Suatu saat, ditengah perkuliahan, dosen saya tiba-tiba menghentikan penjelasannya dan beliau memberikan suatu cerita yang cukup berkesan bagi saya dan semua mahasiswa yang hadir dalam ruangan itu. Beliau bercerita, dahulu ketika masih muda pernah diajak oleh salah seorang yang cukup berpengaruh di Badan Vulkanologi Jogjakarta – nama lembaga ini saya sedikit lupa, tapi kira-kira seperti itu – pergi ke puncak Gunung Merapi. Setelah beberapa jam mendaki, akhirnya sampailah beliau dan temannya tersebut di salah satu kawah Merapi (kawah kering). Sambil melepas lelah di dekat kawah tersebut, beliau ditanya oleh temannya kira-kira bagaimana jika gunung yang sedang mereka daki itu tiba-tiba meletus. Sambil memakan bekal yang mereka bawa, dosen saya dengan santai menjawab bahwa mau bagaimana lagi jika kenyataannya begitu.
Sejenak beliau menghentikan ceritanya karena suasana kelas yang tadinya hening menjadi agak ramai karena banyak di kalangan mahasiswa yang hadir di sana tidak bisa menahan gelinya mendengar pertanyaan dan jawaban seperti itu.
Tak lama kemudian sambil tetap tersenyum, beliau melanjutkan ceritanya bahwa temannya sampai mengulangi pertanyaannya beberapa kali dan dijawab oleh beliau juga dengan jawaban yang sama serta menambahkan bahwa di sekeliling mereka yang ada hanyalah jurang-jurang yang terjal, jadi mustahil untuk melarikan diri dari sana seandainya gunung yang mereka injak tiba-tiba meletus.
Akhirnya temannya menjelaskan maksud dari pertanyaannya tadi, bahwasanya mereka berdua tidak ada apa-apanya dengan gunung yang mereka daki. Mereka tak ubahnya seperti titik kecil dibandingkan dengan gunung. Jika dengan gunung saja seperti itu, lantas bagaimana jika perbandingannya adalah bumi, tata surya, galaksi bahkan jagad raya yang begitu luasnya.
Dosen saya tersebut lantas menutup ceritanya dengan sebuah untaian nasihat. Seorang geologist sejati, kata beliau, – kebetulan saya mengambil jurusan teknik geologi – akan timbul rasa rendah hati dan tumbuh ketakwaan dalam dirinya serta hilang segala keangkuhannya jika ia mampu mendalami ilmu geologi yang itu akan berujung pada suatu kenyataan bahwa sesungguhnya di hadapan Tuhan ia tak lebih dari sebuah titik yang amat kecil. Alam raya beserta isinya yang begitu luas dan teratur ini adalah tanda kebesaran Tuhan.
Sebuah kata penuh hikmah yang amat berguna di tengah kehidupan hedonis seperti sekarang ini. Dimana keangkuhan dan kesombongan senantiasa hinggap pada diri manusia. Sifat Syetan yang sangat dibenci Allah SWT, Rabb penguasa alam semesta. Karena hanya Dia-lah yang berhak memiliki sifat tersebut.
Akan tetapi mengapa banyak di kalangan kita masih memelihara sifat ini. Atau bisa saja sifat ini kadang kala hinggap dalam diri kita, namun mengapa kita tidak kuasa untuk mengusirnya. Sifat yang dapat menjerumuskan manusia ke dalam kobaran api yang menyala-nyala. Sifat yang biasa muncul dalam hati seseorang ketika ia merasa lebih tinggi atau lebih besar di hadapan orang lain. Sifat yang menjadikan syetan dilaknat Allah SWT dan haram baginya surga. Lantas sudikah kiranya kita menyediakan tempat dalam hati kita untuk sifat ini? Kita memohon ampun kepada Allah SWT. Kita berlindung kepada-Nya dari bisikan-bisikan syetan. Yang tak henti-hentinya mengajak manusia ke lembah kehinaan dan kenistaan.
Walaupun tak bisa dipungkiri bahwa sungguh suatu perkara yang sulit untuk memblokir virus-virus sombong masuk ke dalam diri kita. Kadangkala virus ini muncul ketika kita berhasil masuk universitas bergengsi dan menyingkirkan puluhan ribu saingan. Kadang juga ketika kita meraih prestasi yang mengagumkan. Atau kadang juga bisa terjadi ketika kita merasa lebih taat kepada Allah SWT dibandingkan dengan orang di sekitarnya. Dan masih banyak lagi. Kita hanya bisa berdoa kepada-Nya. Memohon agar terhindar dari sifat tercela ini. Tentunya dengan cara inilah kita insya Allah mampu menghilangkan dan menjauhi sifat sombong.
Saya teringat perkataan dari salah satu dosen saya yang lain. Semakin banyak kita menggali ilmu mengenai geologi, maka ujungnya adalah sebuah kenyataan bahwa Maha Besar Allah SWT yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Betapa segala yang ada di bumi bahkan di alam semesta berjalan dengan teratur. Semuanya bertasbih kepada-Nya. Maha Suci Allah.
