Oleh:
- Riyas Nur Rohimi
- Tarisna Vidi Jayanti
Perkembangan Isu Lingkungan
Perkembangan isu lingkungan di dunia makin menguat seiring dengan makin banyaknya krisis lingkungan yang terjadi. Perkembangan isu ini merupakan hasil dari gerakan lingkungan yang dapat ditelusur asalnya hingga pertengahan abad ke-19 di benua Eropa dan Amerika. Pergerakan ini terus berkembang dan akhirnya isu lingkungan mulai mendapat perhatian serius dari berbagai negara. Sampai di tahun 1992, telah terselenggara sebuah Konferensi Tingkat Tinggi tentang Biodiversity di Rio de Janeiro, Brazil. KTT yang dihadiri oleh 150 negara dan 2500 NGO ini telah merumuskan kebutuhan akan kode etik dalam memperlakukan lingkungan.
Hampir tiga dekade pasca KTT Bumi tersebut diselenggarakan, tetapi beberapa analisis menunjukkan upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan dianggap gagal di semua benua. Dalam artikel yang bertajuk “Why sustainable development plans have failed?”, Business Daily menemukan tiga faktor penyebab kegagalan mewujudkan pembangunan berkelanjutan, yaitu faktor ekonomi, politik, dan komunikasi. Di Indonesia sendiri, justru muncul RUU Cipta Kerja yang saat ini tengah dinanti pengesahannya oleh beberapa oknum. RUU ini adalah bentuk nyata kegagalan bidang ekonomi, politik, dan komunikasi dalam upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Kesepakatan konsep pembangunan berkelanjutan yang kesadarannya dibangun oleh ancaman kerusakan alam tidak berbuah manis. Jika manusia masih memandang alam sebagai benda mati yang bebas dieksploitasi, usaha pelestarian akan menemui titik jenuhnya. Pada dasarnya, upaya pelestarian lingkungan memang menuntut pembenahan sinergis pada dua ranah, tidak hanya wilayah praktis tetapi juga perbaikan paradigma. Pembenahan paradigma berkaitan dengan konsepsi dalam memandang hubungan keberadaan Tuhan, manusia, dan alam. Sementara pembenahan di wilayah praktis, akan berkaitan dengan regulasi nyata untuk mengatur aktivitas kehidupan, dalam Islam dapat diimplementasikan dengan hukum halal haramnya suatu perbuatan.
Artikel terkait: “Dampak Lingkungan dari Omnibus Law”, “Berbagai Kerusakan Lingkungan di Indonesia”
Pembenahan Paradigma: Konsep Panenteisme Islam
Pada ranah pembenahan paradigma, Permana menawarkan sebuah konsep yang relatif baru, yaitu Panenteisme Islam sebagai paradigma alternatif membentuk konsepsi etika ekologi. Dalam konteks Islam, konsep tauhid dan kemahaan-Nya dalam paradigma yang diadaptasi dari salah satu konsep teologi Kristen ini dimutlakkan. Panenteisme Islam memandang semesta sebagai ciptaan-Nya dalam wujud yang plural. Wujud itu terdiri dari level sistem yang saling memiliki hubungan ketergantungan dan timbal balik. Dalam konteks Bumi, hubungan organisme dipandang sebagai satu organisasi yang holistik, sistemik, dan integratif sampai unsur penyusun terkecilnya. Bukan hanya sistem mekanistik semata, proses pengorganisiran alam dalam konsep ini diliputi oleh hukum yang melibatkan Tuhan secara langsung dalam pengaturan alam semesta. Sementara kedudukan manusia dalam Panenteisme Islam adalah sebagai makhluk yang diberi potensi kreatif dengan akal, kebebasan, dan tanggung jawab. Dalam mengampu mandat khalifah oleh Allah, manusia bertanggung jawab mengelola, mendayagunakan, dengan tetap menjaga kelestarian alam. Sebagai bagian dari sistem organisasional semesta yang berkaitan timbal balik, alam tidak boleh dipandang sebagai benda mati yang bebas dieksploitasi. Simbiosis mutualisme-lah yang seharusnya berlaku dalam hubungan alam dan manusia.
