Alfath Bagus: Sejak 2019, Indeks Pembangunan Indonesia Menurun Sangat Drastis

Ramadhan hari ketujuh di Masjid Kampus UGM kali ini dibersamai dengan Bapak Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, S. I. P., M. A. yang merupakan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM sebagai pembicara dalam Ramadhan Public Lecture (RPL), Sabtu (16/03). Tema yang dibahas pada malam hari ini yaitu Memulihkan Nalar Publik dan Mengembalikan Kompas Moral dalam Kehidupan Bernegara. Indonesia merupakan negara demokratis, dimana pemerintahan dijalankan dengan mewujudkan kedaulatan rakyat atas negara. Hal ini juga dibuktikan dengan sistem pemilu di Indonesia yang mekanisme nya dipilih langsung oleh rakyat. 

 

Freedom Institute (lembaga nirlaba yang independen) dari Swedia menunjukkan kondisi di dunia mengalami kemunduran demokrasi. Total terhitung setidaknya ada sekitar 60 negara di dunia dari negara yang telah disurvei mengalami kemunduran demokrasi dan sudah memasuki era otokrasi  (era demokrasi yang telah membusuk), salah satunya Negara Indonesia. Tidak hanya Freedom Institut, Freedom House juga menunjukkan kajian yang serupa. Sejak 2019, indeks demokrasi Indonesia mengalami kemunduran yang sangat signifikan. Hal ini didasarkan atas persoalan kebebasan sipil, dimana masyarakat sipil mengalami penurunan untuk mengawasi kekuasaan negara. Terakhir, lembaga The Economist Intelligence Unit, sayap bisnis Economist Group yang menyusun prakiraan dan rekomendasi melalui penelitian dan analisis, baru-baru ini juga mengawasi terkait demokrasi dan disebutkan bahwa Indonesia mengalami kemunduran demokrasi. Dari 3 lembaga survei yang bersumber internasional, dapat diambil kesimpulan bahwa demokrasi bukan masalah yang sepele. “Demokrasi merupakan isu kebijakan publik dieksekusi, isu tentang bagaimana caranya kebijakan itu berasal dari kepentingan dan kehendak publik, serta demokrasi menilai pentingnya bagaimana cara kita menghargai hukum,” kata Alfath Bagus dalam kajiannya.

 

Demokrasi sering mengandaikan bicara mengenai mayoritas dan minoritas, di mana mayoritas yang akan memenangkan pertarungan. Faktanya, demokrasi tidak berbicara hal yang sifatnya detail. Demokrasi membutuhkan sebuah rasionalitas. Dalam kajian ini, Alfath Bagus mengajak jamaah Masjid Kampus UGM yang hadir untuk mendiskusikan mengenai nalar publik dan kompas moral.

 

Nalar publik menurut John Rawls (1997) merupakan etika politik yang menekankan aspek penting diskusi antara otoritas yang berkuasa dengan warga negara. Nalar publik menjamin  warga negara berdiskusi melakukan percakapan politik secara bebas tanpa adanya tendensi tertentu. Namun, belakangan ini nalar publik tidak berjalan semestinya. Terdapat 3 faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, yaitu persoalan manipulasi media sosial yang dilakukan oleh politisi (adanya buzzer politik), politik programatik yang belum menjadi arus utama, serta kemiskinan dan kebodohan dijadikan sebagai komoditas politik. Faktor-faktor ini yang sering membuat nalar publik kacau dan pada akhirnya mempengaruhi nalar individu.

 

Kompas moral merupakan suara hati yang kemudian merepresentasikan tentang sesuatu. Seperti halnya kompas yang menjadi petunjuk arah/navigasi bagi seseorang, kompas moral ini berkaitan dengan apakah seseorang berada dalam kebenaran atau justru bergerak ke arah yang salah. Peristiwa 1 abad yang lalu mengenai tenggelamnya Kapal Titanic yang diakibatkan oleh kegagalan nahkoda dan awak kapal dalam navigasi kapal. Hal ini dapat diibaratkan dengan kondisi di hari ini, ketika berbicara mengenai demokrasi yang mengalami kemunduran dan hukum yang diabaikan. Maka bagaimana caranya mengembalikan kompas moral sebagai panduan agar tau mana yang benar dan mana yang salah. Kompas moral bermuara pada 3 hal, yaitu terkait dengan demoralisasi, depolitisasi, dan minimnya oposisi.

 

Sebagai warga negara Indonesia, memulihkan nalar publik dan mengembalikan kompas moral menjadi sangat penting karena belakangan ini terdapat banyak persoalan terkait hal ini, salah satu contohnya yaitu kemunduran demokrasi. Seperti yang telah tercantum dalam Qur’an surat An-Nisa ayat 21 bahwa kebenaran tidak melihat sedikit banyaknya orang yang memperjuangkan, yang benar akan tetap benar dan yang salah akan tetap dikatakan salah. 

 

Sebagai penutup, Alfath Bagus memberikan sebuah pesan, “ada 2 hal yang harus kita lakukan untuk memastikan nalar publik kembali ke dalam koridornya dan kompas moral berada dalam fungsinya. Tugas yang pertama, tidak boleh berjuang dan berbuat baik sendirian. Kita harus bisa berkolaborasi di dalam kebaikan, sepreti dalam Qur’an surat Al-Maidah ayat 2, yaitu perintah mengenai tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa, serta surat Ar-Rahman ayat 30 mengenai kebaikan akan dibalas oleh kebaikan. Kemudian tugas kedua, kita harus memiliki kesadaran untuk aktif di lingkungan sekitar agar bisa mencerahkan masyarakat dengan mengambil peran publik.” (Jullanar Hanun Hanifah/Editor: Hafidah Munisah/Foto: Tim Media Kreatif)

 

 

Saksikan videonya berikut ini:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.