Mari kita luangkan waktu sejenak untuk melihat gunung. Gunung yang mempunyai fungsi sebagai pasak. Gunung yang begitu kokoh dan menjulang tinggi ke angkasa. Gunung yang berperan menyuburkan tanah di sekitarnya dengan lava yang dikeluarkannya. Namun apakah kita tahu di balik itu semua. Kita tidak tahu apakah gunung sekarang begitu merintih dan kesal kepada manusia yang berbuat kerusakan di muka bumi. Manusia yang lupa hakikat ia diciptakan untuk apa. Manusia yang begitu terlena akan kesenangan semu dunia. Manusia yang begitu durhaka terhadap Tuhan yang menciptakan-Nya. Tidakkah ia ingat bahwa ia diciptakan dari setetes air mani yang hina. Tidakkah ia pernah berpikir bahwa dulunya ia tidak ada. Tidakkah ia menyadari suatu saat nanti ia pasti akan berhadapan dengan malaikat maut.
Kita tidak pernah tahu bahwa mungkin saja gunung memohon kepada-Nya untuk diizinkan memberi pelajaran kepada manusia seperti halnya yang terjadi terhadap kaum Sodom. Akan tetapi, gunung masih tetap mengeluarkan isinya dengan kadar yang telah ditentukan untuk menyuburkan tanah-tanah di sekitarnya agar manusia bisa memanfaatkannya. Gunung juga tidak pernah absen memberitahukan sinyalnya kepada manusia ketika ia akan mengeluarkan isinya, sehingga manusia dapat sesegera mungkin menghindar serta menyelamatkan jiwa dan hartanya.
Allah SWT yang memiliki sifat Maha Perkasa niscaya akan dengan mudah memerintahkan gunung mengeluarkan isinya yang panas untuk ditimpakan kepada mereka yang mendustakan-Nya. Atau kepada laut diperintahkan-Nya agar meluapkan isinya kepada mereka yang berbuat kezaliman di muka bumi. Semua itu merupakan perkara yang mudah di sisi Allah. Lantas mengapa tidak diperintahkan-Nya segala yang ada di alam semesta ini memberikan pelajaran kepada manusia yang sudah amat melampaui batas? Semua itu membuktikan betapa cinta Allah SWT kepada kita, hamba-Nya yang hina ini melebihi apapun.
Kadang kala di waktu pagi kita melalaikan perintah-Nya. Kadang pula di waktu petang kita mendurhakai-Nya. Bahkan kadang sepanjang hari kita lupa dan bermaksiat kepada-Nya. Namun Allah masih jua mencurahkan nikmat-Nya yang tak terhitung kepada kita. Kita masih diberikan nikmat berupa kesempatan hidup di dunia ini untuk sekadar merenungi kesalahan-kesalahan kita dan bertaubat kepada-Nya dari segala kekhilafan di masa lampau. Bukankah Allah Maha Penerima Taubat hamba-hamba-Nya. Kegembiraan Allah terhadap hamba-Nya yang bertaubat dan memohon ampun kepada-Nya melebihi kegembiraan seorang musafir di padang pasir yang berhasil menemukan kendaraan tunggangannya beserta bekal perjalannya setelah sebelumnya hilang dan telah dicari kemana-mana.
Sangat mengherankan sekali ada manusia yang ia tidak menyadari dan bahkan mendustakan bahwa betapa cinta Allah terhadapnya melebihi apapun yang ada di dunia. Apakah cinta kekasihnya lebih berharga di sisinya dibandingkan cinta Allah terhadapnya? Bagaimana mungkin ia berusaha mati-matian meraih cinta pujaan hatinya sedang cinta Allah padanya tak ia hiraukan? Padahal cinta kekasihnya terhadap dirinya tak lain hanyalah cinta yang semu, yang dapat menjerumuskannya ke jurang kehinaan jika bukan di atas dasar ketakwaan kepada-Nya. Yang ada hanyalah cinta kepada Allah, cinta yang hakiki.
Cinta Allah yang begitu besar kepada hamba-Nyalah yang menjadikan taubat mereka diterima di sisi-Nya. Sebab tidaklah seorang yang sepanjang hidupnya melakukan amalan-amalan ahlul neraka, namun di penghujung hidupnya bertaubat kecuali diampuni oleh-Nya. Jika demikian, bukankah sungguh keterlaluan jika cinta Allah yang begitu besarnya kepada kita, yang telah mencurahkan segala karunia-Nya, lantas dengan seenaknya kita enggan menjalankan apa yang menjadi hak-Nya.
Apakah kita telah menjadi bagian dari mereka, yang sudah sangat keterlaluan dan benar-benar melampaui batas?
Ya Allah
Ku tak tahu
Masih layakkah hambamu ini
Tuk menerima
Segala karunia-Mu
Segala rahmat-Mu
Segala cinta-Mu
Yang mungkin selama ini
Aku dustakan
Robbanaa zholamnaa anfusanaa fain lam taghfir lanaa wa tarhamnaa lanakuu nanna minal khoosiriina.