Kajian Samudra (19/3) dibersamai oleh Fina Itriyati, M.A., Ph. D., dosen Departemen Sosial FISIPOL UGM, dengan tema “Dinamika Gender dan Implikasinya Pada Sistem Kerja Pasca Pandemi”. Pada kesempatan ini, beliau menyampaikan mengenai riset yang telah dilakukan bersama salah satu profesor dari University of Colorado Boulder yang berjudul “Empowering Resilience: Unintended Consequences and Reflection on Woman and Work after COVID-19 in Yogyakarta, Indonesia”. Dikatakannya bahwa relasi gender pasca pandemi sangat berbeda dari peran perempuan dan fleksibilitas yang dilakukan saat pandemi. Perempuan yang berperan sebagai ibu sekaligus istri pada masa pandemi mendapatkan beban yang bertambah dua kali lipat oleh keterlibatan perempuan dalam rumah tangga, seperti harus menjadi guru untuk anak sebab perubahan sistem pendidikan yang dilakukan dari rumah, menyiapkan segala kebutuhan anak dan suami yang saat itu menjadi 24 jam berada di rumah dan menjalani hidup sebagai pekerja yang harus tetap melakukan pekerjaan secara profesional dari rumah.
Walaupun saat pandemi laki-laki juga memiliki peran yang banyak seperti harus mencukupi kebutuhan rumah tangga, namun tetap tidak dibebani tanggung jawab domestik. Adanya peran yang dibebani kepada perempuan ini mampu meningkatkan rasa percaya diri terhadap kemampuan perempuan dalam banyak tantangan yang berat dan berubah 180o. Namun ternyata, masih terdapat ketidaksetaraan gender setelah pandemi. Pembahasan yang beliau bahas disini lebih ditujukan pada bagaimana kondisi ketidaksetaraan gender dalam dunia pekerjaan walaupun setelah perempuan menghadapi banyak pressure (tekanan) dari perannya saat pandemi terjadi.
Fina Itriyati mengatakan, “Pandemi berdampak kepada banyak sektor, namun perempuan lah yang lebih dalam kondisi tidak menguntungkan”. Beliau menegaskan pula adanya krisis dapat membuka pandangan mengenai ketidakadilan gender, khususnya pada perempuan, sebab dengan adanya krisis dari beragam beban tiap orang dan karakteristik yang berbeda dapat menyebabkan relevansi yang bermacam-macam pula. Hal tersebut disebabkan kapasitas yang berbeda dan resource yang berbeda, contohnya seperti kondisi ekonomi atau kondisi sosial yang dapat mempengaruhi pandangan mengenai ketidakadilan gender.
Dalam penelitian kolaborasinya ini, beberapa perempuan dengan kelas sosial yang berbeda dan dari rata-rata penghasilan dipilih sebagai objek penelitian, baik pada pekerjaan formal maupun informal. Yogyakarta dipilih sebagai tempat melakukan survey dengan metode etnografi, menyelami kehidupan masyarakat suku dan budaya jawa mengenai pandangan gender yang patriarki namun memiliki urgensi berbeda sesuai kelas sosialnya. Sebagai contoh, dalam kelas menengah ke atas pada masyarakat yang dikaji, istri cenderung menjadi secondary breadwinner (pencari nafkah sekunder) yang tidak wajib mencari nafkah, suami lah yang menjadi sumber utama nafkah, sedangkan tugas istri adalah sebagai pendamping suami dan mengurus kegiatan domestik di rumah seperti mengurus anak. Pada masyarakat kelas menengah ke bawah, justru sangat berkebalikan dengan kelas menengah, yaitu istri merupakan primary breadwinner (pencari nafkah utama), seperti berjualan di pasar, menjadi sales, membuka toko atau kedai usaha. Hal ini disebabkan suami dengan dalam keluarga kelas bawah cenderung sulit mendapatkan pekerjaan yang tetap. Selain itu, dikaji pula mengenai peran perempuan disabilitas pada kelas menengah ke bawah yang merupakan korban bencana letusan gunung merapi 2010. Pandemi merupakan bencana yang kedua dari korban bencana alam tersebut, dirasakan bahwa perempuan lah yang mendapatkan dampak yang berat. Walau begitu, perempuan disabilitas tetap mendapatkan pekerjaan tetap karena terdapat peluang 1% dalam dunia kerja untuk kaum disabilitas agar terus mendapat income reguler sehingga dapat membantu mencukupi kebutuhan keluarga.
Fina Itriyati, M. A., Ph. D. mengutip salah satu perkataan responden perempuan kelas menengah ke bawah yaitu “sirah dadi sikil, sikil dadi sirah” yang artinya kepala jadi kaki dan kaki menjadi kepala, adanya peran perempuan sebagai pencari nafkah juga ditegaskannya kalau perempuan kelas menengah ke bawah saat masa pandemi akan diusahakan semaksimal mungkin agar tetap dapat bertahan hidup untuk makan. Hal yang menarik muncul pada perempuan kelas menengah kebawah, walaupun penghasilan yang didapatkan masih kurang untuk menghidupi kehidupan sekeluarga, namun yang paling diusahakan adalah pendidikan anak-anak. Apapun dilakukan untuk mencukupi fasilitas pendidikan seperti mencari pekerjaan tambahan, menjual aset, hingga berhutang. Tidak hanya itu, perempuan kelas menengah keatas juga keluar dari zona nyaman untuk ikut membantu mencukupi pendapatan suami yang saat itu terkena dampak PHK dengan berdagang, menumbuhkan ide-ide baru bahkan tak jarang usaha tersebut terus bahan hingga endemi berakhir dan menjadi pendapatan regular keluarga.
Dari hasil penelitian ini juga yang didapatkan hasil menarik dari responden, yaitu jawaban mengenai persoalan berserah diri kepada Allah swt. yang terus dilakukan dan ditanamkan dalam mindset masyarakat yang terdampak pandemi. Dengan terus percaya terhadap takdir Allah Swt. dan berpasrah kepada Allah Swt. menjadi salah satu metode untuk support iman dan mental masyarakat saat pandemi. Berserah diri ini tentunya tetap diimbangi dengan usaha yang dilakukan untuk memunculkan motivasi hidup, baik untuk menghidupi fisik, mental, moral, dan spiritual. Hal tersebut dibuktikan oleh perempuan yang tidak menjadikan pandemi sebagai faktor penghalang untuk berkembang, justru menjadikan peluangan menyampaikan kreativitas untuk menghasilkan income. Pandemi memunculkan self-determination pada perempuan untuk menentukan nasib diri sendiri dan keluarganya untuk survive di tengah kondisi tidak nyaman dengan membantu dari aspek manapun. Terakhir, Fina Itriyati, M.A., Ph.D. menyampaikan “Perempuan mampu menghadapi pandemi dengan segala pressure yang dihadapinya”. (Hafifah Nur Ainiyah/Editor: Hafidah Munisah/Foto: Tim Media Kreatif RDK)