Oleh: Sri Mawar Aprilyanti & Juli Fathonah (staf BSO Gadjah Mada Menghafal Qur’an)
“Shodaqallahul adhim…”
Alhamdulillah pekan ini Aku dan Rara telah menyetorkan hafalan kepada kak Anin. Kegiatan pekanan yang selalu kami tunggu-tunggu di tengah kesibukan yang kian padat, namun kebutuhan ruhiyah harus tetap perlu diisi. Ibarat sebuah wadah, untuk mengisi kembali setelah terpakai perlu dibersihkan terlebih dahulu. Begitu pula dengan hati. Dengan hati yang dibersihkan, jiwa akan terasa baru untuk menyemai segala aktivitas.
**
Setelah selesai menyetorkan hafalan, kami membentuk sebuah lingkaran kebersamaan yang menguatkan ikatan ruhiyah satu sama lain. Ikatan yang mengantarkan untuk selalu mencintai kalam-Nya.
Rara mengawali perbincangan di kala senja yang dingin itu,
“Kak, katanya kalau udah selesai 30 juz, menjaganya susah ya kak?” tanya Rara.
Kak Anin tersenyum kemudian menjawab pertanyaan Rara dengan sangat lembut.
“Semua orang punya cara tersendiri dalam menjaga hafalan. Ada yang menjaga dari pola makannya, ada yang menjaga tingkah lakunya, ada juga yang berkeyakinan bahwa sebenarnya kalau kita yakin hafalan kita tidak hilang, maka hafalan kita tidak akan hilang,” kata kak Anin.
Aku yang mendengar jawaban kak Anin tersenyum sumringah, dan memegang doktrin bahwa kalau kita yakin hafalan kita tidak hilang , maka dia tidak akan hilang.
“Sepertinya ini alasannya kenapa aku mudah saja menghafal dan hafalanku tidak hilang, mungkin karena Aku yakin,” ucapku dalam hati mantap sambil tersenyum.
*
Saat sedang asyik-asyiknya berbincang, tiba-tiba ada seorang pemuda yang tak sengaja lewat dengan perawakannya yang santun dan tanpa sengaja aku melihatnya,
sampai Aku merasa sebuah tepukan di pahaku.
“Pandangannya dijaga..” kata Rara yang mengingatkanku.
“Eh.. Aku kan tidak sengaja melihatnya” jawabku sambil mengalihkan pandanganku ke Rara.
“Walaupun tidak sengaja tapi kan mandangnya lama, hati-hati nanti hafalannya hilang” ingat Rara lagi.
“Kata kak Anin kalau kita yakin hafalan kita tidak hilang, dia tidak akan hilang. Dan, aku yakin,” ucapku sambil tersenyum bangga.
“Sudah.. sudah.. jangan berdebat,” lerai kak Anin dengan lembut sambil tersenyum.
“Kita boleh berpegang teguh dengan doktrin tadi, tapi ingatlah ada istidraj” jelas kak Anin sedikit serius. Aku dan Rara mengerutkan kening.
“Istidraj apa kak?” Tanya ku.
“Istidraj itu, tahap ketika Allah seperti mengabaikan kita. Ketika kita melakukan maksiat baik kecil atau besar tapi tidak berpengaruh kepada kita, termasuk kepada hafalan kita, atau bahkan kepada hidup kita,” jawab kak Anin diakhiri dengan senyum.
“Boommmm….”
Aku benar-benar merasa seperti tercambuk saat ini. Aku menundukkan kepalaku sambil merenung dan mengingat betapa banyak maksiat-maksiat kecil yang aku lakukan tapi tidak berpengaruh apapun kepada hidupku.
Hmm.. Batinku menjadi bergejolak, pikiranku menjadi tak karuan, pertanyaan yang kini membuat jiwa ini tidak tenang lagi.
“Apakah aku termasuk ke dalam kategori istidraj?,” pertanyaan yang terus terngiang difikiran dan menohok di dalam hati. Sedih dan takut kian menyelimuti, takut kalau ternyata Allah tidak lagi memedulikanku.
“Kita boleh berpegang teguh pada doktrin itu, tapi kita juga harus hati-hati untuk menjaga hubungan kita kepada Allah.” Ucap kak Anin dengan lembut sambil menepuk lembut bahuku.
Aku tak kuasa menahan air mataku. Air mata penuh ketakutan bahwa Allah telah mengabaikanku terus mengalir deras. Dan aku merasakan sebuah pelukan. Ya. Rara memelukku…
**
Betapa pentingnya menjaga hubungan dengan-Nya, hubungan dengan kalam-Nya, dan hubungan dengan sesama insan-Nya.
Menjaga memang sulit, tapi jauh lebih sulit jika Allah telah mengangkat keistiqomahan kita dalam menjaga.
Allahummarhamnaa bil Qur’an….
~Dua insan-Nya yang ada dalam barisan Halaqah Qur’an di Masjid Kampus Kerakyatan. (Juli dan Mawar)~