Berdasarkan survey data dari WHO, Indonesia menempati urutan ketiga kategori Negara perokok di dunia dengan statistik jumlah perokok 1.35 miliar. Tercatat sebesar 65 juta atau 28 % dari keseluruhan penduduk menyandang “gelar” sebagai perokok. Parameter yang digunakan agar mendapatkan “gelar” tersebut adalah ketika seseorang telah menghisap minimal 100 batang rokok. Sungguh tragis negri ini, selain menyandang gelar negara terkorup Se-Asia Pasifik (menurut Political & Economic Risk Consultancy 2010), Indonesia juga masuk dalam kategori negri dengan penduduk perokok terbanyak nomor tiga di dunia. Dari data yang ada, pada setiap sepuluh detiknya, ada 10 orang yang meninggal akibat dari rokok.
Hari Ahad, 27 Juni 2010 lalu Jamaah Shalahuddin mengadakan Talk Show dengan Tema “Syarat Syah Merokok” dengan sebuah kalimat ajakan “Mari Kita Tegakkan Rokok Ke Arah yang Benar”. Yang dimaksud dengan “Ke Arah yang Benar” adalah dengan cara menegakkan rokok kearah bawah.
Sebuah tema yang cukup unik lagi nyentrik untuk memenuhi goal dari acara tersebut serta membuat rasa penasaran kepada khalayak agar menghadiri kegiatan tersebut. Acara ini di adakan di Lapangan Basket Gelanggang Mahasiswa UGM dengan tujuan agar JS sebagai LDK UGM bis lebih dekat dengan UKM-UKM yang ada sesuai dengan jargon Jamaah Shalahuddin 1431 H itu sendiri, yakni “Dekat mendekatkan”.
Pada acara kali ini, hadir tiga permbicara. Ibu Ririn Puspansari mewakili BNP Narkotika Yogyakarta, Prof. Ali Ghufron, M.Sc dari Kedokteran Umum UGM dan juga Bp. Abdul Ghofar selaku mantan perokok. Acara ini diawali dengan adanya pembacaan puisi dari mantan ketua umum teater gadjah mada, beliau Ady Saputra Wansa mahasiswa Fisipol UGM dengan puisi karya orisinilnya berjudul “Siang itu Pahing”. Puisi ini menggambarkan tentang sebuah kedilemaan seseorang untuk menghambil tindakannya, sebuah potret perokok yang berkata iya atau tidak untuk menyandang “gelarnya” sebagai perokok.
Ada sebuah kisah unik yang dituturkan oleh Bp. Abdul Ghofar sebagai pembicara dari kalangan Mantan Perokok. Beliau menguraikan lembaran-lembaran kisah beliau dari awal beliau merokok sampai akhirnya sekarang bisa benar-benar berhenti untuk merokok. Pada mulanya, kisah beliau merokok diawali ketika saat itu KKN-PPL disuatu desa. Warga disana sebagaian besar adalah perokok dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Hari demi hari beliau ditawari untuk merokok. Dengan dalil agar beliau bisa lebih akrab, maka ajakan warga desa pun beliau penuhi. Saat itu harga rokok juga masih murah. Kemudian hal ini terbawa dalam kehidupannya dan menjadi sebuah kebiasaan yang berujung kepada ketergantungan.
Beberapa tahun kemudian beliau mendapatkan besiswa S2 ke Australia. Kebiasaan merokoknya pun dibawanya di Negri Kanguru ini. Ada sebuah perbedaan mencolok dengan Indonesia. Di Australia bea cukai rokok sangatlah besar, yakni mencapai 400%. Sehingga saat itu tuturnya harga satu bungkus Rokok Malioboro mencapai Rp 64.000,00. Sebuah angka yangcukup fantastis. Terbersit sebuah pertanyaan dalam benaknya, akankah tetap meneruskan kebiasaan merokoknya sedangkan kuliah S2-nya adalah program biasiswa. Dan bisa jadi biaya untuk merokonya lebih besar dari pada biasa kuliahnya. Dan semenjak itulah beliau mulai sedikit demi sedikit melepas dan “gelarnya” sebagai perokok. Beliau menyampaikan bahwa tidak ada untungnya seseorang merokok, menghimbau agar bagi para perokok dapat segera mengikuti jejak beliau untuk segera menghentikan kegiatan merokoknya dan bagi yang belum pernah merokok agar jangan sekali-kali mencobanya. Rokok tak kujungnya adalah sebuah ketergantungan yang berujung kepada datangnya banyak penyakit yang tak jarang merenggut nyawa seseorang.
