(Ikhtiar Menuju Sentralisasi Dakwah Kampus UGM)*
Oleh : Nia Suryana**
(Sempat terhapus dari website JS. Diterbitkan kembali 27 Juli 2019 dengan perbaikan ejaan)
Dari sini kita memulai…….
Da’wah adalah sebuah kemestian, karena itulah para nabi mulai dari nabi Adam hingga nabi Muhammad diberi tugas oleh Allah SWT. Secara bergantian menyeru umat manusia ke jalan Robb sang penciptanya. Da’wah, amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan kewajiban bagi kaum muslimin , dalam hal ini mari kita tadaburi firman Allah dalam surat An-Nahl 125 berikut;
“Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang telah mengetahui siapa yang tersesat dijalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”
Ayat diatas menjelaskan bahwa Allah telah memerintahkan kaum muslimin untuk menyeru manusia ke jalan Robbnya. Mulai dari Rosulullah hingga seluruh pengikutnya baik muslimin maupun muslimat terkena kewajiban ini. Al-Hasan ketika membaca ayat tersebut berkata, “Demikianlah Rasulullah SAW, demikianlah kekasih Allah, demikianlah pilihan Allah. Inilah, demi Allah, paling dicintainya penduduk bumi oleh Allah”. Atau kita juga bisa meresapi firman Allah berikut,
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Ali Imran ;104).
Dakwah Kampus
Sebuah proyek raksasa bangunan da’wah ‘alami sedang berjalan dan akan terus berjalan, sedangkan pilar-pilar dan elemen penyusunnya sedang berbenah untuk menyesuaikan gerak dengan master plan proyek raksasa tersebut. Da’wah kampus (da’wah pemuda atau da’wah thulabi) merupakan salah satu entitas dari da’wah ‘alami yakni dakwah secara umum. Da’wah kampus memiliki keunikan karena di sinilah bergumul para generasi muda kelas menengah keatas yang sering disebut kaum intelektual muda, dimana hal ini merupakan sebuah potensi yang besar jika da’wah mampu membentuk mereka (takwin) menjadi pemuda yang berafiliasi dan mendakwahkan Islam di lingkungannya. Pelajar dan Mahasiswa adalah cikal bakal kelas menengah yang akan memasuki institusi mashadirur qarar dan mengalami mobilitas vertikal.
Disinilah salah satu urgensitas dari da’wah kampus yakni mempersiapkan annasirut taghyir perubahan sosial masyarakat dalam rangka islahul ummah. Di sisi lain peran da’wah kampus yang tak kalah pentingnya adalah sebagai benteng moral generasi muda. Tantangan dan ancaman zaman ini begitu deras menerpa generasi muda kita, paradigma materialisme yang dihembuskan barat dengan berbagai hegemoninya mewujud dalam berbagai bentuk mulai dari kapitalisme yang menjadi ideologi kokoh saat ini, hedonisme, atheisme, sosialisme, liberalisme hingga arus globalisasi telah menyeret generasi muda kedalam jurang yang sangat dalam yakni kehancuran akhlak dan moral.
Parahnya lagi generasi muda kita seperti terhipnotis hingga tanpa sadar mereka menikmati tarian kehancuran akhlak ini dalam bingkai gaya hidup modis dan modernis. Sungguh mengerikan jika generasi muda bangsa ini, umat ini tenggelam dalam kubangan degradasi moral dan akhlak yang menyesatkan. Bagaimana nasib bangsa ini atau pun umat ini masa mendatang jika penerusnya seperti itu. Maka di sinilah peran strategis dari da’wah kampus, menjaga dan membentengi generasi muda (mahasiswa) sehingga lahir manusia-manusia yang berakhlak luhur, cerdas dan memiliki kredibilitas.
Secara rinci peran da’wah kampus minimal terdiri dari tiga hal:
1. ranah siyasi (politik) dan pembelaan dalam hal ini berperan dalam proses mengawal pemerintah terkait menyediakan kondisi yang kondusif bagi terbentuknya masyarakat Islami.
2. ranah da’wah yakni dalam hal membantu menyiapkan masyarakat yang menerima Islam sebagai sistem hidup (minhajul hayyah)
3. ranah akademis dan keterampilan, yakni membentuk intelektual yang bermoral, mandiri, memiliki skill sesuai bidangnya dan profesional sehingga siap mengisi sektor-sektor kehidupan umat manusia dimasa mendatang.
Da’wah dengan Tersetruktur
Hendaknya dakwah dilakukan secara bersama-sama (berjama’ah) dalam satu penataan yang struktur yang terorganisir, bukan dilakukan secara sendiri-sendiri. Sehebat apaun seorang individu tentu memiliki banyak kelemahan. Marilah kita tadaburi firman allah dalam surat As Shaf ayat 4 ;
‘Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh”.
Dan juga surat Al Maidah ayat 2 ; “Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosha dan pelanggaran”.
Begitu pula dengan da’wah kampus hedaklah dilakukan secara jama’ah dalam satu struktur bangunan dakwah kampus yang utuh, sinergis dan dinamis. Dalam hal ini kiranya kita bisa mengambil pelajaran dari dunia sepakbola. Sebuah team sepakbola mengajarkan pembagian peran yang jelas, dengan menempatkan person yang tepat. Harus ada kiper yang handal, namun perlu penyerang yang tangguh. Harus ada back yang kendati di belakang tetapi punya peran yang urgen sebagai benteng pertahanan. Namun perlu ada seorang captain kesebelasan yang dipercaya dan memiliki kredibilitas. Pekerjaan kolektif dalam sepakbola akan menghasilkan kemenangan jika ada kompetesi individual yang memadai dan ada kekompakan dari team sendiri. Tujuan bersama yang ingin dicapai adalah mencetak gol ke kandang lawan.
Dalam mencapai tujuan perlu manajemen team yang baik agar semua lini berjalan saling sinergis, saling menutupi kelemahan, dan saling melengkapi satu sama lain. Bola amanah didistribusikan diantara sesama pemain, sedemikian rupa sehingga mencapai gol lawan. Sikap egois anggota akan merusak kekompakan team demikian sikap tidak disiplin dan semau sendiri. Selain itu team harus mampu mengatasi sejumlah kendala baik dari internal maupun eksternal. Kendala internal berupa pembagian peran yang kurang tepat, sifat anggota yang kontraproduktif, atau pun ketidakjelasan strategi. Kendala eksternal berupa realitas lawan, jeleknya lapangan hingga komentar dan tingkah laku para suporter dan penonton diluar arena pertandingan. Ada paradigma aksiomatik dalam dunia sepak bola, bahwa yang bisa mencapai kemenangan adalah mereka yang bermain, bukan mereka yang menonton. Sehebat apapun potensi anda tidak akan berarti apapun jika anda tidak bermain. Yah jika dalam dunia bola saja kolektivitas dan kebersamaan itu sangat tinggi nilainya, apalagi dalam amal-amal da’wah. Tentu lebih menghajatkan adanya kolektivitas, kebersamaan, penyatuan arah dan tujuan gerak, kerja keras serta adanya sinergisitas disana. Maka di sinilah perlunya da’wah terstruktur agar memiliki kejelasan tujuan, kejelasan program, kejelasan aktivitas, kejelasan sistem dan metode untuk mencapai tujuan.
Realitas Da’wah Kampus UGM
Da’wah kampus di UGM sudah cukup lama dirintis oleh para pendahulu aktivis da’wah. Secara individual saya pikir da’wah kampus sudah lama dilakukan bahkan mungkin di awal berdirinya kampus ini oleh mahasiswa muslim waktu itu. Akan tetapi jika kita bicara tentang da’wah kampus UGM yang lebih dhohir terlihat adalah sejak terbentuknya wasilah-wasilah da’wah. Dalam hal ini kita tidak akan lupa dari peran-peran Jama’ah Shalahuddin sebagai LDK pertama di UGM bahkan di Indonesia. Track record JS dalam proses Islamisasi kampus sangatlah spektakuler terutama di awal-awal da’wah kampus ini menggeliat. Kita akan ingat kegiatan Ramadhan In Campusnya JS (sekarang Ramadhan di Kampus) ataupun acara lautan jilbabnya yang telah menstimulus maraknya mahasiswa yang memakai jilbab ke kampus. Semua itu hanyalah bagian kecil dari peran-peran da’wah kampus dalam hal ini dengan Jama’ah Shalahuddin sebagai wasilahnya.
Dalam perkembangan selanjutnya muncul lembaga-lembaga da’wah di beberapa fakultas di kampus UGM yang sekarang familiar dengan sebutan SKI (Sie Kerohanian Islam). Dimana SKI ini memfokuskan diri menggarap ranah da’wah fakultas dimana SKI yang bersangkutan berada. Dengan hadirnya wasilah-wasilah da’wah di setiap Fakultas ini membuat da’wah kampus semakin booming. Kegiatan-kegiatan yang bertajuk keislaman pun semarak menghiasi aktivitas dunia kampus yang sarat dengan pergumulan kuliah dan praktikum. Syi’ar Islam di kampus semakin menyeruak ke permukaan dan menjadi nuansa tersendiri di dunia kampus.
Akan tetapi hadirnya wasilah-wasilah tersebut selain memberikan keuntungan yang memang sangat besar bagi aktivitas da’wah kampus juga menimbulkan dilema ketika setiap wasilah cenderung bergerak sendiri-sendiri. Hal ini terjadi karena setiap wasilah (JS dan SKI) mengklaim punya segmentasi da’wah yang berbeda dengan karakteristik lembaga yang berbeda pula. Sehingga akhirnya yang terjadi adalah pendikotomian da’wah kampus sesuai dengan perspektif lembaga masing-masing. Akibatnya seringkali terjadi tumpang tindih kegiatan keslaman di UGM, gerak da’wah yang sporadis dalam pandangan da’wah UGM secara utuh dan dalam konteks hubungan kelembagaan tidak terjadi sinergisitas di sana. Ok jika masing-masing lembaga menetapkan panduan gerak, segmentasi, metode, pendekatan maupun parameter keberhasilannya sendiri. Tapi untuk kemudian saya punya pertanyaan besar buat semuanya, sejauh mana sih capaian dari da’wah kampus di UGM? Apakah SKI yang ada di Fakultas bisa menjawabnya dengan jawaban yang jelas dan terukur ataukah JS sebagai LDK Universitas bisa juga dengan pasti menjawabnya.
