Surat Al-Ma’arij termasuk surat ke 70 dalam Al-Quran dan berada pada juz ke 29 serta terdiri dari 44 ayat. Surat Al-Ma’arij dalam tafsir Dzadul Masir karya Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauzi dinamakan juga dengan nama Sa’ala saailun yang berarti “Seseorang yang bertanya”. Nama tersebut diambil dari kata pertama dari ayat pertama pada Surat Al-Ma’arij. Akan tetapi, nama yang lebih populer adalah Al-Ma’arij yang merupakan bentuk jamak dari kata Ma’raj dan juga bisa diartikan sebagai tangga atau tempat naik.
Surat Al-Ma’arij termasuk dalam surat Makkiyyah. Maksudnya surat ini turun pada saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam masih berada di Kota Mekkah dan belum hijrah ke Kota Madinah, atau pada periode mekah. Beberapa penulis tafsir berpendapat bahwa surat ini turun setelah Surat Al-Haaqqah. Surat Makkiyyah memiliki ciri khas. Ciri khas itu adalah biasanya pokok-pokok akidah merupakan aspek yang sangat ditekankan serta mendapat perhatian yang lebih, seperti pembahasan tentang iman kepada Allah, malaikat, hari akhir, dan lainnya. Ciri umum lain dari surat Makkiyyah biasanya adalah banyak ayat yang diawali dengan “hai manusia” bukan “hai orang-orang yang beriman”, karena pada periode mekah, masih sangat sedikit orang yang beriman, berbeda dengan periode madinah, dimana kuantitas orang yang beriman sudah semakin banyak.
Istilah Makkiyyah dan Madaniyyah bukan diukur berdasarkan tempat turunnya wahyu, tetapi berdasarkan waktu atau massa atau periode turunnya wahyu. Sebab, dalam Surat Al-Maidah ayat ke 3 Allah berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” Meski diturunkan di Kota Mekah, tetapi tetap termasuk ayat Madaniyyah, karena diturunkan pada periode Madinah, yaitu periode setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah dari Kota Mekah ke Madinah.
Pada ayat pertama dalam Surat Al-Ma’arij, Allah Ta’ala berfirman, “Seseorang peminta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi.“ Pada ayat tersebut Allah ta’ala menceritakan kepada kita mengenai seseorang yang bertanya tentang adzab yang pasti terjadi. Maksudnya adalah ada seseorang dari kaum musyrikin yang bertanya dengan maksud meminta agar adzab yang pasti terjadi itu disegerakan. Dari Abi Hatim dari Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i berkata bahwa Annadlor Ibnu Harits meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam agar Allah Ta’ala segera menurunkan adzab jika Allah benar-benar menurunkan wahyu. Dalam Surat Al-Anfal ayat 32, “Jika Al-Quran ini adalah wahyu yang benar, dari Engkau (Allah), maka hujanilah kami dengan batu yang berasal dari langit, atau adzab yang pedih.” Itu lah yang disampaikan kaum musyrikin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka yang dimaksud dengan “seseorang” dalam ayat pertama dalam Surat Al-Ma’arij adalah Annadlor Ibnu Harits.
Penjelasan yang serupa juga termaktub dalam Surat Asy-Syu’ara ayat ke 187, bahwa Allah menceritakan perkataan kaum musyrikin, “Maka jatuhkanlah ke atas kami gumpalan-gumpalan dari langit.” Permintaan tersebut berasal dari kaum musyrikin yang menentang Allah, Rasul, dan Al-Quran. Selanjutnya dalam kisah yang lain, permintaan kaum musyrikin agar adzab segera diturunkan juga diabadikan dalam Surat Al-Hajj ayat ke 47, “Mereka meminta disegerakan kepadamu agar adzab itu disegerakan. Dan Allah tidak akan mengingkari janji-Nya.” Maka Allah pasti akan mengadzab mereka baik adzab itu bersifat segera ataupun nanti. Yang terpenting adalah bahwa Allah Ta’ala tidak akan mengingkari janji-Nya. Lagi pula, permintaan mereka agar adzab itu disegerakan adalah sebuah ejekan atau penghinaan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mereka anggap bahwa hal itu (adzab yang datang Allah ta’ala) termasuk sesuatu yang mustahil.
Pada ayat kedua dalam Surat Al-Maarij Allah berfirman, “Bagi orang-orang kafir, tidak ada seorang pun yang dapat menolaknya.” Ayat kedua ini merupakan kelanjutan ayat yang pertama. Jadi, adzab yang datangnya dari Allah Ta’ala itu ditunjukan untuk orang-orang kafir dan tidak ada seorang pun yang dapat menolak dan menghalanginya. Adzab ini pula yang diminta untuk disegerakan oleh orang-orang kafir untuk menantang Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa apa yang dibawa dan disampaikannya adalah benar.
Kemudian pada ayat ketiga Allah ta’ala berfirman, “(adzab) dari Allah, yang memiliki tempat-tempat naik.” Dalam ayat tersebut Al-Ma’arij berarti tempat-tempat naik. Sama halnya pada peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dimana beliau melakukan Isra’ atau perjalanan malam lalu melakukan Mi’raj yaitu naik ke atas langit, dan mendapatkan perintah sholat, dimana perintah tersebut merupakan perintah yang sangat mulia. Perintah tersebut merupakan perintah yang sangat mulia karena diterima Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bukan di bumi, melainkan di langit. Yang awalnya berjumlah lima puluh waktu yang lalu mendapat keringanan menjadi lima waktu, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam turun dan sampai ke tempat semula hanya dalm waktu satu malam, yang tidak akan masuk akal jika peristiwa tersebut dibandingkan dengan ukuran manusia. Maka kata Mi’raj tersebut berarti tempat naik.
Seperti yang telah diketahui, peristiwa isra’ mi’raj ini terjadi ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kehilangan dua orang yang sangat disayanginya, yakni istri beliau Khadijah serta paman beliau Abu Thalib. Perlu diketahui, dalam berbagai shirah nabawiyah disebutkan bahwa tahun dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kehilangan orang yang disayanginya itu disebut sebagai tahun duka cinta. Penamaan istilah tahun duka cita tersebut tidak dikenal di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Penamaan tersebut murni berasal dari penulis shiroh yang itu merupakan hasil ijtihadnya.
Lalu pada ayat keempat, Allah berfirman, “Para malaikat dan Ar-Ruuh naik menghadap Allah, dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” Pendapat pertama berpendapat, bahwa yang dimaksud Ar-Ruuh adalah Jibril. Hal tersebut menunjukan adanya pengkhususan kepada Jibril pada ayat tersebut, karena Jibril sudah termasuk malaikat (bersifat umum), namun diucapkan dua kali, dimana ucapan yang kedua bersifat khusus. Ketika dijumpai penyebutan secara khusus, setelah penyebutan yang sifatnya umum, maka hal ini memperlihatkan ada sesuatu yang istimewa.
Sedangkan pendapat kedua berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Ar-Ruuh adalah arwah bani adam yang dicabut oleh malaikat pencabut nyawa lalu naik menuju Allah dalam waktu satu hari yang setara dengan lima puluh ribu tahun perjalanan manusia.
Terkait masalah waktu, dalam tafsir Ibnu Katsir dari Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa sehari pada waktu di akhirat sama dengan waktu lima puluh ribu tahun di dunia. Bilangan lima puluh ribu tahun bukan berarti tepat lima puluh ribu tahun, mungkin kurang dan mungkin lebih. Namun, yang jelas bilangan lima puluh ribu tahun tersebut menjelaskan bahwa itu merupakan bilangan yang sulit untuk dihitung dan mungkin tidak terbatas. Mengenai masalah waktu ini, Ibnu ‘Abbas menyebutkan pula bahwa pada hari kiamat, waktu yang dibutuhkan oleh manusia di padang mahsyar hingga datangnya putusan Allah ta’ala, apakah dia (manusia) dimasukkan ke dalam surga atau neraka membutuhkan waktu lima puluh ribu tahun. Artinya ini merupakan waktu yang sangat lama.
Walaupun demikian, bukan berarti malaikat memerlukan waktu lima puluh ribu tahun untuk naik menuju Allah Subhanahu wa ta’ala. Tetapi mereka hanya memerlukan waktu yang singkat untuk menempuhnya. Hal tersebut menunjukan adanya perbedaan antara waktu di dunia dan di akhirat. Juga menunjukan pula adanya perbedaan manusia dengan malaikat dalam waktu menempuh perjalanan lima puluh ribu tahu perjalanan manusia yang menurut ukuran manusia itu adalah perjalanan yang sangat mustahil sedangkan menurut ukuran malaikat merupakan sesuatu/perjalanan yang sangat singkat. Allahu ‘alam.
Pertanyaan kajian ahad pagi, masjid kampus UGM
Jika Jibril memiliki tugas untuk menyampaikan wahyu kepada para nabi dan rasul, sedangkan pada saat ini sudah tidak ada lagi nabi dan rasul, karena Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pentup para nabi dan rasul, maka saat ini Jibril sudah memiliki tugas menyampaikan wahyu, lalu apa yang dilakukan oleh Jibril?
Jawaban
Pertanyaan tersebut seharusnya bukan hanya ditunjukan untuk Jibril, tetapi juga kepada seluruh malaikat. Contohnya Malaikat peniup sangkakala. Sampai saat ini, malaikat tersebut belum diperintahkan untuk meniup sangkakala, lalu apa yang dilakukan oleh malaikat tersebtu saat ini. Maka perlu diketahui, bahwa malaikat adalah makhluk Allah Subhanahu wa ta’ala yang paling taat dan tidak pernah futur dalam beribadah dan menyucikan asma Allah. Mereka diciptakan untuk terus beribadah kepada Allah tanpa ada ras jenuh dan bosan. Jadi, selain mereka mempunyai tugas khusus, mereka juga terus beribadah dan bertasabih kepada Allah. Allahu ‘alam
(sumber: kajian ahad pagi masjid kampus UGM Yogyakarta)