Paradigma Panenteisme Islam dipakai untuk meletakkan dasar teologi dalam membangun konsep etika ekologi. Etika Ekologi Panenteisme Islam yang merupakan hasil analisis doktrin Islam dan refleksi kritis dari 4 bangunan paradigma (teosentrisme, antroposentrisme, ekosentrisme, dan antropokosmik) terkait ekologi yang ada, memiliki tiga prinsip dasar, yaitu tauhid, khalifah, dan mizan (earth balance). Tauhid sebagai landasan teologis tujuan kehidupan. Status Khalifah sebagai mandat pertanggungjawaban. Kemudian mizan sebagai landasan ilmiah manusia sebagai bagian sistem alam untuk menyesuaikan diri dengan ritme alam. Ketiga prinsip tersebut masih harus diturunkan menjadi bentuk aturan yang lebih konkrit sehingga bisa menjadi landasan praktis kehidupan umat. Ketiga prinsip utama di atas bisa menjadi landasan teologis satu Maqashid Al Syari’ah, yaitu Hidf al Biah (menjaga lingkungan). Maqashid Al Syari’ah menjadi dasar dirumuskannya fiqh al biah (fiqh lingkungan) untuk menjabarkan etika ekologi praktis dalam bentuk halal haram. Hal inilah yang akan dijadikan pedoman praktis kehidupan muslim dalam mejaga kelestarian lingkungan.
Pembenahan Paradigma: Konsep dari Said Nursi
Selain paradigma Panenteisme Islam yang diungkapkan oleh Permana adapula konsep cara pandang alam di dalam Islam yang diungkapkan oleh tokoh pembaharu Islam Turki, Baiduzzaman Said Nursi dalam Rasa’il Nur-nya. Dalam paradigmanya Nursi menyatakan alam dapat dimaknai dengan dua cara, yakni ismi dan harfi. Layaknya pemaknaan dalam tata bahasa arab, alam dalam konsep ismi dimaknai secara independen, tidak perlu subjek lain untuk memaknainya secara utuh. Lain halnya dalam konsep harfi, sebagaimana huruf yang tidak memiliki makna apabila tidak dikaìtkan dengan jenis kata yang lain, semua entitas dari alam dianggap tidak bermakna jika tidak dikaitkan dengan penciptanya. Alam dianggap sebagai manifestasi asma’ul husna dan sifat-sifat kesempurnaan Tuhan. Alam dianalogikan bak cermin. Kita bercermin tentu tidak ditujukan untuk melihat wujud cermin bukan? Melainkan bayangan yang dipantulkannya.
Kedudukan alam dipandang sebagai buku yang terlihat (kitab mandzur) dan syari’at kosmos (syari’ah kaunniyah) yang indah, suci, mempesona di dalam keteraturan mutlak. Sebagai konsekuensi keyakinan alam sebagai manifestasi asma’ul husna, manusia wajib menempatkan alam secara sakral, menghormatinya, dan tidak merusaknya. Dengan dasar ini gerakan ekologis dapat dikategorikan sebagai bentuk ibadah yang dilandasi oleh mahabbah (cinta) kepada Sang Pencipta.
Penutup
Agama samawi, salah satunya Islam seringkali disalahkan atas kerusakan alam yang terjadi di bumi ini karena pandangan teosentrisnya (memandang alam hanya sebagai objek penunjang kebutuhan manusia dalam optimalisasi urusan peribadatannya dengan Tuhan). Dalam Islam memang benar tujuan penciptaan alam adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia, namun cara pandang Islam menuntut manusia memberikan penghargaan yang tinggi terhadap kelestarian alam. Ada tuntutan pertanggungjawaban dari Allah subhanahu wata’ala atas hak istimewa kita mengelola alam. Ada prinsip keseimbangan yang memandang kita sebagai bagian organisasional dari alam yang harus beradaptasi dengan dinamika alam semesta. Landasan prinsipil ini diharapkan dapat merubah cara pandang muslim terhadap lingkungan yang diimplementasikan mulai dari perilaku kecil sehari-hari. Regulasi bisa mengukuhkan pula upaya pelestarian alam, namun kesadaran dari masing-masing subjek regulasi adalah bagian yang tidak bisa diabaikan. Hendaklah umat ini segera berefleksi, sejauh mana kontribusi kita terhadap alam sehingga perintah yang tercantum dalam Q.S. Al Anbiya ayat 107, kelak dapat kita pertanggungjawabkan.
Referensi
Garner, R. 1996. Environmental Politics. Prentice Hall. London
Ihsan, Nur Hadi dan Moh. Isom Mudin. (2020). Paradigma Kalam dalam Konservasi Lingkungan Menurut Said Nursi. TASFIYAH : Jurnal Pemikiran Islam. Vol. 4 (No. 1). 27-46. Diakses dari ejournal https://unida.gontor.ac.id
Kartodiharjo, H. (2020, Februari) 10 Ancaman Omnibus Law Terhadap Lingkungan. Forest Digest.
Permana, Dadang Aji (2016) Etika Ekologi Panenteisme Islam. In: Cultural Studies di PTAI Teori dan Praktik. Bunga Rampai, Vol. 1 (No. 1). Laboratorium Religi dan Budaya Lokal (LABEL) Fakultas Ushuluddin. Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Yogyakarta
Saidi, Z. (1995). Secangkir Kopi Max Havelaar, LSM, dan Kebangkitan Masyarakat. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
https://www.forestdigest.com/rubrik/27/surat-dari-darmaga