Menuntut dan menyebar ilmu adalah sebuah bentuk pahala yang sangat digemari oleh Allah Swt. Sudah sepantasnya para jemaah mengejar pahala itu di bulan Ramadhan karena bentuk pahala ini sangatlah mudah untuk dicapai. Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil. mencontohkan langsung hal tersebut pada kajian samudra, Selasa (26/03), dengan membagi ilmu mengenai disiplin antropologinya. Dengan semangat, beliau mengajar evolusi dari perspektif-perspektif akademik dari tahun ke tahun yang menyebabkan ilmu menjadi seperti sekarang ini. Penelitian hal tersebut dapat membantu melihat jalan perkembangan ilmu pengetahuan di ekosistem akademik seperti universitas, dan Universitas Gadjah Mada sendiri bukanlah pengecualian dari perspektif baru ini.
Beliau menyampaikan sebuah asumsi universal mengenai universitas secara keseluruhan. Universitas disepakati secara universal menjadi tempat pengembangan ilmu pengetahun. Tempat pengembangan tersebut memiliki fungsi sosial dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam kehidupan manusia. Penyelesaian masalahnya harus berdasarkan sebuah kajian ilmiah dan kajian tersebut berbasis paradigma keilmuan tertentu. Beliau menegaskan betapa pentingnya paradigma dalam dunia universitas. Paradigma itu sendiri secara singkat berarti sebuah perspektif yang universal miliki. Dalam kata lain, paradigma yang dimaksud dalam lingkup universitas adalah memandang sebuah ilmu secara global dari berbagai macam cabang keilmuan.
Munculnya paradigma berawal dari perspektif-perspektif keilmuan sebelum-sebelumnya yang dinilai kurang memadai untuk segi ruang lingkup universitas di zaman modern. Salah satu perspektif paling awal adalah pendekatan ilmu yang memusatkan perhatian ilmuannya hanya pada satu disiplin ilmu atau monodisiplin. Seperti beberapa ilmu yang pertama muncul di dunia akademik, kedokteran, biologi, dan antropologi. Dengan monodisiplin sendiri, tiap cabang ilmu bersifat individualis dan hanya mempelajari objek material berdasarkan perspektif ilmu masing-masing.
Perspektif tersebut dinilai kurang efektif dalam menyelesaikan masalah-masalah duniawi, karena pada akhirnya segala hal dalam dunia ini saling terhubung satu atau lain hal. Dengan monodisiplin, dialog dua arah tidak terjadi di antara para ilmu. Oleh karena itu, multidisiplin lahir atas objek material yang sama melalui perspektif yang berbeda. Pengaplikasiannya terlihat saat para ilmuwan dapat menarik kesimpulan bahwa antropologi, kedokteran, dan biologi terhubung karena sama-sama mengkaji suatu objek yang sama, yaitu manusia. Sayangnya, multidisiplin belum menghasilkan banyak dialog karena objek, kajian, dan hasil kajian belum dapat ditentukan secara universal. Hasil kajian akhirnya berdasarkan masing-masing ilmu.
Fenomena tersebut mendorong sebuah kesadaran untuk berbagi pengetahuan, maka lahirlah interdisiplin. Perspektif tersebut menjelaskan dimana setiap ilmu jalan berdasarkan ilmu masing-masing tetapi sesungguhnya masih terjadi dialog di antaranya. Seperti ilmu ekonomi, biologi, dan sosiologi yang dapat ditemukan pada ilmu kedokteran. Keterkaitan tersebut melahirkan kesehatan masyarakat. Pendekatan ini dapat membuka perspektif lebih luas. Walaupun ada dialog antar para ilmuan dan menemukan sebuah tumpang tindih antar disiplin, tetapi pemahaman teoritis masihlah kurang. Pemahaman teoritis inilah yang penting karena terjadi penambahan pengetahuan substantif mengenai objek material. Jadi yang diutamakan adalah perspektif, bukan objeknya.
Pengembangan ilmu pengetahuan disepakati kalau dalam pengetahuan tentang objek material diperlukan sebuah kerangka teori. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan pada aspek objek formal, harus melalui kerangka teori yang akhirnya akan mencapai sebuah pemahaman tentang objek formal. Disinilah dimana kerangka teori paradigma dibutuhkan. Maka setelahnya muncullah kajian transdisiplin, dimana keilmuan berada di tataran paradigma kerangka teori. Yang harus dicapai adalah menyebrang, melampau dan mengatasi.
Makna dari transdisiplin sendiri adalah menyebrang dari sebuah disiplin ilmu ke disiplin ilmu yang lain, melampaui sebuah disiplin ilmu dan mengatasi sebuah disiplin ilmu. Sama seperti kajian ilmu antropologi yang membahas tentang manusia dan linguistik membahas tentang bahasa. Tetapi kedua disiplin ini bisa bertemu dengan paradigma tertentu, karena pada akhirnya kedua disiplin membahas mengenai manusia. Transdisiplin sendiri dapat mempererat dialog antar disiplin dan akan membuat batas antar disiplin mengabur. Identitas keilmuan pun tidak menjadi penting.
Pemetaan paradigma dalam berbagai disiplin ilmu dapat mengungkap berbagai macam cabang ilmu yang saling terhubung. Sebagai contohnya, paradigma antropologi yang paling jelas terlihat transdisiplinnya adalah etnosains karena memiliki banyak percabangan. Secara singkat, etnosains bercabang banyak karena berbagai macam etnis dan latar belakang di dunia ini menyebabkan berbagai macam perspektif. Paradigma yang terbaru ditemukan dengan transdisiplin ini, karena banyak ilmu yang kini memiliki berbagai macam cabang yang saling bertemu. Walaupun demikian, masih juga ada kritikan terhadap etnosains itu sendiri karena intervensi dari kebudayaan masing-masing kurang memperhatikan realita.
Walaupun demikian, banyak ilmuwan yang mengharapkan dapat menciptakan sebuah ekosistem berkedok paradigma transdisiplin di ekosistem akademiknya. UGM sendiri bukanlah pengecualian, karena pada akhirnya, paradigma transdisiplin ini dibutuhkan untuk memajukan perkembangan ilmu demi kebutuhan masyarakat. (Raissa Serafina Rayendra/Editor: Hafidah Munisah/Foto: Tim Media Kreatif RDK)