Forum Mengeja Hujan #13: Al Hadits wal Muhadditsun

Forum Mengeja Hujan #13

Forum Mengeja Hujan #13: Al Hadits wal Muhadditsun bersama Ustadz Anton Ismunanto, S.Pd., M.Pd., pada 21 Agustus 2021. Rekaman seluruh kegiatan Forum Mengeja Hujan dapat diakses di bit.ly/RekamanFMH

AL HADITS WAL MUHADDITSUN

Al Hadits wal Muhadditsun adalah sebuah kitab yang terkenal, disertasi Abu Zahwu di Al-Azhar pada tahun 40-an yang membahas perkembangan ilmu hadits. Setelah ilmu fiqih matang, ilmu hadits segera menyusul pada abad yang sama. Ilmu fiqih sudah mencatatkan banyak nama besar pada tahun 200H atau 800M, baik yang telah meninggal sebelum tahun 800-an maupun yang meninggal setelah itu. Dalam nama besar yang meninggal sebelum tahun 800-an, ada nama-nama yang kita kenal seperti Abu Hanifah, Al- Auzai, Malik bin Anas, Laits bin Sa’ad, dsb. Dan meninggal setelah tahun 800-an adalah Imam Asy-Syafi’i. Imam Ahmad bin Hanbal, dsb. Hadits matang tidak lepas dari ilmu fiqih dan tokoh yang ada di dalamnya.

Jika meninjau dari ilmu fiqih, hadits merupakan perangkat penting dalam ilmu fiqih, bukan Qur’an. Karena Qur’an memberikan dasaran-dasaran yang bersifat global, sedangkan dasaran yang bersifat praktis ada di dalam hadits. Contohnya adalah ada sebuah ayat qur’an yang artinya “shalatlah kamu”, maka kita dapat mengetahui tata cara sholatnya dari hadits. Ayat perintah shalat tersebut bersifat global dan yang memperinci bagaimana tata cara shalat adalah hadits. Maka, kebutuhan fiqih terhadap hadits menjadi sangat besar dan ketika ilmu fiqih matang secara metodologi, para ulama yang peduli bersegera melacak keshahihan hadits.

Hadits secara etimologi memiliki makna “perbincangan/sesuatu yang baru”. Secara terminologi, hadits bermakna sebagai sebuah informasi mengenai Nabi Muhammad SAW ataupun selainnya dalam artian luas. Adapun dalam artian sempit adalah mengenai Nabi Muhammad SAW berkaitan dengan perkataan, perbuatan, persetujuan, karakteristik fisik, dan psikologis nabi. Kata yang berkaitan dengan hadits adalah sunnah yaitu tradisi yang bersandar kepada nabi. Perbedaan hadits dengan sunnah adalah sunnah berkaitan dengan tradisi real yang melekat pada masyarakat dan hadits adalah dokumentasinya, sehingga sunnah bersifat organis yang ada pada masyarakat sementara hadits adalah dokumentasi sunnah tersebut. Kemudian ada istilah khabar dan atsar, secara bahasa khabar dan atsar artinya adalah jejak dan secara istilah khabar (kepada para tabi’in) dan ashar (kepada para sahabat), hadits (kepada nabi), namun secara praktis khabar itu menggantikan hadits mauquf.

Bagaimana cara kerja hadits?

Dalam definisi telah disebutkan bahwa hadits adalah perkataan, perbuatan, persetujuan dan karakteristik nabi yang diberitakan kepada orang dan kemudian dipegang dalam persoalan keislaman. Tetapi kemudian, karena kebutuhan untuk memastikan kebenaran, hadist memiliki 2 anatomi yaitu matan (kontennya), sanad (rantai otoritas yang mengantarkan kita kepada nabi). Pada masa awal-awal, yang dihukumi adalah sanad, karena sesuai tradisi orang Arab yaitu berkaitan dengan rantai keluarganya (nasab) atau tradisi mengenali orang hingga kakek dan nenek. Hal ini mirip dengan sanad, yakni perilaku yang penggunaannya logis dan sah pada hadits.

Pada zaman nabi, beliau tidak mengizinkan untuk mencatat hadits. Terdapat sahabat yang bertugas mencatat wahyu dan tidak karena tidak semua sahabat pandai menulis, dan sahabat yang menulis Al Qur’an tidak boleh menulis hadist, karena takut akan tercampur aduk. Namun, ternyata sahabat yang tidak menulis hadist itu menulis, sehingga memilki rekaman. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang menarik adalah terdapat kodifikasi hadits (menyatukan hadits yang berserak). Meskipun kodifikasi hadits itu terjadi, tetapi mereka memiliki rantainya, yaitu nabi, sahabat, tabi’in tabiun, dan yang mempublikasikannya (mutawatir dan perawi yang tidak ada keraguan). Seorang ahli hadist sangat luar biasa karena ia harus bolak balik untuk mengonfirmasi kebenaran.

Bagaimana cara ahli hadits melakukan verifikasi?

  1. Orang yang disebutkan dipastikan ada
  2. Lalu, orang tersebut harus memiliki karakteristik moral yang baik, tidak melakukan hal-hal yang dianggap aib seperti kencing berdiri atau berbohong untuk menyenangkan anak
  3. Orang yang meriwayatkan hadits tersebut memiliki akurasi ingatan dan pemahaman yang baik (taamudh dhabt)
  4. Orang yang meriwayatkan hadits tersebut dipastikan saling terhubung (ittishalus sanad)
  5. Tidak ada keganjilan pada sanad (‘adamul ‘illah)
  6. Tidak ada keganjilan pada matan (‘adamusy syudzudz)

Dari proses verifikasi tersebut, muncul istilah-istilah hadits seperti shahih, hasan, dhaif, dan maudhu’. Jika rantai ini tepercaya maka disebut shahih. Apabila poin yang lain terpenuhi namun akurasi ingatannya kurang bernama Hasan. Namun, jika cacatnya terkait moralitas maka status haditsnya akan terlempar sangat jauh. Jika meninjau dari segi kualitas, hadits mutawatir adalah hadits yang melampaui hadits shahih yang artinya sudah sangat dipercaya. Kemudian adanya predikat shahih dan tidak shahih adalah karena ada ketidakcukupan data untuk mengatakan hadits tersebut dapat dipercaya. Adapun jika ditinjau dari segi kuantitasnya, hadits juga memiliki beberapa istilah. Ilmu yang mempelajari istilah-istilah dalam ilmu hadits adalah Mushthalahul Hadits.

Orang-orang yang sejak awal adalah penghafal yang ulung menopang peradaban Islam. Di saat yang sama, setelah turunnya wahyu berubah menjadi orang-orang yang memiliki kemampuan menulis yang sangat mengagumkan. Sehingga, ilmu di dunia Islam ditopang oleh hafalan dan tulisan. Jika ada orang yang membandingkan antara pemahaman dan hafalan, maka orang tersebut mungkin saja adalah orang yang sulit menghafal atau orang yang tidak paham. Kemudian, jika konteksnya peradaban barat, mereka mengatakan bahwa pemahaman lebih penting dari hafalan karena mereka tidak memiliki teks yang layak untuk dihafal, berbeda dengan Islam. Lalu ketika rasionalisme meningkat, ahli fiqih harus menyelesaikan permasalahan yang ada, dan orang Mu’tazilah memprovokasi ke penguasa, sehingga menimbulkan perubahan, seperti yang terjadi pada Imam Ahmad Bin Hambal (Imam Ahlu Sunnah yang kemudian dipersekusi), sehingga kita akan menemui para pemuda yang konsen terhadap hadits seperti Imam Bukhari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.