Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Didalam ayat ini Allah menjelaskan tentang 3 sifat yang termasuk dalam tanda-tanda kebahagiaan yang akan diperoleh seseorang. Hal ini dijelaskan oleh Syekh Nashiruddin as-Sa’di bahwa tiga sifat ini yang terdapat pada ayat tersebut adalah Iman, Hijrah dan Jihad. Iman mennurut bahasa adalah Tashdiq (Pembenaran) atau dalam arti sehari-hari berarti percaya tetapi dalam bahasa Arab berarti Tashdiq (pembenaran dalam hati) bukan hanya percaya saja. Sehingga Allah mengisahkan atas apa yng diucapkan saudara-saudara Yusuf ‘alaihissalam. Ketika saudaranya itu mengajak nabi Yusuf untuk perjalanan dengan tujuan mencelakai Yusuf karena cemburu atas kasih sayang bapaknya terhadap yusuf ‘alaihissalam.
“dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada Kami, Sekalipun Kami adalah orang-orang yang benar.”( Yusuf: 17)
Sedangkan Iman atas tinjauan syariat bermakna “pembenaran yg memiliki konsekuensi untuk tunduk dan menerima atas segala apa yang datang dari Allah kepada Rasul-Nya”. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana yaitu “membenarkan dalam hati mengucapkan dalam lisan dan mengamalkan dalam perbuatan.”
Jadi bisa dikatakan terdapat 3 unsur dalam keimanan, yang dimana jika ketiga unsur tadi tidak terdapat dalam diri seseorang maka tidak akan dikatakan sebagai orang yang beriman. Sebagai contoh orang munafiq. Orang munafiq ini dilihat dari ikrar dengan lisan dan perbuatan, mereka adalah orang yg beriman, tapi diliat dari unsur tashdiq dengan hati maka tidak ada pembenaran mereka di hatinya, dengan kata lain dalam hati mereka mengingkarinya. Sehingga mereka disebut orang munafiq yang keluar dari keimanan.
Oleh karena itu Allah memberikan hukuman lebih besar dibanding orang kafir. Orang munafik ini berada di neraka paling dalam dikarenakan bahayanya lebih besar dari orang kafir, sehingga Allah banyak menceritakan sifat-sifat orang munafik dibanding orang kafir. Secara khusus Allah menceritakan sifat-sifat orang munafik dalam surat Al-munafiqun dan surat at-Taubah. Jadi jika hilang salah satu saja unsur keimanan maka batallah keimanan tersebut.
Contoh yang lain yaitu Iblis la’natullah alaih, Iblis jika dilihat dari sisi pembenaran maka iblis mengakui keesaan tauhidullah. Tetapi Iblis tidak mempunyai unsur ketiga yaitu berkaitan dengan perbuatan. Ketika Iblis diperintah Allah untuk sujud kepada Adam ‘alaihissalam, maka Iblis menolaknya karena sombong. Sehingga iblis termasuk golongan yang mengingkari atau kafir kepada Allah karena salah satu unsur keimanan tidak ada.
Ada beberapa orang yg tidak jeli dalam memahami ayat ini. Mereka berpendapat bahwa justru iblis merupakan makhluk yang paling bertauhid karena tidak mau sujud kepada makhluk. Padahal kalau kita lihat, sujud disini bukan dimaksudkan untuk beribadah akan tetapi untuk peghormatan kepada nabi Adam yang telah diberikan kelebihan. Juga tidak mungkin Allah memerintahkan hambanya untuk beribadah selainNya.
Dalam hal keimanan ada yang dinamakan syarat sah keimanan dan kesempurnaan keimanan. Seperti dalam hadits “tidak beriman orang yang tidak mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.” Kita perlu melihat bahwa kata tidak beriman merupakan kesempurnaan iman bukan syarat sah keimanan. Kata tidak beriman disini dimaknai tidak sempurna iman. Namun terkadang ketika kita mendengar kata “tidak sempurna” maka kita menyangka itu merupakan hal yang sunnah. Padahal itu adalah sesuatu yang wajib.
Contoh yang lainnya misalkan dalam hadits. “tidak ada keimanan bagi seseorang yg tidak memiliki sifat amanah”. Kata tidak sempurna iman di sini bukan berarti dimaknai orang yang tidak amanah adalah orang yang keluar dari keimanan atau kafir. Sehingga kita harus membedakan antara syarat keimanan dan kesempurnaan iman. Supaya kita jangan terlalu mudah mengkafirkan orang. Dan sebetulnya ini adalah ciri dari pemahaman kaum khawarij, dimana mereka memahami ayat secara zhahiriyah tanpa merujuk kepada pemahaman salafush-shaleh.
Kembali kepada ayat di awal tulisan.
Pada potongan ayat “dan orang-orang yang berhijrah”, kata hijrah dirangkai dengan kata Iman yaitu dengan diulangnya kalimat alladzina pada alladzina amanu walladzina haajaru. Ini menunjukkan Hijrah dan jihad harus dibangun atas keimanan. Hijrah berasal dari kata al-Hajru yang berarti at-tarku (meninggalkan). Contoh penggunaan kata ini dalam bahasa arab adalah “hajr untuk si fulan”. Kata hajr dalam kalimat tersebut berarti saya meninggalkan dia atu saya tidak mengajaknya berbicara sepatah katapun. Adapun secara istilah Makna hijrah ada 2 yaitu makna umum dan kata khusus. Makna umum ialah meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam kitabul iman yang diriwayatkan Imam bukhori, “orang yang berhijrah yaitu orang yang meninggalkan apa2 yang dilarang Allah subhanahu wa ta’ala.” Sedangkan hijrah dalam makna khusus yaitu seseorang meninggalkan negerinya karena Allah dan rasul-Nya. Dimana negeri yang dia tinggalkn adalah negeri kekufuran sehingga dia tidak mampu untuk menegakkan agamanya. Maka dia berhijrah untuk mengamalkan agamanya atau menjaga dirinya dari kesesatan.
Oleh karena itu banyak ulama membahas tentang bagaimana hukum seseorang yang safar ke negeri kafir. Maka para ulama membuat persyaratan yang sangat ketat.
Pertama dia harus memilki agama, yaitu kemampuan dirinya untuk istiqomah di jalan agamanya. Karena banyak sekali hal-hal yang akan mempengaruhi keberagamaannya seperti misalnya dia akan menemui orang yang banyak membuka aurat, terbiasa untuk makan dan minum yang haram. Jika tidak mempunyai agama yang baik, maka ditakutkan akan terjerumus kepada hal-hal yang diharamkan.
Syarat kedua, harus memiliki ilmu agama. Karena banyak kerancuan yang ada pada negeri kafir. Seperti ada anggapan bahwa Islam itu identik dengan teroris dan lain sebagainya.
Syarat ketiga kalau memang betul-betul ia melakukan itu karena ada kebutuhan yang mendesak seperti belajar ilmu yang tidak diperoleh di negaranya, tetapi orang tersebut juga mempunyai misi berdakwah, maka yang seperti ini dianjurkan.
Kemudian Allah berfirman “Dan orang-orang yang berjihad di jalan Allah”. Kalimat ini tidak dimulai dengan kalimat walladziina, sehingga kata jihad dirangkaikan dengan kata hijrah. Hal ini dikarenakan hijrah serta jihad harus didasari atau dilandasi oleh keimanan. Kata jihad jika dirangkaikan dengan kata fii sabilillah akan memiliki makna qital (perang). Dewasa ini banyak orang yang terpengaruh oleh makna jihad yang telah diubah oleh segelintir orang. Mereka berpendapat bahwa yang dimaknai sebagai jihad bukan berperang, akan tetapi jihad melawan hawa nafsu. Biasanya mereka bersandar pada hadits dhoif mengenai definisi jihad ini, yaitu ucapan sahabat ketika baru pulang dari perang tabuk: “kita baru kembali dari jihad kecil ke jihad yang besar.”
Selanjutnya Allah berfirman, “mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Dalam ayat ini Allah mnggunakan kalimat ulaaika yaitu kata tunjuk untuk sesuatu yang jauh. Dan isyarat bahwasanya keinginan mereka itu sangat tinggi dan apa yang mereka lakukan yakni iman, hijrah dan jihad adalah sesuatu yang tinggi di sisi Allah. Makna yang lain seakan-akan ini suatu bentuk penegasan bahwa mereka akan mendapat sesuatu yg sangat besar. Mereka mengharapkan rahmat Allah, sesuatu yang sangat mungkin didapatkan jika melakukan ketiga perbuatan tadi.
Kata rahmat disini bisa bermakna salah satu sifat Allah. Yaitu mereka akan mendapatkan kasih sayang Allah. Bisa saja rahmat disini adalah akibat, yaitu ketika Allah memberikan rahmat kepada seseorang berarti dia dimasukkan ke dalam surga. Jadi surga itu disebut dengan rahmat. Artinya bentuk kasih sayang Allah kepada seseorang adalah dengan dimasukkannya hamba-Nya ke dalam surga.
Makna yang lain bahwa keimanan, hijrah dan jihad adalah bagian dari rahmat Allah. hal ini berarti seseorang tidak boleh bersandar atas perbuatan yang dia kerjakan. Tidak boleh bersandar atas keimanan yang dia miliki untuk mendapat surga Allah. Karena dia masuk surga bukan dengan amal yang dia miliki tetapi atas rahmat Allah. Sebab tidak ada bandingannya orang yang bertaqwa sekalipun dengan rahmat Allah.
Kita diberikan kenikmatan mana yang baik dan mana yang buruk dengan wasilah diutusnya rasulullah shallallahualaihi wassalam. Karena akal semata tidak mampu mengetahui secara rinci. Banyak orang yang menyangka bahwa perbuatan yang mereka lakukan memiliki kemashlahatan dengan dasar akal yang dimilkinya, padahal itu memiliki mudhorot dalam dirinya. Salah satu hikmah diutusnya rasulullah shallallahualaihi wassalam yaitu karena akal manusia yang tidak bisa menjangkau kebaikan secara terperinci kecuali berdasarkan wahyu Allah yang diturunkan kepada rasul-Nya.
Ketika seseorang diberikan hidayah maka sesungguhnya hidayah itu adalah rahmat Allah. Sehingga tidak diperbolehkan bagi kita untuk mencela orang yang melakukan perbuatan maksiat atau kemunkaran. Bukan berarti kita tidak melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Akan tetapi, yang tidak diperbolehkan di sini adalah mencela orang yang melakukan. Jika kita melihat orang yang melakukan kemunkaran, hendaknya kita bersyukur karena masih diberi hidayah untuk tidak melakukannya, barulah kemudian kita melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Lebih baik lagi jika kita menasehati orang yang melakukan kemungkaran dengan tidak menyebutkan nama orang tersebut.
Kemudian Allah mengakhiri ayat ini dengan kalimat “dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Kata al-ghofur dalam kalimat ini memiliki arti menutup atau menutupi dosa. Kata ini memiliki perbedaannya dengan al-afwu yang artinya memaafkan. Al-ghofur di sini berarti memberikan pengampunan berupa ditutupinya dosa tanpa didahului sebelumnya dengan hukuman. Berbeda dengan al-afwu, dimana seseorang diberikan hukuman terlebih dahulu sebelum dimaafkan. Sedangkan Ar-Rahiim bermakna yang memberi kasih sayang. Allah memberikan kasih sayang kepda orang-orang yg dikehendaki. Adapun faidah surat Al Baqarah ayat 218 adalah sebagai berikut:
- Keutamaan iman dan hijrah
- Kedudukan jihad itu dibawah hijrah
- Menjaga keikhlasan pada hijrah dan jihad, karena keduanya diikat dengan kalimat fii sabilillah.
- Tidak selayaknya seseorang mempunyai rasa pasti bahwa amalnya diterima oleh Allah. Tapi yang seharusnya dilakukan adalah berharap.
- Al-Ghofur dan ar-Rahiim adalah beberapa nama Allah subhanahu wa ta’ala.
Wallahualam.