Pada kajian Samudra, (27/03), RDK mengundang Prof. Dr. H. Abdul Mustaqim, S.Ag., M.Ag. yang membawa materi mengenai awal penafsiran Al-Quran dan alur perkembangannya seiringnya perkembangan manusia di zaman modern. Bisa dilihat dari sejarahnya bahwa Al-Quran telah melalui berbagai macam rintangan dan perkembangan yang membawanya ke era penafsiran terkini.
Beliau menyampaikan, manusia memiliki 4 tuga yang perlu diperhatikan. Pertama, mengimani Al-Quran. Hal tersebut berarti membenarkan bahwa Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada Rasulullah. Dengan kepercayaan bahwa Al-Quran datang dari Allah Swt. berarti tidak ada lagi keraguan mengenai kebenaran isi ajarannya yang dapat dijadikan pedoman hidup bagi para manusia. Selanjutnya adalah tugas untuk mengkaji tafsiran Al-Quran setelah membacanya. Lalu mengutamakan bimbingan oleh Al-Quran untuk menjalani kehidupannya, berarti mengutamakan pemahaman petunjuk yang diberi. Dan yang terakhir, setelah merasa diri sendiri telah memahami secara penuh, mengajak orang lain untuk ikut mengamalkan isi AL-Quran bersama. Itu sebabnya kenapa Al-Quran bisa diartikan sebagai daya sentripetal dan sentrifugal, yaitu Al-Quran memiliki daya tarik untuk dipelajari dan dipraktekkan.
Transformasi Al-Quran ditekankan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan penafsiran Al-Quran dari zaman ke zaman. Disebut dalam sejarah, bahwa Al-Quran berawal dari sebuah tradisi lisan setelah wahyu diantarkan oleh malaikat Jibril kada Rasulullah. Setelah menerima wahyu, Rasulullah langsung mengajarkan isinya kepada para umat dan sahabatnya. Lalu para sahabat meneruskannya dengan cara mencatat ajaran-ajarannya di berbagai macam alas sebelum dapat dibukukan dan disebarluaskan. Dengan adanya penafsiran ini, ajaran Islam dapat diteruskan dan dapat ditafsirkan untuk generasi berikutnya.
Tafsir, secara bahasa, berarti menyingkatkan dan menjelaskan. Abdul Mustaqim memberi contoh ayat pertama dari surat Al-Baqarah, “Alif Lam Mim.” pada ayat tersebut ‘alif’ ditafsirkan sebagai simbol Allah Swt. yang memberikan wahyu, ‘Lam’ disimbolkan sebagai malaikat Jibril yang menyampaikan wahyu tersebut, dan ‘mim’ disimbolkan sebagai Rasulullah yang menerima wahyu tersebut. Pengartian ini dapat ditarik karena tafsir terhitung lebih luas dibanding terjemahan.
Kegiatan tafsiran juga melewati proses yang cukup lama sebelum mencapai era saat ini. Pertama, era klasik, ketika Rasulullah masih hidup dan wahyu yang turun dapat langsung disampaikan kepada para umatnya. Wahyu yang diturun sering mengandung makna kiasan yang mengakibatkan keambiguan dalam memahaminya, tetapi Rasulullah dapat langsung meluruskan keambiguan tersebut agar dapat dipahami oleh umatnya. Selanjutnya adalah era setelah peninggalan Rasulullah, yaitu ketika Al-Quran telah dicatat menjadi satu buku besar, era pertengahan. Di era ini, penafsiran AL-Quran didasari ideologi-ideologi tersendiri dalam pengertiannya. Ideologi-ideologi tersebut datang dari latar belakang tiap orang, seperti dari ahli hukum, ahli filsafat, dan lain sebagainya. Lalu berlanjut ke era yang kita tinggali saat ini, era modern kontemporer. Era ini mengutamakan tafsiran kritis, dimana tafsir-tafsir direkonstruksi berdasarkan keadaan masyarakat sekarang. Agama didorong untuk berkomunikasi dengan ilmu lain supaya dapat membuat tafsiran yang paling tepat untuk perkembangan zaman.
Contoh dari tafsiran kritis zaman sekarang adalah ketentuan bepergian bagi perempuan. Disebutkan bahwa ketika seorang perempuan ingin bepergian, maka ia diharuskan bersama seorang mahram untuk mendampinginya. Hal tersebut didasarkan oleh kondisi pada zaman itu yang tidak memiliki fasilitas-fasilitas keamanan yang memadai seperti saat ini. Pada zaman itu, bepergian masih harus menggunakan unta sebagai kendaraan dan medan yang dilewati adalah padang pasir, sehingga tidaklah aman jika seorang perempuan melakukan perjalanan seorang diri. Maka, solusi yang diberikan pada zaman ini adalah penjaminan keselamatan bagi para perempuan yang melakukan perjalanan sendirian. Jaminan tersebut didapatkan dari adanya sebuah perwakilan keamanan, seperti KBRI, polisi, dan lain sebagainya.
Dalam berinteraksi dengan teks Al-Quran sendiri, ada tiga cara besar yang disebut tripolar. Pertama, tekstualis-skripturalis, yang berarti mengartikan isi teks Al-Quran secara langsung. Interaksi ini menggambarkan awal mula penafsiran Al-Quran yang dilakukan secara literal. Kelemahan dari interaksi tersebut adalah beberapa isi dari Al-Quran dianggap secara serius yang penjelasannya menggunakan kiasan. Selanjutnya, interaksi liberalis-de-skriptualis yang berarti memiliki pemikiran liberal. Pemikiran tersebut merujuk pada berbagai macam praktek, walaupun sudah dilarang keras di Al-Quran, tetapi masih diperbolehkan selama tidak melanggar HAM. Interaksi yang terakhir adalah kontekstualis-maqashidi, yang berarti tafsiran yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Tafsiran ini menekankan komunikasi kuat dengan ilmu pengetahuan lain dan sangat membantu dalam memberikan pedoman hidup bagi para umat Islam di jaman modern ini. (Raissa Serafina Rayendra/Editor: Hafidah Munisah/Foto: Tim Media Kreatif RDK)