Dunia Shafeera: Chapter 2
Hari baru. Hari yang baru di tempat yang masih terasa asing bagiku. Telah 2 bulan terlewat sejak terikrarnya janji suci bahwa aku adalah istrinya, dan dia adalah suamiku. Harus aku akui, tidak semuanya seburuk yang aku bayangkan. Setidaknya dia mencukupiku, dan aku pun mencukupinya. Rumah ini adalah rumah mereka yang memiliki harta berlebih, setiap orang yang memasukinya pasti betah dan ingin berlama-lama. Berbeda dengan diriku dan hatiku, yang masih merasa bahwa tempat ini bukanlah milikku.
Setiap pagi ia bangun dan langsung bergegas ke tempat kerja. Bersiap, berbersih, berbenah. Sebagai istri aku hanyalah seorang fasilitator, dan dia yang mempersiapkan dirinya sendiri. Ia tak banyak bicara, tetapi setelah 2 bulan aku mulai hafal dengan ritmenya.
“Shafeera, saya berangkat dulu ya,” ucapnya padaku. Ucapan yang tiap pagi aku dengar seraya ia berjalan ke arah pintu rumah. Kuhampiri dirinya kemudian dengan hormat kuambil tangannya dan kucium; inilah kebiasaan yang telah terbentuk sejak hari pertama. Ia pun tersenyum kepadaku yang menyiratkan, Baik-baik ya selama saya tidak di sini. Aku menatap lekat sebagai bentuk penyanggupan. Ia pun membuka pintu dan menghilang untuk mencari nafkah. Biasanya, ia hanya pulang larut seminggu sekali. Selebihnya, paling tidak setelah aku selesai shalat isya ia telah sampai di rumah.
Kita tidak langsung berpindah bersama. Sebelum menikah, tentu kita saling berkenalan lebih jauh. Ia baru saja menyelesaikan S2, dalam bidang yang menurutku cukup rumit untuk digeluti. Aku salut ia berhasil menyelesaikannya. Aku pun bercerita sedikit tentang hal-hal yang menjadi harapanku untuk ke depannya, yang dibalas dengan senyum sopan dari keluarga calon suamiku. Sebenarnya aku menakuti makna dari senyuman itu, tetapi aku lebih memilih untuk diam.
Bagaimana rasanya sejauh ini? Menikah dengan ia yang tidak pernah menjadi pilihanmu. Aku sedang berusaha untuk menyongsong hari esok yang lebih indah. Selalu ada makna dalam tiap detik kehidupan, dan sekarang pun tidak beda. Lagipula, suamiku bukanlah seorang patung. Ia adalah pribadi yang dapat berkomunikasi denganku. Maka, aku dapat berbahagia bersamanya dengan komunikasi yang kita bangun sebagai unit terkecil masyarakat. Masih ada kemungkinan akan studi-studi yang ingin kulakukan, serta impian-impian lainnya yang ingin kurealisasikan. Ya, kuyakin komunikasilah kuncinya. Aku akan bicara.
Sore nanti aku akan mempersiapkan masakan terbaik, situasi terbaik, dan suasana yang terbaik. Akan kubersihkan seluruh rumah, kupersiapkan jamuan terbaik untuknya saat ia tiba nanti. Barangkali dengan semua itu, aku bisa membuka percakapan yang nyaman mengenai keinginanku di rumah tangga ini.
Jam menunjukkan pukul 5 sore. Meja makan telah kutata rapi, semua terlihat seakan-akan ia mengkilap di sekitar rumah. Hanya masakan saja yang masih menjadi pekerjaan. Perkara yang tidak terlalu sulit, sebab Ibu senantiasa melibatkanku ketika Beliau mempersiapkan makanan dahulu; dan masakan Ibu bagiku tidak ada duanya.
Semua telah selesai, dan aku mulai menyusun skenario dalam benakku sembari menunggunya tiba. Akan kubukakan pintu untuknya, kemudian akan kuarahkan menuju ke hidangan yang telah kepersiapkan untuknya. Kuberikan senyum terbaik, akan kutanya perihal harinya. Kemudian…
Tepat di saat aku mulai memformulasi percakapan terpenting, sayup-sayup terdengar suara mesin mobil yang kian mendekat. Setelah rutin 2 bulan selalu mendengarkan suara itu di saat aku tahu sudah saatnya ia pulang, aku pun segera menyadari bahwa itu adalah mobilnya. Sejujurnya aku gugup. Aku belum pernah berbicara perihal diriku, padahal kurang lebih 2 bulan telah berlalu. Aku pikir, kita perlu saling menyesuaikan sebelum saling bertukar pikiran, apalagi mengingat pernikahan kita yang terjadi lebih cepat daripada umumnya.
Sosok itu masih mengenakan setelan kerja yang ia gunakan tadi pagi. Wajahnya seakan-akan tidak menunjukkan emosi apapun, tetapi dari air mukanya aku tahu–air muka yang telah kuhapal setelah beberapa waktu–kalau ia butuh istirahat. Penyampaian akan tema percakapan yang dari tadi siang kurencanakan pun menjadi meragukan di mata penyusunnya sendiri. Namun sudahlah, aku telah mempersiapkan segalanya… lalu apakah aku akan mundur begitu saja?
“Assalaamu ‘alaykum,” ucapnya saat ia membuka pintu. “Wa ‘alaykumussalaam…” jawabku; jantungku berdegup cukup kencang, tetapi perasaanku masih bisa kuatur. Shafeera, ayo, jangan khawatir. Tuluslah, Shaf. Bukankah hati yang terbuka akan menerima apapun dari hati lain yang tulus?
Pelan-pelan semua yang sedari siang kutata tereksekusi. Saat ini ia pun berada di atas meja makan, terdiam sambil menyantap makan malam. Aku pun membuatkan teh untuk kita berdua, kemudian duduk menemaninya makan dengan dua gelas teh yang terseduh. “Bagaimana tadi di kantor?” Tanyaku memulai suatu percakapan. Ia pun menengadah dan akhirnya menyadari keberadaanku. Cerita-cerita mengenai rencana yang sedang ia susun bersama atasannya mulai mengalir di momen makan malam, hingga akhirnya ia pun sampai pada salah satu cerita mengenai program beasiswa yang sedang dicanangkan oleh perusahaannya. Kemudian, kalimat-kalimat yang selama ini menggema dalam batinku perlahan meluncur secara terbata-bata…
“Berbicara tentang beasiswa, aku pun ingin melanjutkan studiku, Mas. Mas sendiri sudah tahu betapa inginnya aku meng-upgrade kapabilitasku melalui pendidikan, tetapi barangkali tidak langsung sekarang juga. Di samping itu, tentu saja aku tidak akan lalai dengan kewajibanku sebagai istri Mas, sembari aku menjalankannya. Insya Allah, Shafeera jalankan tugas Shaf sebagai pengurus rumah tangga dan mahasiswi dengan baik. Bagaimana menurut Mas?” Sesaat setelah kata-kata tersebut telah telontar, percapakan itu menjadi hening tak bersuara. Seakan-akan waktu terjeda. Raut wajahnya tampak biasa saja dalam diamnya. Sementara aku mulai khawatir, apakah kata-kataku akan menjadi sebuah bencana? Atau justru menjadi sebuah titik terang dari segala harap dan pinta?
Sesaat kemudian dia pun bereaksi, “Sudahlah Shaf, untuk apa kamu membicarakan hal-hal seperti itu? Apa yang ingin kamu kejar dengannya? Sudah jelas posisimu hari ini sebagai ibu rumah tangga. Bukankah itulah peran perempuan yang sebenarnya? Saya khawatir nanti gelar S2 yang kamu dapatkan malah hampir-hampir tidak berguna. Lebih baik kamu fokus saja dengan hal-hal yang ada di hadapanmu. Menjadi istri dan ibu rumah tangga untuk keluarga bukan perkara yang sederhana, kemudian kamu masih ingin menambah beban untuk dirimu dengan melanjutkan pendidikan. Maaf Shafeera, tetapi saya tidak setuju dengan permintaanmu.”
Ucapan tersebut terdengar agak gamang. Meskipun penolakan telah nyata adanya, sesuatu dalam diriku masih mencegahku untuk menyerah begitu saja; aku pun mulai berkutik, “Tapi Mas, saya rasa saya memiliki kemampuan. Saya yakin saya masih bisa menjalankan tugas saya sebagai istri dan ibu rumah tangga selagi melanjutkan studi, dan…” Tepat sebelum aku berujar, rupanya lelaki itu menyambar seketika, “Cukup, Shafeera! Saya tak mau lagi mendengar pembahasan itu. Saya harap kamu sebagai istri jangan merasa lebih tahu. Memang sudah menjadi kodratnya perempuan mengurus rumah tangga saja. S1 sudah lebih dari cukup untuk itu, lalu untuk apa kamu tambah-tambah lagi? Kamu tidak memerlukan itu, Shaf!”
Perasaanku seketika bercampur aduk. Antara takut karena nadanya yang meninggi dan marah karena ketidaksetujuanku pada kalimatnya–tetapi aku tak bisa apa-apa. Setelah berujar seperti itu, dia pun berlalu, seakan-akan aku tak boleh mengingkarinya. Lantas aku bisa apa? Kini impian yang sudah kurangkai dengan rapi, barangkali hanya akan menjadi angin lalu. Apakah memang tidak ada harapan atau aku tidak boleh berharap? Semua menjadi amat rumit. Padahal yang tersampaikan hanyalah wacana semata, tetapi semua itu telah ditolak seluruhnya. Lalu, bagaimana dengan rencana-rencana lain yang lebih besar yang hendak kucapai? Ah, rasa-rasanya memikirkan tentang itu semua seakan-akan berpikir mengenai ketidakmungkinan…