Tradisi ‘Uzlah Nabi : Dari Social Distancing Menuju Kesadaran Profetis
Oleh : Rahmat Tri Prawira Agara
Dalam waktu yang tidak lama lagi, umat muslim di seluruh dunia akan menyambut bulan yang paling ditunggu-tunggu selama setahun, yaitu bulan suci Ramadhan. Akan tetapi, tidak seperti Ramadhan-ramadhan sebelumnya, di tahun ini perayaan Ramadhan akan terasa berbeda karena di saat yang sama terjadi peristiwa pandemi virus Corona di seluruh dunia.
Salah satu himbauan yang dikeluarkan oleh WHO dan pemerintah untuk mencegah penyebaran virus adalah dengan melakukan Social Distancing yang dilakukan dengan membatasi interaksi dengan orang lain dan mengurangi segala aktivitas di luar rumah. Lembaga-lembaga keagamaan seperti MUI juga telah mengeluarkan fatwa dan surat edaran tentang himbauan dan tata cara pelaksanaan ibadah di tengah pandemi.
Jika biasanya ramadhan diisi dengan solat tarawih berjamaah di masjid, tadarus Qur’an di TPA, ngabuburit, takbiran, dan segala kegiatan-kegiatan yang lazim dilaksanakan untuk menyemarakkan ramadhan, mungkin kali ini kita tidak akan melihat euforia itu kembali di tahun ini dan akan melaksanakan ramadhan di rumah masing-masing dalam suasana berbeda yang penuh sunyi dan senyap.
Fenomena Social Distancing dan ibadah yang dilakukan di rumah selama pandemi seperti ini mengingatkan kita terhadap salah satu hikmah dari Sunnah nabi yang mungkin jarang sekali dibahas dan sering dilupakan oleh umat muslim sekarang, yaitu kebiasaan nabi-nabi untuk melakukan ‘Uzlah atau menarik diri dari rutinitas dan pergaulan sosial sehari-hari dengan menyendiri di suatu tempat untuk melakukan refleksi diri dan tafakkur. Dalam kondisi inilah justru para nabi menemukan jawaban atas pertanyaan hakiki yang mereka cari selama ini.
Dikisahkan dalam sejarah hidup Nabi Muhammad yang ditulis oleh Martin Lings, Nabi Muhammad sebelum menerima Wahyu dan diangkat menjadi Rasul, punya kebiasaan untuk melakukan ‘Uzlah pada bulan Ramadhan di gua Hira untuk melakukan refleksi dan kontemplasi terhadap kegelisahannya dalam menyaksikan praktek sosial yang dilakukan masyarakat Quraisy pada waktu itu. “Adakah kebenaran lain di alam semesta ini?” Tanya nabi dalam hatinya. Keresahan nabi ini digambarkan dalam bait puisi Matsnawi dari Maulana Jalaluddin Rumi, ketika nabi memanjatkan doa : “Allahumma arina Haqa’iq al-asyya’ kama hiya” (Wahai Tuhanku, singkapkanlah kepadaku hakikat tertinggi dari segala sesuatu!)
Dorongan nabi untuk terus mencari dan memikirkan kebenaran di balik realitas masyarakat yang ia lihat kemudian mengantarnya untuk menerima Wahyu pertama dari malaikat jibril dan diangkatnya status beliau menjadi nabi sekaligus rasul yang diutus untuk menyampaikan risalah kebenaran dari Allah. Nabi Muhammad menemukan jawaban atas kegundahan hatinya selama ini melalui metode ‘Uzlah dengan menarik diri sementara dari hiruk pikuk kehidupan di kota Mekkah saat itu.
Hikmah yang sama dapat kita temukan juga dalam kisah nabi Ibrahim, ketika ketajaman nalarnya membuatnya menolak praktek pemujaan berhala yang dilakukan oleh kaumnya. Nabi Ibrahim mengasingkan diri ke gunung dan bersandar di dinding sebuah Gua sambil bertanya dalam hatinya “siapakah Tuhanku yang sebenarnya?”. Kegelisahan batin nabi Ibrahim ini mengantarkannya ke dalam pengembaraan spiritual dalam mencari tuhan yang haqq. Dilihatnya bintang, bulan, dan matahari tetapi semuanya tidak mencerminkan sifat-sifat ketuhanan yang ia cari. Pada titik inilah kemudian Nabi Ibrahim menemukan konsep tauhid yang immaterial dan menemukan Tuhannya yang sejati. Ia pun diangkat menjadi nabi hingga mendapat gelar bapak para nabi.
Tidak hanya berhenti di tahap itu, nabi Ibrahim dan nabi Muhammad pasca melakukan ‘Uzlah-nya dan menemukan kebenaran ilahi, juga tergerak untuk melakukan perubahan dalam kehidupan masyarakat mereka. Muhammad Iqbal menyebut kesadaran ini sebagai suatu kesadaran profetis, dimana pengalaman religius menjadi penggerak dan kekuatan seseorang untuk melakukan perubahan terhadap realitas dunia yang ia hadapi. Hal ini dicontohkan dari kisah nabi Ibrahim yang menentang kekuasaan raja Namrud dan membentuk satu peradaban baru di lembah Mekkah serta Nabi Muhammad yang melakukan reformasi besar-besaran dan meletakkan dasar-dasar nilai teologi dan sosial baru bagi masyarakat Quraisy.
Jika dikontekstualisasikan dengan pandemi yang kita hadapi saat ini, kisah dua nabi di atas bisa menjadi renungan di saat kita menjalani bulan ramadhan nanti. Bagaimana di tengah kesendirian kita di rumah, kualitas ibadah kita justru dapat menjadi lebih khusyuk dan lebih banyak kesempatan untuk melakukan refleksi dan kontemplasi terhadap kehidupan yang telah kita jalani saat ini.
Beribadah dalam kondisi Social Distancing seperti ini juga dapat menjadi momentum kepada kita untuk kembali melihat kepada dimensi terdalam dari diri pribadi kita masing-masing sekaligus untuk berdialog dengan nurani kita yang sering tenggelam dalam keramaian dan hiruk pikuk duniawi. Penggalian terhadap pengalaman religius seperti ini disebut oleh Prof. William James dalam bukunya The Varieties of Religious Experience sebagai tujuan utama mengapa manusia terdorong untuk melakukan ibadah, yaitu untuk menemukan Socius (teman dekat) sejati yang tersembunyi dalam lubuk batin dan dapat ditemui melalui proses peribadatan yang dilakukan secara khusyuk oleh seseorang.
Dunia setelah pandemi tentu tidaklah sama seperti dunia sebelum pandemi. Waktu pasca bulan ‘idul Fitri nanti akan menjadi pembuktian sejauh apa refleksi dan kontemplasi yang kita lakukan selama bulan ramadhan dapat menjadi motivasi penggerak untuk melakukan perubahan dalam diri pribadi maupun untuk masyarakat di sekitar, akankah kita dapat menemukan suatu kesadaran profetis untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik lagi seperti yang dialami nabi Ibrahim dan nabi Muhammad dalam proses ‘Uzlah-nya?
Tidak adanya tarawih di masjid, tadarus Qur’an, ataupun buka bersama bukanlah berarti kita tidak dapat merasakan kehadiran Allah dan menurunkan kualitas ramadhan kita. Bukankah ia sendiri yang berfirman :
وَلِلَّهِ ٱلۡمَشۡرِقُ وَٱلۡمَغۡرِبُۚ فَأَيۡنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kamu menghadap disitulah kamu temukan wajah Allah. Sungguh, Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” – QS. 2: 115
Mungkin pada saat Ramadhan nanti tidak akan menemui Allah di tengah perkumpulan jama’ah dan majelis ilmu atau di dalam megah dan luasnya bangunan masjid yang kita singgahi. Tetapi ternyata Allah dapat kita temukan di bawah atap bambu, di sudut kecil ruangan rumah kita, tempat dimana sajadah kecil terbentang untuk tempat kita bersujud.
“Tiada yang lebih berguna bagi hati selain ‘Uzlah. Dengan ‘Uzlah, hati memasuki lapangan untuk ber-tafakkur” – Ibnu Atha’illah As-Sakandari
Wa fawqa kulli dzi ‘ilmin ‘aliim
Wallhu ‘alam bish-showwab