Farid Sebut Akal dan Wahyu Saling Melengkapi, Mentaati, dan Menerangi

SAMUDRA kembali dengan menghadirkan Drs. Farid, S.Ag., M.Hum., dosen Filsafat UGM, sebagai pemateri pada Sabtu, 6 April 2024. Tema yang dibahas hari ini yaitu “Epistemologi Islam: Relasi Akal dan Wahyu”. Berdasarkan epistemologi, beliau mengajak untuk lebih bijaksana melihat kebenaran dan tidak mudah mengklaim kebenaran sebelum berpikir secara serius. Beliau melanjutkan, epistemologi dalam sudut pandang Islam berbeda dengan epistemologi secara umum karena berkaitan dengan konsep berpikir berdasarkan Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dsb. Materi penting dalam epistemologi Islam, yaitu menyangkut sumber pengetahuan, memadukan akal dengan wahyu, menggunakan metode pembelajaran (tadabbur, tafakkur, dan tholabul ‘ilmi), peran ulama, batasan akal, dan keterbukaan mempelajari ilmu lain. 

 

Beliau menjelaskan, sumber pengetahuan dalam Islam ada yang berupa wahyu (Al-Qur’an & Hadits), akal, indera, dan otoritas. Banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang menjelaskan tentang akal, seperti pada Surah Ali-Imran ayat ke-190 sampai 191 yang artinya “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” Dalam ajaran Islam, manusia dianjurkan untuk berpikir dan menggunakan akalnya. Namun, Islam juga membatasi manusia dalam berpikir agar tidak terjerumus dalam kekafiran.

 

Lalu, bagaimana Islam memadukan akal dan wahyu? Sebelum menjawab hal tersebut, beliau mengajak untuk memahami konsep dari akal terlebih dahulu. Dalam Islam, akal merupakan kemampuan memahami, menalar, merenung dan menilai, bukan hanya soal logika penalaran, tetapi juga kebijaksaan dan intuisi. Maka, Islam mengajak untuk berpikir benar-salah dan baik-buruk dalam menilai kebenaran. Sedangkan pengertian akal secara umum, maknanya lebih sempit, mengacu pada kemampuan berpikir secara logis daripada intuisi dan kebijaksanaan. Akal dalam makna secara umum dapat digunakan untuk tujuan yang baik dan buruk. Berdasarkan konsep akal dalam Islam, kedudukan antara akal dengan wahyu saling melengkapi, mentaati, dan menerangi. Beliau menjelaskan dari ketiga unsur tersebut bahwa saling melengkapi artinya memahami makna Al-Qur’an dengan akal, saling mentaati artinya akal harus tunduk terhadap wahyu dan tidak boleh menentang (sehingga tidak akan terjadi pertentangan antara akal dan wahyu), dan antara Al-Qur’an dan akal harus saling menerangi, artinya akal membantu dalam memaknai wahyu tanpa pemaksaan harus logis. 

 

Terakhir, beliau menyimpulkan bahwa wahyu dan akal selalu sejalan, wahyu memberikan prinsip-prinsip yang harus diikuti, lalu akal membantu manusia memahami dan mengaplikasikannya dalam hidup. Dalam menjaga keseimbangan antara keduanya, seseorang harus terus belajar Al-Qur’an dan Hadits sambil menggunakan akalnya untuk merenungi makna dan implikasinya bagi kehidupan. Jika hilang salah satu dari keduanya, hidup tidak akan seimbang. Tanpa wahyu, hidup akan hilang arah, tanpa akal, akan mengalami kesulitan dalam memahami agama dan mengambil keputusan secara bijaksana.  (Efi Munasifah/Editor: Hafidah Munisah/Foto: Tim Media Kreatif RDK)

 

 

 

 

Saksikan videonya berikut ini:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.