Dalam pikiran saya semua jawabannya akan bersifat parsial saja sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh lembaganya masing-masing. Lalu apakah itu cukup representatif untuk menjawab capaian da’wah di kampus UGM?. Bagi saya tidak sesederhana itu semuanya dapat digeneralisir.
Memang diakui bahwa secara historis JS dan SKI tumbuh dan berkembang dengan sendirinya sehingga kultur kelembagaan yang dibangun berbeda dan bersifat sektoral. Namun untuk kemudian kita memahami bahwa da’wah itu utuh, integral bahkan universal. Sehingga seharusnya semua entitas yang ada memberi kontribusi terhadap capaian da’wah sesuai dengan kapabilitas dan kapasitas lembaga masing-masing. Satu hal yang harus difahami adalah bahwa da’wah menghajatkan sinergisitas gerak elemen-elemennya. Sinergisitas tidak bernakna bahwa semua harus seragam tetapi lebih ke pengoptimalan masing-masing elemen dalam bersinergis mendukung tujuan yang sama (da’wah). Dengan latar belakang inilah mungkin para aktivis da’wah kampus sebelumnya membentuk Forum Silaturahim Lembaga Da’wah Intra Kampus (FSLDIK) di UGM atau untuk lingkup daerah dan nasional ada FSLDKDA dan FSLDKN. Yang diharapkan akan menjadi media dalam menyamakan ritme dan frekuensi gerak dari wasilah-wasilah da’wah yang ada.
Sentralistik Da’wah Kampus?
Dalam perspektif kesejarahan Indonesia, bila mendengar kata sentralistik image yang terbangun adalah penyeragaman tanpa memperhatikan potensi lokal, kebijakan yang berifat top down, ataupun terbatasnya wewenang (kedaulatan) institusi yang lingkupnya lebih kecil. Sebenarnya kalau kita menilainya secara objektif permasalahan yang terjadi pada sentralistik bukan akibat dari konsep sentralistiknya tetapi dari kesalahan-kesalahan operasional teknis dan penyimpangan-penyimpangan para stakeholdersnya. Lihatnya sistem kekhalifahan Islam misal pada masa khulafaur rosidin sentralistik itu tidak bermasalah bahkan sistem yang dibangun sangatlah kokoh.
Kembali ke konteks sentralistik da’wah kampus UGM, justru menurut saya ketika ini bisa diwujudkan maka akan memberikan sebuah output yang maksimal. Hal ini dikarenakan setiap wasilah atau elemen yang ada menjadi satu kekuatan besar disana, sehingga capaian-capaian da’wah pun akan lebih besar dan terarah sesuai dengan marhalahnya. Ketika JS dan SKI di Fakultas bersama-sama bergerak secara sinergis dengan potensi dan karakter keunikan masing-masing maka amal-amal da’wah yang dihasilkan akan lebih besar. Di sisi lain mobilitas kader akan lebih mudah sesuai dengan kebutuhan masing-masing lembaga tanpa egois dan terkooptasi pada ashobiyah lembaga.
Hanya saja diperlukan model atau pun format ideal yang bisa mengakomodir kepentingan masing-masing wasilah (JS dan SKI). Selain itu diperlukan sistem yang kokoh dan sistematis yang mampu merespon tuntutan da’wah dan tantangan umat (masy. Kampus) secara masif dan dinamis. Model hubungan yang bisa ditawarkan bisa disesuaikan dengan sarana yang sudah ada yakni FSLDIK. Ada beberapa model yang bisa ditawarkan, pertama JS sebagai LDK Universitas berfungsi sebagai Payung (Qiyadah central) bagi SKI yang ada difakultas. Dalam hal ini JS harus melakukan peningkatan kualitas SDM dan kualitas Lembaga serta dibutuhkan penerimaan secara kultural dan strural dar SKI di Fakultas. Model yang kedua adalah seperti konsep negara bagian, setiap SKI memiliki kedaulatan dan otomi yang luas di fakultasnya, hanya saja dalam tataran Universitas ada pusat kendali yakni JS yang mengkoordinir gerak seluruh wasilah da’wah di UGM. Untuk sementara sampai disini Wallohu ‘alam…
*Pemikiran yang lahir dari sebuah cita-cita
** Penulis adalah Ketua Jama’ah Shalahuddin 1428 H
Ketua RDK Jama’ah Shalahuddin 1427 H
Pernah aktif di SKI, DEMA dan Kelompok Study Fakultas Pertanian