Oleh: Haidar Yusuf Arya Baskara
Rekam jejak perpolitikan yang cukup unik memang agaknya dimiliki oleh bumi khatulistiwa ini. Unik dalam artian memang hal inilah yang mungkin bisa jadi menjadi ciri khas/pembeda Indonesia dengan negara lain yang memiliki sejarah politik yang cukup mentereng. Adalah Cliford Geertz, salah seorang antropolog asal Amerika Serikat yang membagi dan menarasikan bahwa politik di Indonesia, khususnya Jawa dibagi menjadi tiga domain besar, yaitu Santri, Abangan, dan Priyayi (Geertz, 1981). Apa yang disebut sebagai ‘Santri’ di sini merujuk kepada para penganut ajaran Islam yang kuat (berpegang teguh kepada dogma-dogma ke-Islam-an) dan menjalankan ritual-ritual ibadah mereka dengan rajin. Santri inilah yang lambat laun di masa kontemporer diidentikkan sebagai pelajar dari institusi yang disebut pondok pesantren. Abangan, adalah kelompok masyarakat yang masih ada sedikit keterkaitan dengan spiritualitas/sinkretisme Jawa dan sangat dekat dengan petani Jawa yang belum terpengaruh pihak luar. Sedangkan untuk Priyayi adalah kelompok orang yang memiliki/dekat dengan resources dan memiliki previlage–previlage tertentu (elite pada waktu itu). Apa yang diutarakan oleh Geertz tersebut yang mungkin sekarang kita ketahui bernama ‘Politik Aliran”.
Politik Aliran ini tentunya membawa berbagai dampak atau pengaruh yang cukup besar bagaimana ideologi-ideologi di Indonesia tumbuh dan berkembang. Bagaimana bisa? Tiga aliran yaitu Santri, Abangan, dan Priyayi ini dapat dikatakan sebagai pelopor berbagai ideologi di Indonesia. Sebagai contoh adalah di mana pada saat era Presiden Soekarno kontestasi aliran ini begitu terlihat dan termanifestasikan ke dalam partai-partai politik di Indonesia pada waktu itu. Di satu sisi ada partai ‘sekuler’ seperti Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI) di mana ketiga partai besar ini menjadi minat/rujukan bagi orang abangan. Di sisi lain, aliran Santri yang terbagi menjadi dua, yaitu Islam tradisionalis (melalui pedesaan) yang diampu oleh Nahdatul Ulama (NU), dan Islam modernis (melalui perkotaan) yang diampu oleh partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan perkumpulan Muhammadiyah yang bersifat nonpolitis (Fossati, 2019). Selain berpengaruh besar terhadap peta ideologi bangsa Indonesia, Politik Aliran juga memunculkan perilaku politik tersendiri di berbagai lapisan masyarakat. Sebagai contoh adalah bagaimana perilaku politik masyarakat yang beragama selain Islam lebih condong untuk ikut bergabung ke sisi kelompok abangan, begitu pun sebaliknya, orang yang beragama Islam dalam beberapa kasus lebih mengikuti/memilih partai yang berideologi Islam daripada partai yang berbau sekuler. Priyayi yang diidentikkan dengan ‘bangsawan’ atau Borjuise Indonesia ini juga kadang memiliki manuver politik tersendiri sesuai kebutuhan dan kepentingan mereka. Bila bergeser ke masa setelahnya, yaitu masa orde baru, aliran sangat ketara tatkala mana adanya fusi partai/penyederhanaan menjadi hanya tiga partai saja yaitu Golongan Karya (Golkar) yang diisi oleh golongan fungsional atau TNI itu sendiri, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan peleburan dari partai-partai kecil berhaluan nasionalis, sosialis, dan partai selain Islam, dan yang terakhir adalah Partai Persatuan Pembangunan yang dicirikan dengan partai Islam dan penggabungan dari partai-partai Islam pada waktu itu.
Kendati demikian, tentu saja peta perpolitikan zaman dahulu dengan sekarang telah sedikit banyak berubah. Perubahan tersebut tentunya disebabkan berbagai faktor seperti partai sebesar NU yang tidak lagi menjadi partai politik, perubahan/pembaharuan beberapa partai seperti PDI menjadi PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), serta fenomena reformasi yang cukup banyak mempengaruhi perpolitikan nasional. Manuver politiknya pun menjadi tidak seideologis dulu, di mana polarisasi benar-benar terlihat jelas. Contoh dari kasus ini adalah di mana pilpres-pilpres pascareformasi kita mendapati bahwa partai-partai Islam dan partai non-Islam (nasionalis dan cenderung sekuler) bisa menjadi satu kubu. Ideologi seakan-akan ‘dikesampingkan’, dan lebih mengedepankan kepentingan politis mereka.
Dari berbagai pemaparan itulah yang boleh jadi awal munculnya bibit-bibit yang bernama ‘Politik Identitas’ pada masa kontemporer ini. Beberapa tahun terakhir, kita sempat di gegerkan dengan sebuah peristiwa politik elektoral sekaligus yang digadang-gadang menjadi pembuka keran fenomena politik identitas. Ya, kasus pilkada DKI Jakarta tahun 2017 yang mempertemukan Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab di sapa Ahok dengan lawan politiknya yaitu Anies Baswedan. Kontestasi kedua belah pihak ini mencapai puncaknya ketika Ahok terlibat dalam kasus yang media-media luaran sana menyebutnya dengan ‘penistaan agama’. Akibat dari kejadian ini, gelombang umat Islam mulai menunjukkan geliatnya. Hal itu terbukti dari banyaknya aksi-aksi yang diinisiasi oleh beberapa kelompok muslimin sebagai respons atas kasus Ahok tersebut. Aksi ini pun juga tidak terlepas dari kemungkinan politik tertentu, namun dampak dari ini semua adalah bagaimana kita melihat bahwa politik identitas menjadi fenomena baru yang menggejala di Indonesia. Melihat apa yang terjadi, terlihat ada beberapa kedekatan tersendiri antara politik aliran dengan politik identitas itu sendiri.
Dinamika politik di Indonesia saat ini juga masih bisa terbilang ‘akrab’ dengan politik identitas lebih-lebih aroma politik aliran pun juga cukup tercium. Dari ketiga kelompok politik aliran, dua di antaranya benar-benar begitu ketara yaitu Santri dan Abangan yang termanifestasikan ke dalam baik partai politik maupun perilaku politik masyarakat Indonesia itu sendiri. Apalagi ditambah dengan naiknya gelombang fenomena politik identitas di Indonesia yang tentu kita tahu bahwa Indonesia sendiri adalah negara yang memiliki banyak ‘identitias’ seperti ragam agama/kepercayaan, ras, suku, dan budaya. Kemajemukan ini di samping menjadi kekayaan, di sisi lain menjadi sesuatu yang rumit dan mengancam apabila tidak di-manage dengan baik dan semestinya. Boleh jadi politik aliran tersebut juga lahir sebagai konsekuensi atas kekayaan dan asimilasi budaya yang terjadi di Indonesia. Selain itu, segregasi kedua aliran tersebut boleh jadi karena belum adanya suatu pemersatu, entah itu ideologi atau semacam konsensus bersama bahwa Indonesia adalah satu. Selama beberapa hal tersebut masih ada, bukan tidak mungkin politik aliran ini akan terus kita dapati di Indonesia ini. Pilpres 2019 menunjukkan itu semua. Politik aliran yang pada awal kemerdekaan begitu terlihat, seakan kembali hadir pada Pilpres 2019 dengan format yang berbeda. Perbedaannya adalah pada hal ideologi partai yang pada paragraf sebelumnya telah disinggung. Koalisi-koalisi partai menjadi terlihat ‘random’ dan memang sarat akan kepentingan kursi jabatan. Namun, perilaku politik masih terlihat adanya dikotomi yang cukup besar meski tidak sebesar era Presiden Soekarno. Kelompok agama di luar Islam lebih cenderung mengarah kepada pasangan dan koalisi partai nasionalis yang mana basisnya bukan muslim meski ada partai Islam yang tergabung dalam koalisi. Begitu pula dengan pasangan yang memiliki basis pendukung umat Islam yang didukung penuh oleh mayoritas pemilih beragama Islam dan minoritas selain Islam.
Namun, hadirnya teori politik aliran di Indonesia sendiri juga menuai beberapa kritik tersendiri. Salah satunya adalah politik aliran tersebut hanya berpusat di Pulau Jawa (Jawasentris). Pertimbangan pulau-pulau lain di Indonesia tidak dihadirkan bila kita ingin menarasikan peta perpolitikan Nasional. Bila kita cermati juga, fenomena-fenomena serupa politik aliran seperti politik identitas juga terkonsentrasi/sering terjadi di Jawa, sedangkan pulau-pulau lain hanya sebagian kecil saja. Kritik lain yang muncul adalah belum adanya pemisahan yang benar-benar jelas penanda abangan dan santri. Dalam golongan Abangan, bukan tidak mungkin juga ditemukan muslim-muslim yang kuat dalam beribadah, begitu pun juga sebaliknya dengan yang terjadi dalam kelompok santri. Selain itu, posisi Priyayi dalam menjelaskan keadaan politik di Indonesia juga kadang menjadi simpang siur. Daripada politik, Priyayi malah cenderung lebih dominan mengarah kepada status sosial/ekonomi dalam masyarakat, meskipun belakangan juga bermunculan partai-partai kartel yang sedikit banyak memiliki kemiripan.
Daftar Pustaka
Ardanareswari, I. (2019, April 13). Sejarah Pemilu 1977: Taktik Fusi Parpol ala Soeharto & Orde Baru. Retrieved Oktober 3, 2019, from tirto.id: https://tirto.id/sejarah-pemilu-1977-taktik-fusi-parpol-ala-soeharto-orde-baru-dl3V
Detiknews. (2019, Maret 1). MPR: Politik Aliran Agama Paling Berpengaruh pada Pilpres 2019. Retrieved Oktober 03, 2019, from The Indonesian Institute: https://www.theindonesianinstitute.com/mpr-politik-aliran-agama-paling-berpengaruh-pada-pilpres-2019/
Fossati, D. (2019). The Resurgence of Ideology in Indonesia: Political Islam, Aliran and Political Behaviour. SAGE, 1-31.
Geertz, C. (1981). Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Wardah, F. (2017, Maret 30). Politik Identitas Kental Warnai Pemilihan Gubernur Jakarta. Retrieved Oktober 03, 2019, from VoA: https://www.voaindonesia.com/a/politik-identitas-kental-warnai-pemilihan-gubernur-jakarta/3788454.html
Tugas Individu dari Haidar Yusuf Arya Baskara (18/428271/SP/28480)
Ujian Tengah Semester, Analisa Politik Indonesia, 2019
Dosen Pengampu: Wawan Mas’udi, Dr., S.I.P., M.P.A. dan Nanang Indra Kurniawan, Dr., S.I.P., M.P.A.
Departemen Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada