Memilih Pemimpin

Memilih Pemimpin

Oleh: Agung Nugraha S.

Eksistensi kepemimpinan tak bisa dilepaskan dari permasalahan umat ini. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila tiga orang keluar dalam sebuah safar, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antaranya sebagai pimpinan.” [1]. Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan terkait hadits ini, “Apabila telah diwajibkan mengangkat seorang amir dalam perkumpulan dan masyarakat yang  paling kecil dan bersifat sementara (dalam safar), maka ini menunjukkan lebih wajibnya mengangkat amir dalam skala yang lebih besar darinya.”[2]

Dalam nash yang lain, Allah tegaskan tentang kedudukan seorang pemimpin, terkait ketaatan seorang muslim terhadap otoritas, ialah setelah Ia, dan Rasul-Nya, meski oleh para ahli tafsir ketaatan tersebut diberi catatan selama pemimpin tersebut tidak melakukan kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya. “ Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…”(Q.S. Annisa : 59). Karena eksistensi pemimpin ini dirasa begitu urgen, hingga Ibnu Taimiyyah rahimahullah, dalam Kitab As-Siyasah Asy-Syar’iyah, mengutip sebuah atsar, “Enam puluh tahun bersama dengan penguasa yang zalim itu lebih baik dibandingkan dengan satu malam tanpa adanya penguasa.”

Hal urgen ini tentu disadari umat Islam, terlebih masih banyak nash-nash serta pendapat ulama terkait hal ini. Hanya saja permasalahannya adalah bagaimana cara memilih pemimpin yang baik untuk memimpin umat ini, atau paling tidak untuk memimpin sebuah jama’ah.

Terkait metode untuk memilih pemimpin, maka kita harus paham terlebih dahulu pemimpin seperti apa yang akan kita pilih untuk memimpin suatu jama’ah. Maka Rasulullah SAW telah memberi acuan kepada kita terkait perihal ini, , yang diriwayatkan Imam Al-Hakim rahimahullah dengan sanad yang shahih, “Barang siapa yang mengangkat seseorang untuk mengurusi perkara kaum Muslimin, lalu mengangkat orang tersebut, sementara dia mendapatkan orang yang lebih layak dan sesuai (ashlah) daripada orang yang diangkatnya, maka dia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya.”[3]

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mengikuti seseorang dalam suatu amal untuk sekelompok manusia, sementara ia mendapatkan dalam kelompok tadi yang lebih baik dari orang yang diikuti itu, maka ia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kaum Muslimin.” Sementara, menurut Ibnu Taimiyyah rahimahullah, sebagian ulama meriwayatkan bahwa hadits di atas dikatakan Umar bin Khattab kepada putranya, Abdullah bin Umar, “Barangsiapa yang mengangkat seseorang untuk perkara kaum Muslimin, maka ia angkat orang tadi karena cinta dan unsur kekerabatan maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum Muslimin.”[4]

Nash-nash diatas menunjukkan bahwa pemimpin yang paling utama adalah pemimpin yang ashlah atau paling layak dan sesuai, metode ini pula yang dijelaskan Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitabnya As-Siyasah Asy-Syar’iyah. Dalam nash-nash di atas juga memberi peringatan kepada seluruh pihak yang memiliki kewenangan untuk menentukkan kepemimpinan ataupun menentukan suatu jabatan, agar memilih pemimpin ataupun memberi jabatan kepada yang paling layak untuk menjalankan tugas tersebut. Barangsiapa mengalihkan suatu jabatan dari seseorang yang sebenarnya lebih layak dan tepat untuk mendudukinya kepada orang lain karena faktor ikatan kekeluargaan, loyalitas, persahabatan, negara, madzhab, suku, bangsa, atau karena suap, atau kepentingan-kepentingan tertentu, atau sebab-sebab lain, merasa iri terhadap orang yang lebih berhak dan layak menduduki jabatan tersebut, sesungguhnya itu merupakan bentuk pengkhianatan kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum Muslimin.[5]

Dalam memilih pemimpin yang paling layak dan pantas atau ashlah, tentu bukan perkara yang mudah. Tentu saja dalam hal ini terkait dengan sulitnya menemukan seseorang yang sempurna sebagai kandidat seorang pemimpin.Mungkin memang sunatullah, bahwa tidak mungkin ada sosok yang tanpa celah. Untuk itu, menurut Ibnu Taimiyyah rahimahullah jika memang sulit atau bahkan tidak ada pemimpin yang paling layak dan pantas atau aslah, maka kita bisa memilih pemimpin yang kualitasnya dibawahnya.

Maka untuk menentukkan kualitas seorang pemimpin, kita harus memahami kriteria pemimpin, terutama menurut Islam. Sebagian ulama menguraikan beberapa kriteria kepemimpinan yang menurut mereka harus dimiliki seorang pemimpin, dalam skala seorang khalifah. Menurut Imam Al Mawardi rahimahullah dalam kitabnya al-Ahkam al-Sulthaniyyah wal-Wilayat al-Diniyya, terdapat tujuh karakter yang harus dimiliki seorang pemimpin, antara lain adil, berilmu sampai taraf mujtahid, sehat jasmani, cerdas, memiliki kemampuan untuk memimpin, berani berkorban untuk mempertahankan kehormatan dan berjihad melawan musuh, keturunan Quraisy.[6]

Sedangkan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah memaparkan 4 karakter pemimpin, antara lain berilmu sampai taraf mujtahid, adil, kifayah atau memiliki kesanggupan bersiasah (berpolitik), sehat jasmani dan rohani.[7] Dan kriteria tersebut pula yang Sulaiman Rasjid, dalam Fiqih Islamnya, paparkan terkait kriteria seorang pemimpin.[8]

Sementara itu, menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, seorang pemimpin yang sesuai Islam hendaknya  bersifat amanah, memperolehnya dengan benar,  menunaikan dengan baik, kuat, dapat dipercaya  (amin), pandai menjaga (hafiz) amanahnya dan berpengetahuan (alim) tentang tugas kepemimpinannya.[9]

Namun, bukan hal yang mudah pula menemukan karakter seperti demikian. Maka Ibnu Taimiyyah rahimahullah memaparkan bahwa paling tidak seorang pemimpin haruslah seorang yang kuat dan juga amanah. Hal ini sebagaimana yang Allah firmankan, “..sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya.” (Q.S. Al-Qashash : 26).[10]

Syaikh Yusuf Qardhawi hafidzahullah menjelaskan, dalam kitab Al-Siyayah al-Syar’iyyah Fi Dhaui Nushus al-Syari’ah wa Maqashiduha, bahwa kuat pada ayat diatas adalah kuat bekerja dalam memimpin. Sedang maksud amanah adalah tidak berkhianat dan tidak menyimpang, dengan motif karena takut kepada Allah. Maka sebagai pekerja untuk umat, sifat kuat bekerja adalah prasyarat penting pemimpin. Tapi yang lebih penting lagi adalah menjaga sifat amanah yang bisa hilang karena tuntutan pekerjaannya.[11]

Kuatnya seorang pemimpin ini juga dikuatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah ketika ditanya terkait kriteria pemimpin perang yang dipilih ketika ada dua kandidat dimana kandidat pertama merupakan orang yang kuat namun pendosa, sedangkan kandidat kedua merupakan orang yang shalih namun bukan orang yang kuat. Maka Imam Ahmad rahimahullah menjawab, “Perihal pemimpin perang yang kuat namun pendosa, maka kuatnya itu untuk (menguntungkan) kaum Muslimin, sedangkan kesukaannya untuk berbuat dosa hanyalah berdampak bagi dirinya sendiri. Sementara, pemimpin perang yang saleh namun lemah, maka keshalihannya itu berindikasi kepada dirinya sendiri, sedangkan kelemahannya akan berdampak luas bagi kaum Muslimin. Maka berperanglah bersama pemimpin yang kuat meski ia pendosa”[12] Akan tetapi, makna kuat disini bisa juga dikontekstualkan dengan kompetensi atau kecakapan seseorang yang dibutuhkan sebagai pemimpin berdasarkan medan yang akan ia hadapi. Sehingga Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengejawantahkan jawaban Imam Ahmad, dimana ketika dihadapkan sebuah kondisi buruk dimana harus memilih pemimpin diantara calon pemimpin yang cakap namun kurang shalih dan yang shalih namun kurang cakap, maka hendaknya didahulukan yang cakap namun kurang shalih.

Sedangkan amanah ini berkaitan dengan komitmen seseorang terkait jabatan yang harus ia laksanakan sesuai dengan misi yang diembannya. Hal ini diutarakan Rasulullah SAW kepada Abu Dzar Al-Ghifari radhiallah’anhu berkenaan perihal imarah atau kepemimpinan.

“Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)?” Lalu Rasulullah memukulkan tangannya di bahuku, dan bersabda,”Wahai, Abu Dzar. Sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, dan ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan benar, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya)”[13]

Dari hadits diatas, maka seorang pemimpin harus menunaikan amanahnya dengan sebaik-baiknya, dan mempertanggungjawabkan setiap tindakan yang ia ambil. Hal ini ditegaskan dengan hadits lain yang diriwayatkan Imam Muslim rahimahullah dan Imam Bukhari rahimahullah.

“Setiap orang daripada kamu adalah penggembala dan setiap seorang dari kamu akan ditanya perihal penggembalaannya. Pemimpin adalah penggembala bagi rakyatnya, maka ia akan ditanya tentang apa yang digembalakannya. Seorang istri adalah penggembala di rumah suaminya, dan ia akan ditanya tentang apa yang digembalakannya. Seorang anak adalah penggembala harta ayahnya, maka ia akan ditanya tentang apa yang digembalakannya. Seorang budak adalah penggembala dari harta majikannya dan ia akan ditanya tentang apa yang digembalakannya. Ingatlah bahwa kamu semuanya adalah penggembala dan kamu semua akan dimintaipertanggungjawaban tentang apa yang kamu gembalakan”[14]

Maka, memilih pemimpin yang amanah atau berkomitmen kuat menjadi kewajiban, karena rusaknya pemimpin akan turut membawa kerusakan kepada yang ia pimpin. Dan hal ini telah Rasulullah SAW peringatkan kepada kita.

“Apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat!” Orang itu kembali bertanya,”Bagaimanakah menyia-nyiakan amanah itu?” Rasulullah bersabda, “Apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat!”[15]

Maka, titik inti dalam memilih pemimpin adalah memilih yang terbaik atau aslah, yaitu yang paling layak dan pantas. Terkait kriteria pemimpin yang terbaik ini, dapat saja merujuk pada apa yang dituturkan oleh beberapa ulama di atas. Akan tetapi, jika memang tidak ada yang sampai pada kriteria tersebut, paling tidak dalam memilih pemimpin dapat dilihat pada aspek kuat dan amanahnya sang calon pemimpin tersebut. (Agung Nugraha S.)

Wallahu a’lam bishowab. 


[1] Riwayat dari Abu Sa’di radhiyallahu’anhu dalam Sunan Abu Dawud no 2608

[2] Majmu’ Fatawa 28:65

[3] Ibnu Taimiyyah, As-Siyasah Asy-Syar’iyah (Surabaya : Risalah Gusti, 1995) h. 3.

[4] Ibid, h. 4.

[5] Ibid., h. 5.

[6]  Abi Wahidatun Muharramah, “Kepemimpinan Dalam Islam”, 20 Juni 2008, h.2

[7]  Ibid, h. 2.

[8]  Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Jakarta: Penerbit Attahiriyah, 1976) h. 470.

[9]  Hamid Fahmy Zarkasyi, “Kriteria Pemimpin”, http://hamidfahmy.com/kriteria-pemimpin-2, diakses 3 Januari 2013.

[10]  Ibnu Taimiyyah, Op. cit., h. 11.

[11] Hamid Fahmy Zarkasyi, Loc. cit., diakses pada 3 Januari 2014.

[12]  Ibnu Taimiyyah, Op. cit., h. 14.

[13] H.R Imam Muslim no. 1825.

[14] Ibnu Taimiyyah, Op. cit., h. 9.

[15] H.R. Bukhari no 6015.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.