Pada Ahad, 24 Maret 2024, Ramadhan Public Lecture menghadirkan rektor UNIDA Gontor, Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Phil, M.A.Ed., untuk menjadi pemateri dengan tajuk “Islamisasi Ilmu: Menyelami gagasan Syed Naquib Al-Attas dalam Menjawab Problematika Pendidikan di Era Kontemporer”. Beliau memulai dengan menyampaikan hasil penelitian oleh Syed Naquib Al-Attas mengenai Islamisasi bangsa Melayu, bahwa Islamisasi bukan konversi agama non-Islam ke dalam Islam, tetapi bagaimana agama orang Melayu yang dulunya menganut animisme, dinamisme, Hindu, dan Budha menjadi bangsa yang mayoritas memeluk agama Islam. Pada mulanya, ajaran Islam disampaikan melalui fikih yang sederhana, seperti salat dan menyucikan diri (yang tidak diajarkan oleh agama lain). Pada sekitar tahun 1200 M, para ulama mengenalkan ibadah dengan diawali bersuci (thaharah). Mereka juga mengajarkan cara bermuamalah, cara pernikahan, dan lain-lain. Prof. Hamid menambahkan, datangnya fikih bukan untuk mengubah keyakinan tetapi untuk mengubah gaya hidup.
Penjelasan mengenai Tuhan semakin berkembang menjadi sifat Tuhan, Tuhan Sang Pemberi Rezeki, hubungan Tuhan dengan hamba-Nya, dan sebagainya, sebagaimana didakwahkan oleh para ulama Sufi pada masa itu. Akhirnya, bangsa Melayu mulai mengenal Islam dari aspek kehidupan sehari-hari sampai filsafat ketuhanan (metafisik). Prof. Hamid juga mengutip dari perkataan Syeikh Naquib Al-Attas, bahwa pandangan hidup Islam mencakup 3 hal, yaitu syariat, akidah, dan akhlak. Akhlak secara universal adalah ilmu, iman dan amal.
Definisi pandangan hidup menurut Prof. Hamid adalah keyakinan dasar yang membentuk cara berpikir dan berperilaku. Pandangan hidup bisa ditanamkan kepada seseorang apapun agamanya, kepercayaannya, atau golongannya. Pandangan hidup Hindu, Budha, dinamisme dan animisme kalah rasional dengan apa yang Islam ajarkan. Itulah yang menjadi pelajaran bagi Syed Naquib Al-Alattas, bahwa di dunia Islam, telah terjadi sebuah proses di mana umat Islam dihegemoni oleh pandangan hidup yang sekuler. Pandangan hidup sekuler inilah yang menjadi cara hidup umat Islam di beberapa negara. Oleh karena itu, Islamisasi menurut Syed Naquib Al-Attas adalah pembebasan manusia dari pandangan hidup sekuler, paham animisme-dinamisme, paham mitologi, dan sebagainya.
Banyak teori-teori humaniora yang merupakan produk dari pandangan sekularisme. Pada masa kini, kapitalisme sudah tidak sesuai dengan syariat, melainkan menganut sistem sekularisme. Pada perkembangan selanjutnya, ketika politik dikuasai oleh gereja dan gereja tidak lagi netral dalam masalah politik, orang Barat mendeklarasikan “Desacralization of Politic” yaitu pemisahan politik dengan agama. Politik identitas yang digaungkan Eropa untuk tidak mencampur politik dengan agama disebabkan agama tidak digunakan sebagaimana mestinya. Akan tetapi, Islam adalah whole of view yang mengatur segala aspek kehidupan, baik aturan tentang cara berpolitik, sehingga politik yang menerapkan nilai-nilai Islam akan menjadi sistematis dan terstruktur.
Paham sekularisme juga masuk di kalangan para ilmuwan yaitu bagaimana mendeteksi alam semesta tanpa mengaitkannya dengan Tuhan. Seperti Darwin yang membuat teori dengan asumsi dasar yang keliru bahwa alam tidak diciptakan dan manusia berevolusi dari kera. Maka sains dapat merusak alam dan tidak menyejahterakan umat manusia ketika dieksploitasi secara berlebihan. Seorang pakar sains Islam memperkenalkan sebuah ide yang disebut “Sains yang Sakral” yaitu sains yang tidak meninggalkan jejak Tuhan dalam semesta.
Prof. Hamid berpesan, sebagai seorang Islam harus mempunyai ilmu pengetahuan tentang menjadi seorang Islam, tidak hanya secara ritual, tetapi disertai intelektual, sehingga dalam proses melakukan ritual (ibadah) harus disertai ilmu, keimanan dan keikhlasan. Melihat ilmu pengetahuan dengan keimanan, yang kemudian diperkuat dengan perilaku. Prof. Hamid berkata, “Sesungguhnya pendidikan yang betul itu bukanlah menanamkan pengetahuan, tetapi menanamkan adab.” Adab yang dimaksud itu mencakup iman, ilmu, dan amal sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai umat Islam, tidak harus menolak ilmu pengetahuan yang ada, tetapi melakukan Islamisasi, yaitu mengambil aspek-aspek positif dalam ilmu pengetahuan dan menolak aspek-aspek negatif dalam konsep ilmu pengetahuan yg diadaptasi dari Barat yang tidak sesuai dengan syariat, kemudian berintegrasi sesuai dengan nilai-nilai dalam Islam.
Terakhir, beliau menyampaikan, sebenarnya manusia hidup dalam pandangan hidup Islam, namun tidak semua menerapkannya. Seseorang harus hidup dengan pandangan hidup Islam seberapapun kadar keimanannya. Jika seseorang itu bukan penganut agama Islam, maka sekurang-kurangnya harus mengetahui pengetahuan dasar keislaman. (Efi Munasifah/Editor: Hafidah Munisah/Foto: Tim media Kreatif RDK)