Dari sisi Prof. Ali dan Ibu Ririn sebagai pakar kesehatan, beliau menyampaikan tentang bahaya merokok bagi seseorang, kandungan zat-zat yang membahayakan bagi tubuh. Nilai bea cukai yang didapatkan dari merokok tidak sebanding dengan dana yang bakal dikeluarkan untuk menangani permaslahan yang timbul dikarenakan merokok. Di DIY, banyak penduduk meninggal dunia dikarenakan oleh sakit jantung dan pembuluh darah. Hal ini sebagaian besar adalah disebabkan akarena aktifitas merokok. Dari data statistika DIY, ujarnya Gunung Kidul, Kulon Progo dan Mbantul adalah daerah dengan perokok terbanyak jika dibandingkan dengan daerah kota. Tercatat bahwa sebagian besar perokok adalah dari golongan ekonomi ke bawah. Menurut analisa beliau, hal ini dikarenakan dalam masyarakat ekonomi menengah ke bawah justru sudah terjadinya sebuah kultur.
Permasalahan rokok dinegri ini sungguh komplek dan dilematis. Semua orang tahu akibat yang ditimbulkan dari kegiatan rokok yang begitu mengerikan, akan tetapi masyarakat tetap saja melakukan kebiasaan itu. Sementara ini langkah yang diambil pemerintah kurang begitu tegas. Hanya sebatas peraturan-peraturan larangan merokok ditempat umum dan sebagainya yang dalam pelaksanaanya pun juga masih kalang kabut. Malahan ada sebuah kasus bahwa perda rokok sempat hilang ketika di cek kembali. Hal ini membuktikan bahwa adanya loby-loby yang kuat dari kalangan perusahaan kepada para pembuat kebijakan dan disisi lain tingkat keimanan yang memprihatinkan lagi-lagi terjadi dalam internal para pembuat kebijakan di negri kita ini. Bagaiman bisa indonesia akan lebih baik dan bermartabat jikalau masyarakat dan para pembuat kebijakan negri ini terlampau jauh dari apa yang diharapkan bersama. Peran pabrik rokok kini seakan bagaikan jantung bagi perekonomian Indonesia. Yang menyerap banyak tenaga kerja, meberikan banyak beasiswa kepada para pelajar, membackup sponsor-sponsor kegiatan besar seperi sepak bola dan sebagainya yang jelas-jelas itu terdapat pertentangan antara yang menyehatkan vs mematikan.
Merokok sungguh memberikan dampak negative baik itu pada diri pribadi si perokok (perokok aktif) maupun orang-ornag disekitarnya (perokok pasif). Lantas bagaimanakah syarat sah merokok yang sebenarnya ? Dari sudut pandang penulis ada 2 hal yang mesti dipenuhi. Untuk menangani permasalahan resiko bahanya perokok pasif, maka si perokok tidak boleh membuang asapnya ke arah orang lain. Ada satu cara yakni dengan mengarahkan asap kearah dalam (red : dibalik arah batangnya). Syarat kedua yakni bahwa merokok tidak memberikan bahaya bagi si perokok aktif itu sendiri, baik bahaya secara kesehatan fisik, kesehatan kantong, dsb. Dengan kata lain, langkah paling sah dan tepat adalah mencoba untuk menhindarinya.
Dari sini perlu adanya sebuah pemikiran luas, usaha besar dan tindakan yang konsisten untuk merubah kesemuanya. Megantara Mahasiswa Teknik Industri 2007 yang sekaligus juga menjabat sebagai Kepala Departemen Kajian Stategis Jamaah Shalahuddin menyatakan bahwa di Negri ini dilanda kebingunagan dan dilema dalam mengambil kebijakan terkait dengan permasalahan merokok. Beliau menyampaikan dengan ide kreatifnya yang membuat perserta maupun pembicara sempat tersentak sejenak, bagaimana jika rokok yang ada sekarang dicoba untuk ditranformasikan sedikit demi sedikit diubah ke arah rokok yang bergizi. Sekilas terdengar aneh mungkin, akan tetapi ini adalah sebuah menifestasi pemikiran yang menginginkan agar segera ada solusi real terkait dengan permasalahan rokok yang bisa dibilangmerupakan permalahan klasik. Mari kita sama-sama memikirkan langkah-langkah se-strategis mungkin yang bisa kita lakukan agar harapannya permasalahan ini segera menemukan pemecahannya. Minimal adalah menghindari dan menjaga diri kita sendiri dari kegiatan merokok dan mencoba untuk mensosialisasikan kepada orang-orang yang berada disekitar kita.
Oleh : Ardian Umam
Team Redaksi Media Center LDK jamaah Shalahuddin UGM
Mahasiswa Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada