Bagaimana Sejarah Perkembangan Ilmu Fikih?

Bagaimana Sejarah Perkembangan Ilmu Fikih?

Catatan Forum Mengeja Hujan seri perkembangan ilmu fiqh tanggal 31 Mei 2024 

Ditulis oleh: Fauzan Adi Nugraha

Departemen Kajian Strategis 2024

 

ILMU FIKIH

  • Pengertian istilah fikih

1.1 Fikih Secara Bahasa

الفهم: Paham/mengerti

Allāh Subhānahu Wa Ta’ālā berfirman:

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمٰوٰتُ السَّبْعُ وَا لْاَ رْضُ وَمَنْ فِيْهِنَّ ۗ وَاِ نْ مِّنْ شَيْءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهٖ وَلٰـكِنْ لَّا تَفْقَهُوْنَ تَسْبِيْحَهُمْ  

“Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allāh. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. ….”

(QS. Al-Isra’ 17: Ayat 44)

 

1.2 Fikih Secara Istilah

Abu Hanifah menjelaskan,

“معرفة النفس مالها وما عليها”

Pengenalan diri terhadap hak dan kewajibannya.

(Al-Mantsur, 1/68)

Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa:

  1. Ruang lingkupnya sangat umum, mencakup semua syariat Islam, seperti: عَمَلِيَّة, عَقِيْدَة, مُعَامَلَة, أدب, تَعَامُل, dll.
  2. Pada masa ini fikih secara istilah tidak hanya mencakup fiqh asghar saja, melainkan juga mencakup fiqh akbar. Ulama yang pertama kali menggunakan istilah ini adalah Abu Hanifah dalam kitabnya al-Fiqhul Akbar. Beliau berkata, “al-Fiqhul Akbar dalam agama lebih baik dari fiqh dalam ilmu, seseorang faqih tentang bagaimana cara beribadah kepada Rabb-nya lebih baik dari mengumpulkan seluruh ilmu.” Prinsip-prinsip fundamental ini, yakni akidah, tauhid, atau ushul ad-din, disebut oleh Imam Abu Hanifah dengan fiqh akbar.
  3. Fiqh dengan definisi ini merupakan pendapat ulama yang sezaman dengan Abu Hanifah.

(Al-Fiqh Al-Islami 1/15)

  1. Kemudian Istilah fiqih ini semakin mengerucut dengan berkembangnya cabang-cabang ilmu yang dipelajari oleh kaum muslimin, sehingga selanjutnya fiqih menjadi salah satu cabang ilmu dalam Islam.

  • Fikih sebagai cabang ilmu

العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسبة من أدلتها التفصيلية

“Ilmu tentang hukum syariat terkait amal yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci.”

(At-Tahmid fi Takhrij Al Furu’, hal. 50 dan Al-Fiqh Al-Islami, 1/15)

 

Dari definisi ini, fiqih memiliki 4 batasan:

  1. Ilmu tentang hukum syariat, ilmu yang bersumber dari firman Allāh dan sabda Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
  2. Ilmu terkait amal, artinya ilmu yang tidak membahas masalah amal, bukan ilmu fiqh, seperti ilmu aqidah misalnya.
  3. Makna kata digali, yaitu disimpulkan melalui ijtihad terhadap dalil-dalil Al-Quran dan sunnah.
  4. Dalil-dalil secara terperinci, meliputi Al-Qur`ān, sunnah, ijma, qiyas, dll.

  • Keutamaan Ilmu Fiqih

Allāh Subhānahu Wa Ta’ālā berfirman:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَآفَّةً ۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَـتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَ لِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْۤا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ

“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya jika mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga dirinya.”

(QS. At-Taubah 9: Ayat 122)

  • Sasaran Ilmu Fiqih

Af’al mukallaf: Semua perbuatan yang menjadi tugas bagi hamba. 

Mukallaf: hamba yang berakal, baligh, dan mendapatkan kewajiban dari syariat.

