Dunia Shafeera: Chapter 3
Semenjak hari itu, suasana di dalam rumah mulai berubah. Satu tahun berlalu dengan begitu lama dan menjenuhkan sejak pengungkapan isi hatiku kala itu. Semakin hari, semakin banyak ketidaksesuaian antara diriku dan dirinya yang semakin terasa. Pola pikirku dan pola pikirnya bagaikan dua kutub magnet identik yang tidak akan pernah bertemu. Basa-basi yang sederhana tetapi esensial dalam menjaga kelanggengan hubungan menjadi semakin langka di bawah atap kami. Ini adalah sesuatu yang meresahkan, dan walaupun sebenarnya ada segelintir rasa di dalam diriku yang mendorongku untuk pergi saja dari kediaman ini, aku tidak ingin melepas janji suci di hadapan Allah yang telah terikrar dengan begitu saja.
Siang itu aku sedang memilah-milah baju kotor yang hendak aku cuci. Seperti biasa, aku merogoh ke dalam tiap saku pakaian yang ada untuk mencegah kemungkinan tercucinya hal penting yang barangkali lupa untuk dikeluarkan. Saat itu, tibalah aku ke salah satu kemeja yang biasa suamiku gunakan untuk bekerja. Kurogoh saku yang berada di bagian depannya, dan kutemukan uang sebesar Rp5000,00 serta secarik kertas. Untuk memastikan bahwa itu adalah hal yang penting atau tidak, aku pun membukanya.
Siang itu langit cerah, tidak ada tanda-tanda hujan. Tapi sungguh hal itu berbeda dengan suasana hatiku. Itulah yang aku rasakan seketika saat aku membaca kalimat-kalimat yang tertera pada kertas tersebut. Kalimat-kalimat yang menyampaikan ekspresi terima kasih atas makan malamnya. Kalimat saya menyayangi Anda. Kalimat saya ingin bertemu dengan Anda lagi. Tulisannya jelas menunjukkan ciri tulisan seorang perempuan. Astaghfirullah, apa ini?
Aku pun bergegas ke dalam kamar untuk sekedar mencari ketenangan. Baju kotor yang sebenarnya sudah menumpuk kini menjadi perkara yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pengetahuan yang baru saja datang kepadaku. Otakku mulai menemukan hubungan-hubungan antara perilaku suamiku dengan secarik kertas tersebut. Akhir-akhir ini ia lebih sering pulang lebih malam daripada biasanya… benarkah ini adalah penyebabnya?
Sakit. Marah. Bingung. Itulah semua yang kurasakan saat ini. Setelah jerih payah dan komitmen yang aku kerahkan demi menjaga rumah tangga ini, mengapa buah yang aku petik begitu busuk? Ayah, Ibu… sebegitu tegakah kalian? Menyerahkanku kepada lelaki yang tidak mengizinkan aku meraih mimpi, yang sebenarnya sama sekali tidak sejalan denganku. Inikah aku? Seorang anak perempuan yang dinikahkan sebagai balasan jasa? Tidakkah aku lebih bernilai daripada ini? Aku tidak ingin menapaki jalan yang terjal ini lagi; aku lelah. Ini bukan dan tidak akan pernah menjadi keinginanku. Namun begitu, kenyataan sedang berjalan, dan inilah adanya. Aku adalah istri yang sedang diselingkuhi oleh lelaki yang tidak pernah menjadi pilihannya…
Tiba-tiba muncul secara terang kenangan-kenangan itu di dalam imaji benakku. Kasih Ayah dan Ibu yang akan selalu membekas, yang tidak akan pernah terbalas. Shaf… lupakah kamu akan semua hal itu? Tidakkah kamu memikirkan perasaan mereka? Kemudian, apakah ini adalah salah mereka? Yang jelas, sepertinya tidak sebaiknya aku menyerah begitu saja–lari tanpa alasan yang jelas secara tiba-tiba, mengecewakan mereka yang telah berharap begitu besar padaku.
Malam itu, aku menangis. Tak kuasa kutahan air mataku yang dari tadi siang kubendung dengan sekuat tenaga. Tidak ada sepotong kata pun yang tertukar semenjak ia sampai di rumah, dan kini satu-satunya komunikasi yang jelas terjadi di antara kita muncul melalui air mata yang kian mengalir di wajahku. “Ada apa, Shafeera? Mengapa kamu menangis?” Akhirnya, suaranya. Entah apa ekspresinya, semua telah kabur dari penglihatan.
“Mas… apakah Mas benci dengan Shafeera?” Pertanyaan itu keluar begitu saja, tanpa ragu, tanpa takut. Hanya kesedihan dan kebingungan akan realita. Dia telah berada di sampingku di atas ranjang, tepat saat kami berdua hendak tidur, di sinilah hatiku memutuskan untuk menumpahkan segala rasa. Mengharap semacam iba.
“Aku menemukan sesuatu yang semestinya tidak aku temukan, Mas,” ungkapku, “secarik kertas di kemeja Mas. Maaf. Aku hanya takut, aku tidak mau membuat rusak melalui cucian sesuatu yang berharga. Namun malah aku temukan pesan sayang dari…” Aku tidak berkuasa untuk mengucapkan kata-kata seorang perempuan. Walaupun aku tidak memilih suamiku, tetap saja aku adalah istrinya yang lebih berhak akan kasih sayang itu.
Tidak ada respon. Namun semua yang terbendung sekian lama kini mengalir deras, “Mas, tidak adakah rasa terima kasih Mas kepadaku? Aku yang selama ini membersihkan rumah, memastikan semua tuntas… semua agar Mas senang dengan Shafeera. Namun, inikah balasan Mas akan semua itu? Mas tidak pernah mengacuhkanku, tidak pernah bertanya perihalku. Lalu sekarang, ini? Tidak ada perempuan yang suka diduakan, Mas!” Tangisku semakin jadi. Tidak kusangka, tiba-tiba ia menamparku dengan keras. Di atas ranjang yang semestinya mendekatkan kita; di bawah atap yang semestinya menjadi sarana ketenangan, ia memukulku.
“Sudah, Shafeera. Semestinya kamulah yang berterima kasih denganku. Apakah kamu benar-benar tidak bisa membayangkan rasa lelah yang setiap hari aku hadapi? Semua itu aku jalani untuk rumah tangga kita. Berhentilah bersikap seperti korban, karena di sinilah aku yang berkorban, bukan kamu!”
Aku pun berkorban, Mas. Mengorbankan perasaanku, idealismeku. Namun sia-sia rupanya. Aku sedih, aku marah; tetapi aku tidak tahu kepada siapa sebenarnya aku merasa seperti ini. Apakah kepada Ayah-Ibu yang mengawali semua ini? Kepada kedua mertuaku? Kepada suamiku? Ataukah, aku kesal dengan diriku sendiri? Ah, aku tidak tahu secara pasti. Yang pasti, malam ini aku tidak akan tidur dengan nyaman. Sejuta luka telah terlanjur merajam dalam hati dan batinku, luka yang entah akan sembuh atau tidak.
Yang salah siapa ya?
hmmm…..
Mengharukan, dan menginspirasi ?