Kisah Sang Pemburu Terbaik

Oleh Ahlamazing dan Kak Gem

Debur ombak adalah musik pertama yang ia kenal. Di sebuah dusun pesisir yang diapit lautan dan langit biru, sepasang suami istri baru merajut mimpi mereka di sebuah rumah panggung dari bambu. Sang suami, seorang nelayan tangguh, setiap subuh melarungkan perahunya ke laut. Sang istri, dengan perut yang mulai membuncit, menantinya di beranda dengan segelas teh hangat, menebar senyum yang sanggup meluluhkan garam di udara.

Kebahagiaan itu, sayangnya, hanya seumuran jagung. Suatu sore, sang suami pulang dengan jala yang kosong dan napas yang tersengal. Batuknya yang kering terdengar lebih parau dari deru badai. Beberapa bulan kemudian, laut mengambil napasnya untuk selamanya, mewariskan penyakit paru-paru misterius yang tak terdiagnosis.

Dengan bantuan bidan desa, sang istri melahirkan seorang putra. Ia menamainya Arka. Seluruh sisa hidupnya ia curahkan untuk bocah itu. Siang hari, tangannya yang kapalan sibuk memilah ikan hasil tangkapan nelayan lain; malam hari, tangan yang sama dengan lembut mengusap kening Arka, menyenandungkan lagu ombak hingga putranya terlelap.

Waktu berlalu. Arka tumbuh menjadi anak yang berbeda. Ia tidak hanya bermain di pantai; ia mengamatinya. Saat usianya tujuh tahun, ia membuat para nelayan tua terperangah. Ia menciptakan sistem pemilahan ikan menggunakan warna-warni cangkang kerang, mengkategorikan hasil tangkapan berdasarkan jenis dan kesegarannya. Ibunya, yang sebelumnya sering dirugikan tengkulak, kini bisa menjual ikan dengan harga yang paling pantas. Itulah pertama kalinya orang-orang melihat kilau kecerdasan yang tajam di mata bocah itu.

Di sekolah, kecerdasannya membawanya melesat. Ia melahap buku pelajaran seperti nelayan melahap nasi setelah seharian di laut. Ia lulus SMP sebagai juara kabupaten, memenangkan berbagai kompetisi sains yang membuat nama dusun kecilnya disebut-sebut di tingkat nasional.

Hari perpisahan itu tiba. Dengan tas lusuh berisi beberapa helai pakaian dan setumpuk harapan ibunya, Arka berangkat ke SMA terbaik di kota. “Belajarlah yang benar, Nak. Jadilah orang hebat,” bisik ibunya di telinga Arka, suaranya bergetar menahan tangis. Arka hanya mengangguk, tak sanggup berjanji apa-apa selain berusaha sekuat tenaga.

Di kota, Arka seperti ikan yang menemukan samudra baru. Ia tenggelam dalam ilmu-ilmu sains kontemporer, aktif di kelompok karya ilmiah remaja, dan pikirannya terus diasah oleh tantangan-tantangan baru. Namun, di tengah kesibukannya, sebuah telepon dari tetangga di desa merenggut dunianya.

“Pulanglah, Arka. Ibumu sakit.”

Arka pulang secepat kilat, hanya untuk menemukan ibunya terbaring lemah dengan napas yang sama persis seperti mendiang ayahnya. Pendek, berat, dan menyakitkan. Dokter di puskesmas kabupaten angkat tangan. Penyakit langka yang sama, yang juga membuatnya kehilangan ayahnya.

Kesedihan di hatinya dengan cepat berubah menjadi api tekad. Ia harus menemukan obatnya. Dengan otaknya yang cemerlang, Arka berhasil menembus fakultas kedokteran paling bergengsi di negeri itu. Ia tidak ingin menjadi dokter biasa; ia bertekad menjadi penyembuh ibunya. Ia bercita-cita menjadi penemu obat bagi penyakit langka yang diderita ibunya.

Ia menghabiskan siang dan malam di perpustakaan, membedah jurnal-jurnal medis internasional, dan tak henti-hentinya memberondong para profesor dengan pertanyaan tentang fibrosis paru idiopatik familial. Banyak yang menatapnya iba, tak sedikit yang menganggapnya naif.

Hingga suatu hari, Profesor Handoko, seorang ahli penyakit dalam senior yang awalnya meremehkannya, dibuat terkesan oleh riset mendalam yang Arka kumpulkan.