 

Af’al mukallaf ada 3:

  1.  العم: Amalan

Hukumnya meliputi wajib dan sunnah.

  1. ترك العمل: Meninggalkan suatu amalan

Hukumnya meliputi makruh dan haram.

  1. التخيير: Sifatnya pilihan

Hukumnya mubah.

  • Sistematika Ilmu Fiqih

Sistematika ilmu fiqih terbagi menjadi 4 pokok pembahasan:

  1. Fiqih Ibadah: Thaharoh, salat, zakat, puasa, haji, dan jihad.
  2. Fiqih Mu’āmalah: Aturan dalam muamalah dan perdagangan dalam Islam. Interaksi dengan orang lain yang sifatnya sosial maupun komersil.
  3. Fiqih Usrah: Hukum terkait keluarga.
  4. Fiqih Qadha dan Jinayat: Mengkaji masalah peradilan, kriminalitas, dst.

  • Imam 4 Madzhab:

Berbicara mazhab fiqih di kalangan ahli sunnah wal jama’ah, pikiran kita tentunya tertuju kepada imam yang empat—walaupun sebenarnya memang sudah ada mazhab fiqih yang lain, biasa kita kenal dengan sebutan fiqih minor—, yakni Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah atau Hambaliyyah.

  • Imam Abū Hanīfah

Beliau rahimahullāh adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zutha Al-Kufi, dikenal dengan kunyah Abu Hanifah. Lahir tahun 80 hijriah di masa para shigar sahabat (sahabat junior) masih hidup dan wafat pada tahun 150 hijriah. Di masa beliau, ada empat orang sahabat yang masih hidup. Mereka adalah Anas bin Malik, Abdulloh bin Abi Aufa Al-Anshori, Abu Thufail Amir bin Watsilah, dan Sahal bin Sa’ad As Sa’idi.

 

Beliau adalah sosok Imam yang hati-hati dan teliti dalam menerima sunnah karena beliau hidup di lingkungan di mana aliran-aliran sesat tumbuh dengan subur, yaitu kota Kūfah. Aliran-aliran tersebut tidak segan-segan menggunakan hadits lemah bahkan palsu untuk membenarkan keyakinannya.

 

Imam asy-Syafi’i memuji Imam Abu Hanifah dengan mengatakan,

“النّاس في الفقه عيال على أبي حنيفة”

Dalam masalah fiqih, manusia adalah keturunan Abu Hanifah.

 

Adapun daerah-daerah yang menganut mazhab Imam Abū Hanīfah dapat dirinci sebagai berikut:

Irak ke arah timur, Irak, India, Afghanistan, Pakistan, Asia Tengah, Bangladesh, Uzbekistan, dll.

  • Imam Mālik

Imam Malik rahimahullāh dilahirkan sebagaimana pendapat kebanyakan para ulama pada tahun 93 H di kota Madinah Munawarah. Ia melihat peninggalan para sahabat dan tabi’in sebagaimana melihat peninggalan Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam, semua itu memberikan dampak positif kepada cara pandang beliau, pemahaman, dan  kehidupan beliau. Kota Madinah adalah tempat bersinarnya cahaya Islam, tempat lahirnya ilmu, dan sumber ilmu pengetahuan.

 

Setelah Imam Malik menyempurnakan belajarnya tentang atsar (hadits) dan fatwa, ia mulai mengajar di Masjid Nabawi untuk mengamalkan ilmunya, menurut sebagian riwayat, beliau memulai berfatwa pada umur 17 tahun. Imam Malik rahimahullāh berkata dalam rangka menjelaskan dirinya ketika memulai mengajar dan berfatwa, “Tidak semua orang yang ingin mengajar dan berfatwa di Masjid boleh melakukannya sampai bermusyawarah dengan orang-orang shālih. Jika mereka menganggap ia adalah orang yang berhak memberi fatwa maka ia boleh melakukannya. Tidaklah saya duduk (berfatwa) sampai disaksikan oleh 70 masyaikh dari kalangan para ulama bahwa saya berhak untuk itu.”

 

Beliau juga berkomitmen dalam berfatwa dengan penuh kehati-hatian, berpikir dengan sangat mendalam, dan tidak tergesa-gesa dalam berfatwa karena tergesa-gesa akan menyebabkan kesalahan fatal. Ibnul Qasim murid beliau berkata, “Saya mendengar Malik berkata, ‘Sungguh saya memikirkan masalah tertentu sejak belasan tahun yang lalu, dan sampai sekarang saya belum mendapatkan pendapat yang pas.’” Imam Malik juga pernah berkata, “Barangsiapa yang ingin untuk menjawab pertanyaan, maka hendaknya ia memikirkan nasibnya di neraka dan surga, dan bagaimana ia selamat di negeri akhirat.”

 

Ada satu kaidah pegangan Imam Malik yang berbeda dengan imam yang lain, yaitu lebih mendahulukan ijma ahlul madinah sebelum qaul sahabat dengan beberapa alasan yang kuat pula. Oleh sebab itu, urutan ushul Imam Malik dapat dirinci sebagai berikut:

  1. Al-quran
  2. Sunnah
  3. Ijma
  4. Qiyas
  5. Ijma Ahlul madinah
  6. Qaul sahabat

 

Salah satu guru bagi Imam Malik, yaitu Ibnu Hurmuz. Imam Malik banyak memiliki kemiripan dengan cara pandang dan perangai gurunya tersebut. Salah satu karakteristik ikonik dari Imam Malik, yaitu beliau sering menjawab pertanyaan dengan “saya tidak mengetahui”, hal ini didasari petuah bijak dari gurunya ini, Ibnu Hurmuz. Imam Malik berkata, “Saya mendengar Ibnu Hurmuz berkata, ‘Sudah sepantasnya seorang ‘ālim mewariskan (ilmunya) kepada para murid-muridnya perkataan, ‘Saya tidak mengetahui’, sehingga hal itu menjadi pijakan dan tempat kembalinya, maka ketika salah seorang mereka ditanya tentang sesuatu yang belum diketahuinya, ia (berani) mengatakan, ‘saya tidak mengetahuinya’.” Ibnu Wahab berkata: “Imam Malik sering mengatakan dari banyak pertanyaan yang ditanyakan ‘saya tidak mengetahuinya.’”

 

Imam Malik rahimahullāh juga disebut sebagai Imam Dārul Hijrah. Mengapa disebut demikian? Pertama, tidak ada yang boleh berfatwa di Kota Madinah selama Imam Malik masih berada di sana. Kedu, tidak pernah keluar dari Kota Madinah, kecuali saat Haji.

 

Adapun daerah-daerah yang menganut mazhab Imam Malik dapat dirinci sebagai berikut:

Afrika Bagian Utara: Mesir ke arab Barat, Libia, Maghrib, Al Jazair, Mauritania (Suku Syinqithi), Sudan, dll. 

  • Imam Asy-Syāfi’ī

Imam Syafi’i rahimahullāh lahir di Gaza, yaitu sebuah kota yang letaknya berada di tengah-tengah negeri Syam dari arah Mesir dan selatan Palestina pada tahun 150 H, tepatnya pada bulan Rajab. Dirinya terkenal dengan kecerdasan dan kekuatan hafalannya semenjak kecil dan dia senantiasa dalam keadaan seperti itu sampai dirinya mampu menghafal Al-Qur`ān pada umur tujuh tahun.

 

Besar dalam kondisi yatim dan diasuh oleh ibunya seorang, sebab kekhawatiran ibunya pada dirinya, ibunya lantas mengajaknya berhijrah ke Makkah. Di sana, Imam Syāfi’ī mempelajari bahasa Arab dan juga syair, kemudian Allāh Subhānahu wa ta’ālā menumbukan kecintaan pada diri Imam Syāfi’ī terhadap ilmu fikih yang sedikit diabaikan oleh kebanyakan orang pada zamannya, beliau lalu menulis beberapa karya tulis besar dalam beberapa disiplin ilmu, seperti fikih, ushul fikih, nasab, adab, serta karya tulisan lainnya.

 

Beliaulah Imam dunia yang bernama Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Saafi’ bin as-Saa’ib bin Ubaid bin Abd bin Yazid bin Hasyim bin al-Muthalib bin Abdi Manaf. Seorang ahli ilmu, pembela sunah, sekaligus ahli fikih. Beliau rahimahullāh berkunyah Abu Abdillah al-Quraisy kemudian al-Muthalabi asy-Syafi’i al-Makki al-Ghazi sebagai tanah kelahirannya, beliau masih memiliki hubungan nasab bersama Rasūlullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam yang bertemu dalam silsilah pada anak pamannya karena al-Muthalib adalah saudaranya Hasyim, ayah dari Abdul Muthalib. Beliau mempunyai warna kulit putih, berbadan tinggi, dengan paras wajah yang gagah, disegani, dan beliau memakai semir dengan pohon pacar karena ingin menyelisihi orang-orang Syi’ah. Meskipun hidup yang beliau jalani selalu ditemani dengan kefakiran, tidak membuat beliau  menjadi seseorang yang enggan memberi, bahkan dikabarkan bahwa beliau adalah orang yang sangat dermawan dan tak ada bandingannya.

 

Imam Syafi’i adalah seorang ahli ibadah serta zuhud pada dunia, dikatakan oleh Rabi bin Sulaiman, “Adalah Imam Syafi’i mencukupkan malamnya, sepertiga untuk menulis, sepertiganya lagi untuk sholat, dan sepertiga yang terakhir untuk digunakan tidur. Dan beliau biasa menghatamkan Al-Qur`ān pada bulan ramadhan sebanyak enam puluh kali. Dan pada setiap bulanya sebanyak tiga puluh kali.”

 

Rabi bin Sulaiman mengatakan, “Kalau seandainya kepandaian Imam Syafi’i dibandingkan dengan setengah dari akal penduduk bumi, niscaya akal beliau lebih baik. Kalau sekiranya dari Bani Israil tentulah mereka akan membutuhkannya.” 

  • Imam Ahmad bin Hanbal

Beliau lahir pada tahun 164 H dan tumbuh dalam keadaan yatim, ayahnya meninggal tatkala dirinya masih kecil. Beliau mulai menuntut ilmu dikala usianya masih lima belas tahun, bertubuh sedikit jangkung dengan warna kulit sawo matang, dan menikah pada umurnya yang ke empat puluh tahun.

 

Adz-Dzahabi melanjutkan tentang sirahnya, “Adalah Ahmad bin Hanbal sangat agung urusannya, pemimpin dalam ilmu hadits, ilmu fikih, serta ilmu ibadah. Beliau telah mendapat pengakuan dari lawan-lawannya, sehingga tidak bisa di bedakan mana saudara dan kerabatnya. Beliau sangat disegani ketika berbicara tentang dzat-Nya Allāh ‘Azza wa Jalla, sampai sekiranya Abu Ubaid mengatakan tentangnya, ‘Tidak ada seorangpun yang lebih disegani ucapannya dalam masalah Dzat Allāh Subhānahu wa ta’ālā melebihi ucapannya Ahmad bin Hanbal.’”

Berkata Ali bin al-Madini, “Allāh Subhānahu wa ta’ālā telah memuliakan agama ini dengan dua orang, Abu Bakar Shidiq tatkala beliau memerangi ahli ridah (yang berpaling keluar dari Islam), sedang yang kedua adalah Ahmad bin Hanbal ketika terjadi fitnah pemikiran al-Qur’an adalah makhluk.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.