah yang menyebabkan peran aktivis penting dan terus mengakar dalam diri masyarakat Indonesia.
Agar kolonialisme tetap gagah, semua kekuatan masyarakat yang menjadi ancaman kolonial dimatikan, rakyat dibodohkan dan dimiskinkan, kebebasan beragama dikebiri hingga Islam melemah. Santri ditangkap, fungsi pesantren dipasifkan dan Kiai diasingkan merupakan upaya kolonial menghilangkan kaum terpelajar dan umat beragama. Namun, beliau juga mengutip perkataan Arnold Toynbee seorang sejarawan Inggris yang menyatakan “Jatuh bangunnya peradaban akan memunculkan peradaban yang baru”.
Indonesia yang saat ini berdiri sebagai negara merdeka merupakan dobrakan perubahan dari segelintir minoritas yang muak akan kolonialisme. Kondisi yang memprihatinkan ini kemudian berbalik ketika kelompok kecil hadir menggerakan masyarakat untuk mengkritisi keadaan dan melakukan perubahan saat itu, atau akrab dikenal sebagai Creative Minority yang muncul dari kaum terpelajar. Beliau menggarisbawahi bahwa perubahan dilakukan dalam kelompok kecil yang memiliki kerasahan, sama seperti saat Nabi Muhammad saw. menyebarkan agama Islam di tanah jahiliyah hingga seluruh dunia.
Setelah kebijakan ratu Belanda untuk memperbolehkan pribumi belajar di universitas dalam negeri atau universitas yang ada di Belanda, munculah kaum terdidik baru setelah politik etis. Mahasiswa yang diberi pencerahan melalui pendidikan setelah dibodohi kolonial berabad-abad, terjadi pencerahan intelektualitas lintas bangsa, bahkan memunculkan keresahan dari masyarakat Belanda akan penjajahan yang terjadi di Indonesia yaitu Douwes Dekker.
Ia menuliskan novel berjudul Max Havelaar, menceritakan kehidupan petani di bawah kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda yang sangat miskin dan menderita sebagai gambaran dari kolonialisme yang terjadi di Indonesia saat itu. Selain itu muncul juga komunitas Intelektual Pesantren yang tercerahkan tentang kondisi penjajahan melalui perjalanan haji, bertukar pikiran dengan kaum cendekia Muslim dari seluruh dunia saat haji. Setelah itu terbentuklah komunitas seperti Budi Utomo, dan mendirikan Sarekat Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan lainnya untuk bersatu menghilangkan kolonialisme dengan memiliki tujuan yang sama, yaitu Indonesia merdeka.
Creative Minority umumnya terdiri dari anak muda, mahasiswa perguruan tinggi yang telah mendapatkan ilmu dan melihat realitas, berada di posisi tengah yang sudah sulit mengakses kaum elit yang telah terperangkap dalam birokrasi Belanda, tetapi dapat melihat kondisi masyarakat yang menderita akibat pembodohan oleh kolonialisme.
Kondisi tersebut menggerakan mahasiswa untuk kritis dan gelisah terhadap apa yang terjadi. Aktivis mahasiswa merupakan contoh dari Creative Minority yang melakukan pemberontakan dengan kuantitas kecil, bukan para kaki tangan Belanda yang masuk dalam birokrasi pemerintahan penjajah. Keresahan yang muncul dari para intelek dan aktivis ini muncul dari semangat belajar yang tinggi dan sadar bahwa belajar dimana saja, dari siapa saja, dan kapan saja; kontekstualisme ilmu yang dipelajari dengan realitas melalui forum diskusi; dan yang sadar akan perjuangan tidak pernah selesai.
Beliau berharap bahwa orang tersebut adalah mahasiswa yang bebas untuk menuntut ilmu, terus menggali pengetahuan, dan terfasilitasi pendidikan jenjang tinggi tanpa harus memikirkan biaya perkuliahan untuk harus memperjuangkan keresahan yang telah dikritisi dan merealisasikan gagasan-gagasan yang telah didiskusikan di forum, memperjuangkan keadilan dengan mendalami peran mahasiswa untuk masyarakat dan negara. (Hafifah Nur Ainiyah/Editor: Hafidah Munisah/Foto: Tim Media Kreatif RDK)