“Secara medis, tidak ada harapan, Nak,” ujar Profesor Handoko pelan, meletakkan kacamatanya. “Tapi… dulu sekali di sebuah konferensi, aku pernah mendengar tentang seorang etnobotanis di Nepal. Namanya Dr. Tenzin. Ia mempelajari flora di ketinggian ekstrem. Ada rumor tentang bunga yang oleh legenda setempat disebut ‘Napas Gunung’. Konon, bunga itu hanya mekar sesaat setelah badai salju reda di lereng-lereng paling berbahaya.”

Harapan yang nyaris padam itu kembali menyala. Arka menggunakan seluruh sisa uang beasiswa dan hadiah lombanya untuk terbang ke Nepal. Ia menemukan Dr. Tenzin, seorang pria tua dengan wajah setenang gunung batu. Setelah menguji keteguhan hati Arka selama seminggu, Dr. Tenzin akhirnya memberinya peta kasar.

“Bunga itu mungkin hanya mitos,” kata Dr. Tenzin. “Tapi jika kau cukup gila untuk mencarinya, carilah di dekat Puncak Lhotse. Bunga itu tidak akan kaudapatkan tanpa pengorbanan.”

Selama setahun penuh, Arka berlatih. Ia berlari puluhan kilometer setiap pagi, memanjat tebing-tebing curam, dan bekerja serabutan untuk menyewa pemandu dan peralatan. Tekadnya telah berubah menjadi baja.

Setelah dua bulan pendakian yang menguras jiwa dan raga di Pegunungan Himalaya, di tengah badai salju yang datang tiba-tiba, Arka melihatnya. Sebuah kelopak tunggal berwarna biru pucat yang bersinar lembut di celah tebing terjal. Di antara deru angin dan dingin yang membekukan tulang, ia membuat keputusan nekat. Tanpa tali pengaman, ia merayap di atas pijakan es yang rapuh. Jari-jarinya hampir menyentuh kelopak bunga itu ketika batu yang dipegangnya longsor. Ia tergelincir, kepalanya membentur es dengan keras, dan kegelapan menelannya bulat-bulat.

Ketika ia membuka mata, aroma api unggun dan daging panggang menyambutnya. Ia berada di sebuah gubuk hangat, dikelilingi wajah-wajah asing berkulit gelap. Seorang pria berwibawa dengan guratan dalam di wajahnya menatapnya.

“Kau sudah bangun, Pemburu,” kata pria itu.

Arka mengerjap. Pemburu? Kepalanya kosong. Ia tak tahu siapa dirinya, dari mana asalnya, atau mengapa ia ada di sini. Hanya ada kehampaan.

Melihat kekosongan di mata Arka, pria itu—sang kepala suku—membuat sebuah keputusan. Ia melihat sisa-sisa peralatan panjat tebing dan fisik Arka yang kuat. “Kau adalah pemburu terbaik kami,” lanjutnya dengan suara mantap. “Kau terjatuh saat mengejar seekor domba salju legendaris. Ini rumahmu. Tugasmu adalah mengumpulkan hewan buruan sebanyak-banyaknya sebelum musim badai“

Dan Arka percaya.

Hari-hari berganti. Ingatan lamanya terkubur di bawah salju abadi. Ia belajar membaca jejak, menarik busur, dan bergerak tanpa suara di antara bebatuan. Otaknya yang cemerlang, yang dulu digunakan untuk memecahkan rumus-rumus rumit, kini ia gunakan untuk memahami pola angin dan kebiasaan binatang. Ia menjadi cepat, mematikan, dan dihormati. Ia menjadi Sang Pemburu.

Sore itu, ia berjongkok di balik sebuah batu besar, busur di tangannya terentang penuh. Matanya yang setajam elang tertuju pada seekor rusa bertanduk megah di kejauhan. Di benaknya, hanya ada satu tujuan: membawa pulang buruan terbaik untuk sukunya. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan udara gunung yang dingin memenuhi paru-parunya—sebuah kemewahan yang tak ia sadari.

Ia tak pernah tahu, perburuan paling penting dalam hidupnya telah lama ia lupakan di dasar jurang itu. Ia telah lupa akan identitasnya. Juga, ibunya…

—————————————————

Simak refleksi dari kisah ini dengan judul ‘Bencana Terbesar Umat Islam Abad ini’ di kolom catatan Salahuddin pada 17 Agustus 2025.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses