Oleh: Afina Zahra Fatharani (Departemen Kajian Strategis JS & IMF Fisipol)
Pengantar: Tanggungjawab Intelektual Kita
14 abad silam, Islam hadir di tengah-tengah masyarakat dunia dengan tujuan memerdekan manusia, salah satunya menuntaskan kebodohan dalam rangka menjadikan manusia sebagai khalifah fil ardh yaitu pemimpin di muka bumi. Oleh karenanya, konsekuensi setiap insan yang memilih Islam sebagai falsafah hidupnya adalah wajib membekali dirinya dengan ilmu agar kelak menjadi pemimpin yang baik. Perintah ini selaras dengan kewajiban dalam menuntut ilmu yang diterangkan dalam peristiwa turunnya wahyu pertama di Gua Hira, Qur’an Surah Al-‘Alaq ayat 1 sampai dengan 5.
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
- Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,
- Dia telah menciptakan manusia dari ‘Alaq,
- Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah,
- Yang mengajar manusia dengan pena,
- Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya.
Surah Al-‘Alaq ayat 1-5 menegaskan tentang pentingnya tanggungjawab intelektual dalam melakukan berbagai aktivitas kemanusiaan.[1] Disamping aktivitas yang dilandasi dengan agama, negara turut berperan penting dalam mengatur kehidupan pendidikan. Di dalam UUD 1945 pasal 31 ditegaskan, bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara. Artinya, negara berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan pendidikan setiap warganya –tanpa dalih pengecualian. Pendidikan adalah kebutuhan dasar bagi semua orang. Melalui pendidikan yang memadai, manusia diharapkan dapat memiliki kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosional sebagai bekal dalam menjalani kehidupannya dengan amanah, bertanggung jawab, baik secara pribadi maupun secara sosial.[2]
Pentingnya ilmu sebagai landasan berkegiatan yang kita lakukan agar tidak keluar dari koridor yang berlaku, adalah poin penting bagaimana tanggungjawab negara dalam memberikan hak pendidikan secara merata. Namun, bagaimana jadinya ketika kewajiban menuntut ilmu tersebut justru terhalang oleh keterbatasan hak untuk mengaksesnya? Bagaimana jadinya, ketika negara yang dalam hal ini berperan sentral dalam mendistribusikan pendidikan, malah memperjual-belikan hak tersebut kepada pihak swasta yang berorientasi pada keuntungan?
Hari ini, kita harus benar-benar sadar, bahwa pendidikan yang seharusnya menjadi barang publik telah menjelma menjadi barang private yang tidak semua orang mudah untuk mendapatkannya. Student loan (kredit pendidikan) adalah contoh konkret adanya bukti, bahwa pendidikan telah menyimpang dari asas-asas tanggungjawab negara. Alih-alih memberikan masyarakat akses untuk mengenyam perguruan tinggi yang lebih murah, student loan justru mengancam kehidupan mahasiswa, pasca ia wisuda.
Apa Itu Student Loan dan Bagaimana Negara Memandangnya?
Sederhananya, student loan merupakan kredit pendidikan yang diberikan pemerintah melalui pihak ketiga (swasta dalam hal ini pihak perbankan) kepada masyarakat perindividu yang ingin mengenyam bangku kuliah dimana kemampuan finansial mereka belum memadai jika harus membiayai dana perkuliahan secara konvensional. Menurut Presiden Joko Widodo, investasi SDM merupakan pekerjaan besar selanjutnya setelah program pembangunan infrastruktur yang massif.[3] Dengan diterapkannya kredit pendidikan ini, semua orang berhak untuk mendapatkan akses pendidikan tinggi mulai dari S1 sampai dengan S3 siapapun orangnya yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan pihak perbankan dan pemerintah. Dengan demikian, Jokowi berharap persaingan di dalam dunia pendidikan akan semakin maju dengan banyaknya tercipta inovasi atau bahkan lapangan pekerjaan yang baru.
