Paradoks Pribumi dan Dakwah: Mengapa Kita Sulit Berkembang?

Ada satu fenomena yang terus menjadi pertanyaan: mengapa pedagang pribumi sering kalah bersaing dengan pedagang Tionghoa? Ada sebuah anomali dalam dunia bisnis di mana para pebisnis pribumi lebih memilih mengambil pasokan barang secara individu dari pemasok Tionghoa di kota, padahal faktanya mereka mampu melakukan pengambilan barang langsung ke pabrik secara kolektif (tentunya dengan harga yang jauh lebih murah). Hal ini menjadi semakin ironis ketika fakta lainnya muncul, “para pribumi ini bisa jadi berada dalam satu asosiasi pedagang yang sama”. Sayangnya asosiasi ini tidak berjalan secara optimal. Alih alih membangun kekuatan kolektif, justru lebih sering digunakan untuk memperotes kebijakan pemerintah. Padahal bisa saja asosiasi ini digunakan sebagai wadah sistematis untuk merubah permainan pasar yang masih dikuasai pemain Tionghoa dan jaringan bisnis nasional dalam berbagai aspek.

 

Sebuah paradoks yang sangat mengakar dalam para pebisnis pribumi: “tetanggaku adalah pesaing ku”. Orientasi persaingan dan egoisme tak berdasar telah mengarahkan pertarungan tiada henti antar pribumi yang menghambat pertumbuhan kolektif. Mereka cenderung enggan berbagi informasi atau menolak kolaborasi karena beranggapan tidak boleh ada pribumi lain yang tokonya lebih murah, lebih baik, dan lebih terkenal dari toko saya. Padahal, toko pribumi lain nyaris tidak pernah benar benar mengancam eksistensi toko pribumi lainnya, dalam jarak persaingan normal di masing masing sektor. Sebagai contoh, toko modern umumnya memiliki cangkupan pasar dalam radius 500m.

 

Ancaman nyata bagi para pedagang pribumi ini justru adalah makin masifnya pertumbuhan toko toko jaringan nasional yang kini sudah mulai memasuki area pedesaan. Kondisi yang dulu mungkin tidak terbayangkan. Siapa yang mau berbelanja di Indomaret di tengah desa? Tapi faktanya kini tetap saja toko jaringan itu laku di pelosok.

 

Hal serupa ternyata juga terjadi dalam dunia dakwah. Crab Mentality. Kita tidak rela jika kelompok dakwah lain – yang mungkin berbeda manhaj, metode, atau gaya dakwah – ternyata memiliki kinerja dakwah yang lebih baik dari kinerja kelompok kita. Entah dari segi kemampuan mengumpulkan dana, jumlah peserta pengajian, atau skalabilitas dampak dakwah. Anggapannya masih sama. Kelompok saya adalah yang paling benar, maka tidak boleh ada kelompok aliran lain yang pengajiannya lebih ramai, infaknya lebih banyak, dan citranya lebih baik dari kelompok saya.

 

Iklim antar kelompok dakwah jadi lebih banyak terpaku pada saling menyalahkan dan berburuk sangka ketika ada salah satu kelompok yang tiba tiba naik daun – atau mungkin dalam kasus nyatanya semacam “menyampaikan pendapat yang secara akademis lebih kuat dan mengancam eksistensi kelompok lain” sehingga banyak jamaah yang berpindah majlis ilmu. Para pejuang dakwah kita masih beranggapan bahwa target market dari dakwah hanya sebatas pada orang orang religius yang rajin datang ke majelis ilmu. Pertanyaannya, apakah umat muslim memang hanya itu?

 

Sama dengan kasus toko pribumi dan jaringan nasional tadi. Kita sering kali terlalu menyederhanakan cangkupan pasar dan persaingan yang ada. Berapa banyak sebenarnya persentase umat muslim yang dianggap “religius” dibandingkan keseluruhan populasi? Ini bisa menjadi pertanyaan pemantik pertama kita untuk menyadari bahwa “pasar dakwah” yang sebenarnya jauh lebih besar dari itu. Berapa banyak umat muslim yang masih belum menunaikan solat 5 waktu, mengkonsumsi alkohol, kencaduan juni online, atau berapa banyak yang masih mengkonsumsi konten pornografi. Selain itu, masih ada tantangan besar yang datang dari pemikiran pemikiran liberalisme, atheisme, dan kampanye LGBTQ+.

 

Ketika para pedagang pribumi sibuk bersaing harga dan berebut pelanggan, tanpa disadari jaringan ritel besar sudah mulai menguasai keseluruhan rantai pasok hingga membuka cabang di mana-mana. Ketika kelompok dakwah saling debat kusir dan berebut jamaah, arus pemikiran yang bertentangan dengan nilai nilai keislaman perlahan mulai menyebar dan mempengaruhi norma yang ada di masyarakat.

 

Target market dakwah yang masih besar ini yang seharusnya mampu dikelola bersama. Kenapa kita jadi harus khawatir saling berebut jamaah, jika bahkan untuk mendakwahi umat hingga semua sadar untuk solat berjamaah secara rutin di masjid saja kita mungkin butuh waktu belasan hingga puluhan tahun. Belum lagi berbagai permasalahan permasalahan umum (yang disepakati bersama) lainnya. Jadi mengapa harus saling ribut? Kenapa tidak membentuk sebuah gerakan kolektif untuk mengatasi masalah masalah umum ini? Jika kita benar-benar ingin menghidupkan nilai-nilai Islam dalam masyarakat, maka musuh kita bukanlah sesama kelompok dakwah—melainkan kebodohan, kemiskinan, dan jauhnya umat dari nilai-nilai agama.

 

Nb. Lantas bagaimana dengan perbedaan pendapat dalam agama yang masih masuk dalam ranah akademis? tunggu kelanjutan pembahasannya pada tulisan berikutnya 🙂

 

Penulis : Ammar Rafi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses