KAP 7 Juli 2024 | Spesial Tahun Baru Hijriah: Peringatan Muharram dan Doa Bersama

Allah berfirman dalam Q.S. At-Taubah ayat 36

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ

Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”

Konteks ayat di atas berbicara tentang perbuatan menyimpang yang dilakukan oleh orang-orang musyrik. Allah SWT. menjelaskan beberapa hal yang dilakukan atau diucapkan oleh ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang berkaitan dengan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh mereka. Pada At-Taubah ayat 37 disebutkan bahwa orang-orang musyrik tersebut memundurkan bulan-bulan haram sesuai dengan hawa nafsu mereka.

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا

Penggalan ayat diatas bermakna, “Sesungguhnya jumlah bilangan bulan di sisi Allah adalah 12 bulan,” tidak kurang dan tidak lebih dari 12 bulan tersebut. Kata “Asy-syuhur” (bulan-bulan) merupakan bentuk jamak dari “Asy-Syahru” (bulan). Disebut dengan “Asy-syahru” (bulan) karena pada awal bulan akan nampak hilal, sehingga penentuan awal bulan ditentukan berdasarkan nampaknya hilal, bukan wujudnya hilal. Apabila hilal terhalang awan atau hujan yang dapat menyebabkan hilal belum nampak (tetapi sudah ada wujudnya), maka penetapannya adalah dengan menggenapkan bulan sebelumnya, sehingga jumlah bilangan bulan atau jumlah hari adalah 29 atau 30 hari. 

فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ

Fii Kitabillah dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa jumlah bilangan yang berjumlah 12 bulan ini adalah ketetapan Allah SWT. yang telah tertulis di lauhul mahfuz atau ummul kitab.

يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ

Artinya: “Pada hari ketika Allah SWT. menciptakan langit dan bumi,” penggalan ayat tersebut menjelaskan bahwa ketetapan dan takdir Allah SWT. sudah ada sebelum hari penciptaan langit dan bumi. Ketetapan bulan-bulan (seperti nama bulan, letak-letak waktunya) sudah ditetapkan pada hari ketika Allah menciptakan langit dan bumi.

مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ

Artinya: “Diantaranya (12 bulan tersebut) ada 4 (bulan yang disebut dengan) bulan haram.” Disebut bulan haram karena pada 4 bulan tersebut diharamkan untuk berperang. Hal ini berkaitan dengan apa yang Allah SWT. berikan kepada Bangsa Arab sehingga mereka dapat melakukan perjalananan, perdagangan, dan juga haji ataupun umroh tanpa ada gangguan. 

Dalam At-Taubah ayat 36 tidak disebutkan apa yang dimaksud dengan 4 bulan haram tersebut. Akan tetapi dijelaskan dalam Hadits riwayat Bukhari dan Muslim:

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

Artinya: “Waktu itu berputar seperti hari Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu terdiri dari 12 bulan, di antaranya 4 bulan Haram, tiga bulan berurutan, Zulkaidah, Zulhijjah, dan Muharam. Adapun Rajab yang juga merupakan bulannya kaum Mudhar, berada di antara Jumadil Akhir dan Sya’ban.” 

Hal tersebut juga menjadi dasar penanggalan  pada suatu peradaban atau budaya tertentu. Seperti yang digunakan saat ini (Januari hingga Desember) merupakan warisan dari peradaban budaya Romawi. Meskipun dalam penamaan hari terdapat pengaruh dari budaya Islam seperti “Ahad” yang berarti hari pertama, “Itsnain” yang berarti hari kedua, dan seterusnya. Sedangkan “Jumu’ah” bermakna hari berkumpul, karena Hari Jum’at adalah hari raya milik umat Islam dan berkumpul untuk beribadah (sholat Jumat). Kata dalam Bahasa Arab tersebut mengalami akulturasi sehingga menjadi Senin, Selasa, Rabu, Kamis, dan Jumat. Sedangkan Hari Sabtu dan Minggu merupakan pengaruh dari ahlul kitab. Minggu berasal dari kata “Minggos” yang artinya hari untuk beribadah khususnya bagi orang Nasrani dan Hari Sabtu adalah hari beribadah bagi orang Yahudi. 

Rasulullah saw. Menyebutkan bahwa terdapat 3 bulan yang berurutan yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Dan Bulan Rajab yang dinisbatkan kabilah Mudhar. Kabilah Mudhar adalah kabilah di bangsa Arab yang masih memegang prinsip larangan berperang pada bulan haram tersebut. Dalam 12 bulan hijriah ini, diawali dan diakhiri dengan bulan haram (Muharram dan Dzulhijjah). Pada ayat selanjutnya, membahas tentang perbuatan orang-orang musyrik yang memajukan ataupun memundurkan bulan-bulan haram sesuai dengan hawa nafsu mereka. 

Orang Arab jahiliyah tidak menamakan bulan pertama dengan Bulan Muharram melainkan dengan Safar awal. sehingga dapat diketahui bahwa sebelum datangnya Agama Islam, mereka sudah menggunakan bulan-bulan qamariyah kecuali pada Bulan Muharram. Penamaan Safar awal diambil dari keadaan yang terjadi pada saat itu, di mana “safar” bermakna kosong, karena pada saat itu mereka melakukan perdagangan atau peperangan, sehingga terdapat juga Safar tsani. Kemudian terdapat Bulan Rabi’ul awal dan Rabi’ul akhir, di mana “rabi’” bermakna musim gugur. Kemudian Bulan Jumadil akhir dan Jumadil akhir, di mana “jumada” bermakna beku karena pada masa itu sedang mengalami musim dingin. Kemudian Bulan Rajab yang bermakna diagungkan atau dihormati karena pada bulan ini dilarang berperang. Kemudian Bulan Sya’ban, Sya’ban berasal dari kata “Asy-Sya’bu” yang artinya berkelompok untuk mencari air untuk mempersiapkan musim setelahnya yakni musim panas yakni Bulan Ramadhan. Ramadhan diambil dari kata yang bermakna panas terik karena pada waktu ditetapkannya syariat berpuasa (tahun ke-2 hijriah) terjadi ketika musim panas. Kemudian Bulan Syawal, peristiwa pada masa itu yakni ekor unta betina terangkat sebagai isyarat untuk tidak dikawini oleh unta jantan. Hal tersebut hanya berlaku pada hewan, akan tetapi oleh orang Arab jahiliyah dijadikan keyakinan yakni berupa pantangan untuk menikah pada Bulan Syawal. Dalam sirah nabawiyah, Nabi Muhammad saw. pun menikah dan menikahkan para sahabatnya di Bulan Syawal, bahkan Imam Nawawi Rahimahullah mengatakan bahwa dianjurkan untuk menikah di Bulan Syawal. Sehingga apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. dan para sahabat adalah untuk menghilangkan keyakinan yang tidak sesuai tersebut. Kemudian Bulan Dzulqa’dah yang berasal dari kata “alqo’dah” yang bermakna duduk karena terdapat larangan berperang serta melakukan persiapan untuk melakukan haji di Bulan Dzulhijah. Pada Bulan Dzulhijjah, orang Arab jahiliyah juga melakukan ibadah haji, karena haji merupakan warisan dari Nabi Ibrahim a.s. Akan tetapi haji yang dilakukan oleh orang Arab jahiliyah sudah tercampuri oleh kesyirikan. Contohnya ketika Sa’i dari Shafa ke Marwa di antara Shafa dan Marwa mereka membuat berhala kemudian ketika Sa’i mereka menyembelih hewan dan darahnya dioleskan ke berhala tersebut. Hal tersebut menyebabkan para sahabat enggan melakukan Sa’i, hingga Allah menurunkan ayat yakni Al-Baqarah ayat 158:

إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ ٱللَّهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ ٱلْبَيْتَ أَوِ ٱعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ ٱللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ

Artinya: “Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” Allah juga berfirman dalam Q.S. Al-Anfal ayat 35

وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِندَ ٱلْبَيْتِ إِلَّا مُكَآءً وَتَصْدِيَةً ۚ فَذُوقُوا۟ ٱلْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ

Artinya: “Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.” 

Ketika Islam datang, Allah SWT. melalui Nabi Muhammad saw. mengganti nama Safar awal menjadi Muharram. Bahkan disebutkan dengan “Syahrullahil Muharram” yang bermakna bulan Allah yang namanya Muharram. Nama ini disandarkan kepada Allah SWT. sebagai isyarat kemuliaan, sebagaimana nama-nama lain yang disandarkan kepada Allah SWT., seperti Baitullah, Kitabullah, dll. yang menunjukkan kemuliaan. Nama lain dari Bulan Muharram sering disebut dengan Syahrullahi Al-’Ashom atau bulan Allah yang sunyi karena pada Bulan Muharram tidak terjadi peperangan.

Terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan Bulan Muharram:

  1. Diharamkan berperang atau memulai peperangan di bulan haram, serta besarnya perbuatan dosa dan maksiat di dalamnya. Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama terkait hukum larangan berperang di bulan haram. Menurut mayoritas ulama, hukum larangan berperang ini sudah terhapus dan tidak berlaku lagi. Disebutkan oleh Imam Al-Alusi dalam buku tafsir Ruhul Ma’ani “Pelarangan perang di bulan-bulan haram itu hukumnya telah terhapus dan kezaliman yang disebut dimaknai dengan perbuatan dosa dan maksiat (bukan peperangan). Adapun pengkhususan larangan bermaksiat dalam bulan haram meskipun perbuatan maksiat terlarang secara mutlak yakni sebagai bentuk pengagungan terhadap bulan haram, dan hanya Allah SWT. yang berhak membedakan beberapa waktu/bulan berdasarkan keutamaannya masing-masing. 
  2. Peristiwa yang terjadi. Pada hari ke 10 di Bulan Muharram atau yang dikenal dengan Hari Asyura, hari itu dimuliakan oleh para umat beragama wahyu termasuk di dalamnya Agama Islam, Yahudi, dan Nasrani. 

Berdasarkan Hadits Riwayat Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi saw. ketika tiba di Madinah, Beliau mendapatkan mereka (orang Yahudi) melaksanakan puasa Hari Asyura (10 Muharram) dan mereka berkata: “Ini adalah hari raya, yaitu hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan Fir’aun. Lalu Nabi Musa a.s. berpuasa sebagai wujud syukur kepada Allah”. Maka Beliau bersabda: “Akulah yang lebih utama (dekat) terhadap Musa dibanding mereka”. Maka Beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan umat Beliau untuk mempuasainya. Kemudian Nabi Muhammad saw. menganjurkan para sahabat untuk berpuasa. 

Berdasarkan hadits, terdapat beberapa peristiwa yang terjadi pada Hari Asyura yakni ketika Allah SWT. menyelamatkan Nabi Musa dan pengikutnya melalui mukjizat terbelahnya laut merah dan menenggelamkan Fir’aun beserta bala tentaranya. Selain itu, pada Hari Asyura cucu Nabi Muhammad saw. yakni Husain syahid di Karbala.

  1. Dianjurkan berpuasa di Bulan Muharram

Dalam hadits riwayat Muslim,

أَفْضَلُ الصَّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَريضَةِ صَلَاةُ اللَّيْل

Artinya: “Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah; Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” 

Puasa Asyura adalah puasa yang pertama kali dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. di Mekah. Tetapi Beliau tidak memerintahkan manusia untuk berpuasa Asyura. Diceritakan oleh Aisyah RA. yang terdapat dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim bahwa dahulu orang-orang Quraisy pada masa jahiliyah berpuasa pada Hari Asyura. (Tatkala Rasulullah saw. telah hijrah dari Mekah dan Madinah), Rasulullah saw. pun memerintahkan (para sahabat) untuk berpuasa pada hari itu hingga turunnya perintah wajib puasa Ramadhan. Rasulullah (setelah wajibnya puasa Ramadhan) bersabda, “Barang siapa menghendaki maka ia boleh berpuasa Asyura sedangkan yang tidak mau puasa maka tidak mengapa.” Dari hadits tersebut dapat diketahui bahwa ketika Rasulullah saw. datang ke Madinah dan mengetahui bahwa orang Yahudi juga puasa Asyura, maka Rasulullah saw. memerintahkan sahabat untuk berpuasa Asyura. Penggalan ayat pada Surat Al-Baqarah ayat 185,

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

yang  artinya: “Maka, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,” puasa ramadhan telah diwajibkan, Rasulullah saw. tidak  memerintahkan sahabatnya untuk berpuasa Asyura tetapi juga tidak melarang. Sehingga hukum puasa ramadhan adalah wajib dan puasa Asyura menjadi sunnah. Di akhir hayatnya, Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh, jika aku masih hidup sampai tahun depan niscaya aku akan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram” (HR Ahmad). 

Dari hadits riwayat Tirmidzi disebutkan terdapat tiga tingkatan puasa Asyura. Tingkatan yang pertama berpuasa di tanggal 10 Muharram saja. Menurut sebagian ulama dimakruhkan apabila hanya berpuasa di tanggal 10. Tingkatan yang kedua yakni berpuasa dua hari pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Sedangkan tingkatan yang ketiga yakni puasa sebelum dan sesudah Hari Asyura sehingga berpuasa pada tanggal 9, 10, dan 11 Muharram. Tetapi setelah diteliti lebih lanjut oleh sebagian ulama, haditsnya dhaif, sehingga hanya terdapat dua tingkatan yakni berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja atau berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram. yang paling sempurna selain 10 adalah puasa sebelum dan sesudah. Sedangkan menurut Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam bukunya yang berjudul Zaadul Ma’ad, beliau menyebutkan: Tingkatan puasa Asyura ada tiga. Yang paling sempurna selain berpuasa pada tanggal 10 Muharram adalah berpuasa di hari sebelumnya dan sesudahnya. Setelah itu berpuasa di 9 dan 10 inilah yang disebutkan di banyak hadits. Yang lebih berhati-hati adalah berpuasa di tanggal 9, 10, dan 11 Muharram. Jika ada yang berpuasa di hari ke-9, 10, 11, atau ketiganya secara berturut-turut, maka semuanya baik karena bertujuan untuk membedakan/menyelisihi dengan orang Yahudi.

  1. Muharram merupakan bulan yang paling mulia setelah Bulan Ramadhan. 

 

Penanggalan Hijriah

Sejak zaman dahulu, orang Arab jahiliyah telah menggunakan kalender qamariyah. Tetapi, pada zaman sebelum Islam datang, penyebutan tahun didasarkan pada suatu peristiwa seperti Tahun Gajah atau kematian seorang tokoh dan belum menggunakan angka. Hingga berakhirnya kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq masih menggunakan penyebutan yang sama yakni berdasarkan peristiwa yang terjadi pada tahun tersebut. Ketika Umar bin Khattab menjadi pemimpin tertinggi, Abu Musa Al-Asy’ari menjadi gubernur di Masroh, ketika keduanya melakukan surat menyurat, surat yang dikirim tidak mencantumkan tahunnya, hanya mencantumkan tanggal dan bulan. Hal ini dikeluhkan oleh Abu Musa Al-Asy’ari, sehingga Umar bin Khattab beserta para sahabat bermusyawarah untuk mencari jalan keluar supaya penyebutan tahun dapat lebih mudah dan dikenali. Terdapat berbagai usulan, di antaranya yakni tahun pertama hijriah dihitung sejak Nabi Muhammad saw. hijrah dari Mekah ke Madinah. Sehingga hal tersebut disetujui oleh Umar bin Khattab dan terus digunakan hingga saat ini.

Landasan dalam penentuan tanggal ini merujuk pada penggalan ayat pada Q.S. At-Taubah ayat 108

لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى ٱلتَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ

Artinya: “Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (Masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya.”

Pada Bulan Muharram terdapat beberapa amalan yang tidak sesuai dengan sunnah Nabi saw. atau disebut amalan bid’ah. Contoh dari amalan-amalan bid’ah yang terdapat di Bulan Muharram yaitu:

  1. Membaca doa atau dzikir tertentu di awal tahun dan akhir tahun karena tidak ada dalilnya sama sekali,
  2. Keyakinan bahwa Bulan Muharram adalah bulan keramat (tathayyur). Hal ini mengindikasikan adanya kesyirikan. Kejadian sial atau untung tidak bisa dikaitkan dengan waktu,
  3. Peringatan tahun baru hijriah (berbeda dengan memanfaatkan momentum), 
  4. Puasa di awal atau akhir tahun hijriah (haditsnya dhaif),
  5. Menghidupkan malam pertama di Bulan Muharram 
  6. Doa Hari Asyura (haditsnya dhaif),
  7. Sholat Hari Asyura (haditsnya dhaif)
  8. Memperingati kematian Husain atau tragedi karbala. Hal ini dilakukan orang syiah dan mereka menyebutnya dengan hari kesedihan. Sehingga mereka menampakkan syiar-syiar jahiliyah seperti menampar pipi, merobek baju, memukul, meratap, bahkan menyakiti diri sendiri.
  9. Kebalikan dari peringatan wafatnya Husain, terdapat hari bersukacita. Akan ditampakkan hari-hari yang merupakan syiar kemeriahan yang nantinya dapat terbawa menjadi adat atau tradisi oleh masyarakat tertentu dan melahirkan ritual tertentu.

Sedangkan, jika manusia mengada-adakan suatu hal dalam agama termasuk mengerjakan amalan-amalan yang pada sebelumnya tidak ada contohnya, maka ia tertolak. Amalan seperti berdzikir, berdoa, puasa, sholat, dan amalan lainnya boleh saja dilakukan asalkan tidak mengkhususkan pada hari tertentu serta beribadah dengan niat yang lurus.

 

Tanya jawab

  1. Lebih banyak penghuni surga atau penghuni neraka?

Dalam hal ini tidak ada nash yang menjelaskan tentang banyaknya jumlah manusia di surga atau di neraka. Jika dilihat dari sunnatullah atau kehidupan manusia, kebanyakan manusia (dalam Al-Qur’an) itu cenderung disebutkan pada konteks kejelekan. Bahkan dalam hadits disebutkan bahwa umat Nabi Muhammad saw. terpecah menjadi 73 golongan dan semuanya di neraka kecuali hanya 1 golongan. Yang dimaksud di neraka adalah bukan untuk selama-lamanya. 

1 golongan tersebut adalah golongan orang-orang yang mengikuti jalan Rasulullah saw. dan para sahabat beliau. 

  1. Mengapa tahun hijriah tidak menjadi kalender internasional?

Kalender hijriah juga kalender internasional karena digunakan oleh umat Islam di seluruh dunia. Tetapi karena adanya hegemoni barat yang berpengaruh pada peradaban sehingga yang lebih banyak digunakan itu adalah penanggalan dari peradaban romawi yakni masehi.

  1. Bagaimana cara menjelaskan kepada masyarakat yang terbiasa melakukan amalan bid’ah di Bulan Muharram, misalnya doa awal dan akhir tahun jika ditanyakan dalilnya?

Amar ma’ruf nahi munkar dilakukan sesuai dengan kemampuannya. Sesuai dengan hadits arbain ke-34 yang artinya: “Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim). Jika ditanyakan dalilnya (dalil larangan), jawabannya adalah perbuatan tersebut tidak ada dalilnya. Tidak ada hadits yang melarang, tetapi tidak ada hadits yang memerintahkan untuk melakukan perbuatan tersebut, karena prinsip ibadah adalah perintah atau dalil. Kalau perbuatan yang dilakukan tanpa dalil, maka hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.