Jika kita berkaca dari IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Indonesia hari ini, dimana lebih dari 6 juta penduduk berusia 19-24 tahun terdaftar di perguruan tinggi Indonesia, angka IPM kita masih berada di urutan ke-110 di seluruh dunia. Kualitasnya masih tertinggal di belakang Singapura (12), Malaysia (60), dan bahkan Thailand (92) di wilayah Asia Tenggara. Belum ada provinsi yang masuk dalam kategori IPM tinggi di Indonesia. Pemerintah melihat, rendahnya IPM Indonesia hari ini dapat dijadikan sebab dan rasionalisasi mereka dalam menerapkan kebijakan student loan dengan bekerjasama dengan pihak swasta. Presiden Jokowi beranggapan, dengan hadirnya pembiyayaan dari pihak ketiga dalam bentuk kredit ini, budaya konsumtif masyarakat Indonesia dapat dialihkan ke dalam bentuk lain yang lebih produktif yaitu dalam bentuk kredit pendidikan. Masyarakat Indonesia yang selama ini sulit untuk mengakses pendidikan tinggi bersebab biaya kuliah yang mahal, diharapkan dapat mengambil kesempatan pinjaman kredit ini untuk mengikuti perkuliahan. Dengan demikian, bukan hanya angka harapan partisipasi masyarakat terhadap akses pendidikan tinggi yang naik, IPM Indonesia secara keseluruhan juga secara simultan diharapkan dapat meningkat dengan jumlah lapangan pekerjaan yang turut bertambah.
Namun, catatan yang perlu diingat dari paparan di atas adalah, bahwa hal tersebut hanya berdasarkan perspektif pemerintahan saja. Sebagai insan akademis, kita harus melihat konteks yang lebih luas secara holistik agar menutup celah kegagalan kebijakan, karena bagaimanapun juga, implementasi student loan ini merupakan kebijakan yang wajib disiasati karena akan menjadi ‘bom waktu’ yang sewaktu-waktu dapat meledak. Beban mahasiswa ketika ia wisuda akan terjerat oleh ‘hutang’ kepada pihak bank yang memberikannya kredit semasa kuliah. Belum lagi berbicara soal bunga besar yang timbul ketika terlambat membayar, kepastian mendapatkan pekerjaan pasca wisuda yang belum jelas, urusan gagal bayar debitur yang tidak sedikit, hingga segudang potensi masalah lain yang dapat muncul dikemudian hari. Sampai pada titik ini, bolehkah kita bertanya serius, maukah negara bertanggungjawab?
Sejarah Student Loan di Indonesia dan Ancaman yang Terjadi di Amerika Serikat
2018 bukan kali pertama Indonesia menerapkan kebijakan student loan, pada dekade 1980-an, negara kita pernah menerapkan kebijakan serupa di bawah pimpinan Presiden Soeharto yang diberi nama Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI). Kredit KMI akan dibayarkan pasca mahasiswa wisuda dan sebagai jaminannya ijazah akan ditahan oleh pihak universitas. Akan tetapi, kebijakan ini dianggap gagal karena banyak mahasiswa tidak melunasi kredit yang dipinjamkan pasca ia wisuda. Ternyata, yang mereka butuhkan untuk bekerja cukup dengan fotocopy ijazah yang dilegalisir dari pihak kampus saja, tidak dengan ijazah yang asli. Hal ini menyebabkan kredit macet dan berdampak sistemik pada krisis moneter yang buruk dengan puncaknya di tahun 1998.[4]
Selain itu, kita juga wajib melihat bagaimana student loan sudah menjadi masalah sosial di Negeri Paman Sam. Sekitar 20 juta rakyat Amerika Serikat adalah mahasiswa di setiap tahunnya. 12 juta diantaranya atau sekitar 60% adalah mahasiswa yang menggunakan kredit pendidikan untuk membantu pembiayaan perkuliahan mereka. Masalahnya adalah sekitar 13.7% dari peminjam student loan di Amerika Serikat dinyatakan “gagal bayar” terhadap hutang pendidikannya pada tahun 2011.[5]
Menurut catatan Student Loan Hero yang selalu diperbaharui, per Januari 2018, total utang kredit pendidikan sekitar 44 juta mahasiswa AS mencapai $1.48 triliun. Nilainya lebih banyak $620 juta dari total pinjaman kartu kredit. Washington Post menyebut angkanya jadi dua kali lipat sejak resesi melanda Paman Sam satu dekade silam.[6] Jerome Hayden Powell selaku Gubernur The Fed (Bank Sentral Amerika Serikat) mengungkapkan, berkembangnya tingkat utang pendidikan di Amerika Serikat dapat memperlambat perkembangan ekonomi negara adidaya tersebut.[7] Untuk lebih lengkapnya, Tirto.id memiliki grafik yang menarik untuk menggambarkan masalah di negara tersebut.
Penutup: Refleksi dan Kemana Lagi Kita Berharap?
Implementasi kebijakan student loan tidak dapat dipungkiri akan berperan besar dalam peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi di Indonesia. Namun, banyak hal yang harus menjadi catatan penting bagi pemerintah dan calon mahasiswa yang akan mengambil kesempatan ini. Pertama, penerapan student loan dikhawatirkan melanggar UU Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. Pada pasal 76 ayat (1) disebutkan bahwa pemerintah pusat dan daerah, serta perguruan tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Sementara pada ayat (2) pemenuhan hak mahasiswa sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan beasiswa bagi mahasiswa berprestasi, memberi bantuan atau membebaskan biaya pendidikan, serta pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau telah memperoleh pekerjaan.[8] Jadi, sejatinya pemerintah tidak boleh benar-benar lepas dari tanggungjawabnya untuk memberikan pendidikan yang terjangkau lagi berkeadilan.
Kedua, pengesahan student loan yang juga sudah disepakati oleh beberapa Bank di Indonesia selaku yang memberikan kredit juga berpotensi menimbulkan banyak risiko di masa yang akan datang, pelajaran berharga dari Indonesia pada dekade 1980-an dan susahnya Amerika Serikat mengelola student loan hari ini, adalah ancaman yang sewaktu-waktu bisa mengakibatkan masalah sistemik yang dapat mengganggu stabilitas perekonomian hingga ketahanan nasional. Risiko gagal bayar pada tenggat waktu yang ditentukan dan bunga yang besar adalah masalah lain yang harus diselesaikan pemerintah sebelum menerapkan kebijakan ini secara penuh di seluruh perguruan tinggi Indonesia. Hingga sampai pada titik ini, kami benar-benar bertanya, jika pendidikan sudah menjadi komoditi bisnis untuk mencari untung sebesar-besarnya, kemana lagi kami berharap ada pendidikan yang murni dan bebas dari intervensi?
Referensi:
[1] Said, C. (2016). Paradigma Pendidikan Dalam Perspektif Surah Al-Alaq Ayat 1-5. Hunafa: Jurnal Studia Islamika, 13(1), 91-117. Diakses Pada 17 April 2018. Dilansir dari laman https://www.jurnalhunafa.org/index.php/hunafa/article/view/415
[2] Ibid.
[3] Riana, F. (2018). Setelah Infrastruktur, Jokowi Fokus Investasi Sumber Daya Manusia. Diakses pada 15 April 2018. https://bisnis.tempo.co/read/1070034/setelah-infrastruktur-jokowi-fokus-investasi-sumber-daya-manusia
[4] Lusiana, U. Student Loan As A Funding Solution For College Student In Indonesia
[5] Anam, Rifqi Khairul. (2018). Perihal Student Loan: Mempertanyakan Kebutuhan dan Kesiapan Indonesia. Diakses pada tanggal 1 Mei 2018. https://medium.com/kastrathmsitb/perihal-student-loan-mempertanyakan-kebutuhan-dan-kesiapan-indonesia-442c1a5eed4b
[6] Akhmad Muawal Hasan. (2018). Kredit Pendidikan: Baru Diminati Jokowi, Sudah Jadi Problem di AS. Diakses pada tanggal 1 Mei 2018. https://tirto.id/kredit-pendidikan-baru-diminati-jokowi-sudah-jadi-problem-di-as-cGuF
[7] Opcit. Anam, Rifqi Khairul.
[8] Naufal Mamduh. (2018). Kredit Pendidikan ala Jokowi: Masalah atau Solusi? Diakses pada 1 Mei 2018. https://tirto.id/kredit-pendidikan-ala-jokowi-masalah-atau-solusi-cGoC