– sebuah catatan mengenang malam-malam penantian bus malam
senja ini pelabuhan terakhir
saat bus kota tak lagi ada
kelelawar beterbangan di penjuru kota
mencari bangkai moral khalifah mulia,
sumpah serapah yang kau maki
adalah warnamu yang abadi.
malaikat-malaikat,
tinggal hitam putih pagar jalan yang mati
mengerut takut,
dalam kungkungan nanar tatap matamu
jalanan ini istana
kaulah raja maha diraja
kejammu kaya,
mempesona…
tapi aku tak lagi terkesima!
– terminal Giwangan, suatu malam
…sedikit catatan kecil…
Nikmatilah dunia ini sebagai komedi dan renungkanlah dunia ini sebagai tragedi, demikian pesan seorang kawan lama semasa SMA dalam saat terakhir aku mengenalnya…
Sederhana saja, tapi setiap kali aku mengingatnya, memikirkannya, dan -mau tak mau- merenungkannya, senantiasa kutemukan sesuatu yang baru yang tak pernah kupikirkan sebelumnya… Makna-makna baru yang tersembunyi, tiada habis untuk digali, tiada lelah untuk ditelaah…
Dan bahkan tidak hanya dalam tataran makna, tetapi juga menarik memikirkan bagaimana deretan huruf-huruf, serangkaian bunyi yang dilambangkan (atau dikonkretkan?) dalam bentuk fonem-fonem, dapat membentuk berjuta makna…. Mari kita renungkan bersama-sama…
Sekali lagi,
Nikmatilah dunia sebagai komedi dan renungkanlah dunia sebagai tragedi !