Karakter merupakan bagian tak terpisahkan dari individu. Erma Pawitasari, Kandidat Doktor Pendidikan Islam UIKA Bogor seperti yang dilansir insistent.com menerangkan bahwa karakter identik dengan akhlaq, yakni kecenderungan jiwa untuk bersikap/bertindak secara otomatis. Karakter yang sesuai dengan ajaran Islam disebut akhlaqul karimah atau akhlaq mulia (Mohamed Ahmed Sherif, Ghazali’s Theory of Virtue, 1975). Untuk meraih karakter ini, ada dua jalan yang bisa dilakukan. Pertama, bawaan lahir sebagai karunia dari Allah SWT. Contoh dari kategori ini ialah akhlak para nabi. Kedua, hasil usaha melalui pendidikan dan penggemblengan jiwa (SM Ziauddin Alavi, Muslim Educational Thought in The Middle Ages, 1988).
Untuk menciptakan generasi yang memiliki karakter akhlaqul karimah, ada enam prinsip yang menjadi parameter pendidikan karakter yang baik. Keenam prinsip tersebut antara lain:
1. Menjadikan Allah Sebagai Tujuan
Berbeda dengan masyarakat sekuler yang mengimani “ide ketuhanan”, umat Islam mengimani Allah sebagai Tuhan yang wujud, sehingga ketaatan kepadaNya menjadi mutlak. Masyarakat sekuler tidak ambil pusing apakah yang diimani benar-benar wujud atau sekedar khayalan (Muhammad Ismail, Bunga Rampai Pemikiran Islam, 1993). Ide tersebut diimani karena memberikan pengaruh baik bagi manusia. Meski demikian, konsep tersebut tidak mampu menjelaskan keajaiban yang dialami Nabi Ibrahim ketika menerima wahyu untuk menyembelih putranya.
Islam, disisi lain, mengajarkan agama sebagai penuntun dunia menuju keridhaan Allah. “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.”[QS. al-Dzaariyaat 56]. Untuk mencapai keridhaan Allah inilah, manusia wajib menghiasi diri dengan akhlak mulia (Sherif, 1975).
2. Memperhatikan Perkembangan Akal Rasional
Akal merupakan modal utama untuk mencapai iman dan keridhaan Allah. Mustahil bagi manusia untuk meraih karakter yang mulia tanpa didasari pemahaman atas perilaku-perilaku yang ada dalam kehidupannya. Allah SWT berfirman dalam QS. At-Tariq ayat 5 (yang artinya): Maka hendaklah manusia memperhatikan (sehingga memikirkan konsekuensinya) dari apakah dia diciptakan?
Pada awal pendidikan, anak-anak memerlukan doktrinasi tentang perilaku yang baik, maupun yang buruk. Metode ini dipilih karena mereka belum mampu memahami alasan pelarangan atau perintah tesebut. Sejalan dengan perkembangan kognitif mereka, pendidikan karakter perlu memperhatikan alasan yang rasional. Rasulullah Saw sering melakukan dialog dengan para sahabatnya dalam rangka mengasah kemampuan akal mereka. Salah satunya tergambar dalam hadist berikut: “Apakah pendapat kalian, jika sebuah sungai berada di depan pintu salah satu dari kalian, sehingga ia mandi darinya sehari lima kali; apakah akan tersisa kotoran pada badannya?” Para sahabat menyahut, “Tidak sedikit pun kotoran tersisa pada badannya.” Nabi melanjutkan, “Demikianlah seperti shalat lima waktu, dengannya Allah menghapus kesalahan-kesalahan.” [HR. Muslim]
3. Memperhatikan Perkembangan Kecerdasan Emosi
Emosi merupakan karunia Allah SWT yang mempengaruhi manusia dalam perilakunya. Pendidikan karakter yang baik hendaknya memperhatikan pendidikan emosi, yakni bagaimana melatih emosi anak agar dapat berperilaku baik. Kemampuan kognitif tanpa didukung dengan kecerdasan emosi menyebabkan manusia bertindak diluar nilai-nilai akhlaq dan rasional. Rasulullah SAW mencontohkan pembangunan kecerdasan emosi saat seorang pemuda datang meminta ijin berzina. Beliau memberikan pertanyaan dan penjelasan yang menyentuh faktor emosinya, menuntunnya pada pemahaman bahwa apa yang dilakukannya akan menyakiti orang lain.
4. Praktik Melalui Keteladanan dan Pembiasaan
Manusia merupakan peniru ulung. Tidak mengherankan jika pendidikan karakter yang efektif selalu didasarkan pada keteladanan dan pembiasaan. Dalam mendidik karakter umat Islam, Rasulullah menempatkan dirinya sebagai suri tauladan. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-ahzab ayat 21: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
5. Memperhatikan Pemenuhan Kebutuhan Hidup
Orang yang berkecukupan memiliki kecenderungan yang lebih kecil untuk melakukan perbuatan yang tercela. Oleh karena itu, Islam memerintahkan negara untuk menjamin kebutuhan pokok masyarakat. Rasulullah Muhammad Saw bersabda: “Barangsiapa mati meninggalkan harta, maka itu hak ahli warisnya. Dan barangsiapa mati meninggalkan keluarga yang memerlukan santunan, maka akulah penanggungnya.” (HR. Muslim). Dengan adanya jaminan atas kebutuhan dasar hidup, ummat dapat lebih terkondisikan untuk melakukan perilaku akhlaqul karimah.
6. Menempatkan Nilai Sesuai Prioritas
Kurang efektifnya pendidikan karakter sering disebabkan oleh perbedaan prioritas dalam memandang nilai. Dalam Islam, prioritas perbuatan dibagi menjadi wajib,sunnah, mubah, makruh, dan haram. Penilaian moralitas, sama halnya dengan perkara lain, juga didasarkan pada pembagian prioritas tersebut. Oleh karena itu, penting bagi pendidik untuk mengetahui kedudukan tiap-tiap perbuatan sebelum mengajarkannya kepada murid-murid.
Demikian enam prinsip pendidikan karakter. Prinsip-prinsip tersebut perlu dipenuhi untuk menciptakan pendidikan karakter yang ideal dan sukses.