Islamisasi Pengetahuan : Sebuah Pengantar dari Ismail Raji Al Faruqi
Menurut Al-Faruqi, fakta bahwa apa yang dicapai sains modern, dalam berbagai aspeknya, merupakan sesuatu yang sangat menakjubkan. Namun, kemajuan tersebut ternyata juga memberikan dampak lain yang tidak kalah mengkhawatirkannya. Menurut Al-Faruqi,1 akibat dari paradigma yang sekuler, pengetahuan modern menjadi kering, bahkan terpisah dari nilai-nilai tauhid: suatu prinsip global yang mencakup lima kesatuan, yaitu kesatuan Tuhan, kesatuan alam, kesatuan kebenaran, kesatuan hidup, dan kesatuan umat manusia. Jelasnya, sains modern telah lepas bahkan melepaskan diri dari nilai-nilai teologis atau tauhid.
Dalam penjelasannya, Al-Faruqi menekankan bahwasanya perceraian atau pelepasan diri sains modern dari nilai-nilai teologis atau tauhid telah memberikan dampak negatif. Pertama, dalam aplikasinya, sains modern melihat alam beserta hokum dan polanya, termasuk manusia sendiri, hanya sebagai sesuatu yang bersifat material dan incidental yang eksis tanpa intervensi Tuhan. Kedua, secara metodologis, sains modern ini, tidak terkecuali ilmu-ilmu sosialnya, menjadi sulit diterapkan untuk memahami realitas social masyarakat muslim yang mempunyai pandangan hidup yang jelas berbeda dari pandangan hidup masyarakat barat.2
Sementara di sisi lain, keilmuan islam yang dianggap bersentuhan dengan nilai-nilai teologis atau tauhid dipandang terlalu berorientasi pada pada religiusitas dan spiritualitas belaka tanpa memedulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu social dan ilmu kealaman yang dianggap sekuler. Dalam konsep islamisasi yang digagas oleh Al-Faruqi, prinsip dasar islamisasi ilmu yang digagas ialah meletakkan fondasi epistemologinya pada prinsip tauhid yang terdiri dari lima macam kesatuan.
- Kesatuan Tuhan, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, yang menciptakan dan memelihara alam semesta. Implikasinya, berkaitan dengan pengetahuan adalah bahwa sebuah pengetahuan bukan untuk menerangkan ataupun memahami realitas sebagai entitas yang terpisah dari realitas absolut, yaitu Tuhan. Oleh karena itu, islamisasi ilmu mengarahkan pengetahuan pada kondisi analisis dan sintesis tentang hubungan realitas yang dikaji dengan hukum Tuhan (divine pattern).3
- Kesatuan ciptaan, bahwa semesta yang ada ini baik yang material, psikis, dan spasial (ruang), biologis, sosial, maupun estetis adalah kesatuan yang integral. Masing-masing saling terkait dan saling menyempurnakan dalam ketentuan hukum alam (sunnatullah) untuk mencapai tujuan akhir tertinggi, Tuhan. Dan bersamaan dengan itu, Dia juga menundukkan alam semesta untuk manusia sehingga manusia mampu mengolah dan memanfaatkannya demi kesejahteraan umat.4
- Kesatuan kebenaran dan pengetahuan, bahwa kebenaran ialah bersumber pada realitas, dan jika semua realitas berasal dari sumber yang sama, Tuhan, kebenaran tidak mungkin lebih dari satu. Apa yang disampaikan lewat wahyu tidak mungkin berbeda apalagi bertentangan dengan realitas yang ada, karena Dia-lah yang menciptakan keduanya.
- Kesatuan hidup. Menurut Al-Faruqi, kehendaka Tuhan terdiri atas dua macam, yaitu berupa hukum alam (sunnatullah) dan berupa hukum moral yang harus dipatuhi, agama. Kedua hukum ini memiliki konsekuensi bahwasanya tidak ada pemisahan antara yang bersifat spiritual dan material, antara jasmani dan ruhani.5
- Kesatuan umat manusia. Menurut Al-Faruqi6 , tata sosial islam adalah universal, mencakup seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Kelompok muslim tidak disebut bangsa, suku, atau kaum, tetapi umat. Pengertian umat bersifat trans-lokal dan tidak ditentukan oleh pertimbangan geografis, ekologis, etnis, warna kulit, kultur dan lainnya, tetapi hanya dilihat dari sisi taqwanya.
Refleksi
Islamisasi ilmu tentu merupakan sebuah desain besar peradaban islam modern dalam menjawab tantangan sekularisasi ilmu yang terjadi disemua lini keilmuan modern hingga detik ini yang terjadi secara terus-menerus dan berkembang. Wajah peradaban islam sangat menonjol dalam bidang-bidang keilmuan yang mapan yang dibangun oleh semangat keberhutangan seorang hamba kepada Sang Pencipta yang memberikan hidup, kekayaan alam, pikiran, dan banyak lainnya. Tentu wajah peradaban islam yang ingin dikembalikan atau dibangun kembali di tengah mapannya konstruksi keilmuan modern sekuler ala barat memerlukan usaha yang keras serta kehati-hatian dalam menyelesaikan itu semua. Peradaban islam dan ilmunya bukanlah peradaban milik umat islam semata, bukanlah monopoli umatnya Muhammad SAW saja, melainkan adalah sebuah bangunan besar (great world) yang didalamnya bernaung milyaran umat serta keseimbangan alam yang ada didalamnya. Oleh karena itu, proyek islamisasi ilmu merupakan sebuah jawaban atas persoalan pelik dan krisisnya ilmu modern sekuler saat ini yang haus dan rakus, sekaligus menjadi tantangan besar bagi cendekiawan (pemikir) di seluruh dunia islam untuk membawa tatanan dunia global yang sejahtera di bawah bangunan ilmu yang benar-benar sesuai dengan maqamnya.
*Najmi Wahyughifary
Daftar Pustaka :
Al Faruqi, Ismael R. 1955. Islamisasi Pengetahuan. Terj. Anas Mahyudin. Bandung: Pustaka.
Al Faruqi, Ismael R. dan Louis Lamya Al-Faruqi. 1966. Tauhid Dasar Peradaban Islam. Dalam jurnal Ulumul Qur’an. No. 1/VII.
Soleh, Khudori. 2013. Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.