Ta’arudh

Sering kali ketika kita membaca atau menelaah suatu dalil berupa ayat-ayat dalam al qur’an maupun berkaitan dengan hadits-hadits shahih yang datang dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam terdapat hal-hal yang secara lahiriah terkesan memiliki makna yang bertentangan antara satu ayat dengan ayat lain dalam surat yang berbeda, antara satu ayat dengan dhahir hadits shahih yang datang dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam yang sebenarnya ketika kita mau memahami sedikit tentang ayat atau hadits tersebut sebenarnya tidaklah terdapat perbedaan seperti yang kita pahami. Insya Allah dalam kesempatan kali ini kita akan membahas sedikit tentang ta’arudh (pertentangan).

DefinisiTa’arudh secara bahasa yakni Saling berhadapan (لتقابل ) dan saling menghalangi (التمانع). Sedangkan secara istilah makna ta’arud adalah “Saling berhadapannya dua dalil dari sisi salah satunya menyelisihi yang lain.”

Sedangkan menurut Istilah (Ushul Fiqh) adalah pertentangan antara dua dalil syar’I, dimana masing-masing dari kedua dalil dalam waktu yang bersamaan terhadap hukum suatu kasus yang bertentangan dengan sesuatu yang dituntut oleh dalil lainnya.

Pembagian ta’arudh ada empat

Yang pertama : terjadi pada dua dalil yang umum, padanya ada empat kondisi :

1. Mungkin umtuk dijama’ antara keduanya, dari sisi masing-masing dalil tersebut bisa dibawa pada kondisi yang tidak bertentangan dengan yang lain, maka harus dijama’.

Misalnya firman Allah ta’ala kepada Nabi-Nya shallallohualaihi wasallam: “Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalanyang lurus.” [QS. Asy-Syuuro’ : 52]

Dan firman Allah ta’ala: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi.” [QS. Al-Qoshosh : 56]

Secara dhahir seolah-olah kedua ayat tersebut bertentangan, akan tetapi berdasar kaidah pertama memungkinkan kita untuk menjama’. Dan jama’ antara keduanya adalah bahwa ayat yang pertama maksudnya adalah hidayatud dalalah (atau yang disebut hidayatul irsyad atau hidayatul bayan, pent) kepada al-haq, dan sifat ini tetap bagi Rosul shollallohu alaihi wa sallam. Dan ayat yang kedua maksudnya adalah hidayatut taufiq untuk beramal, hidayatut taufiq ini di tangan Alloh ta’ala sedangkan Rosululloh shollallohualaihi wa sallam dan yang selainnya tidak memilikinya.

2. Jika tidak mungkin untuk dijama’, maka dalil yang datang belakangan menjadi nasikh (yang menghapus hukum sebelumnya, pent) jika tarikhnya diketahui, sehingga dalil nasikh tersebut diamalkan sedangkan dalil yang datang lebih dulu (mansukh) tidak diamalkan.

Misalnya: Firman Alloh ta’ala tentang puasa: “Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [QS. Al-Baqoroh : 184]

Ayat ini memberi faidah bolehnya memilih antara makan dan puasa dengan tarjih agar berpuasa.

Dan firman Alloh ta’ala di ayat yang lain: “Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”[QS. Al-Baqoroh : 185]

Menunjukkan bahwa puasa harus dilakukan bagi orang yang tidak sakit dan musafir dan mengqodho’ (mengganti) sebagai kewajiban bagi keduanya (orang sakit dan musafir), akan tetapi ayat ini datang belakangan setelah ayat yang pertama tadi, sehingga ayat yang kedua adalah sebagai nasikh (penghapus) bagi ayat yang pertama sebagaimana yang demikian ditunjukkan oleh hadits Salamah bin al-Akwa’ yang tetap dalam ash-Shohihain (shohih al-Bukhori dan Muslim) dan yang selain keduanya.

3. Jika tidak diketahui tarikh-nya, maka diamalkan dengan yang rojih, jika ada dalil yang merojihkan.

Misalnya : Sabda beliau shollallohu alaihi wa sallam: “Barang siapa yang menyentuh kemaluannya, maka hendaklah ia berwudhu.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Dan beliau shollallohu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang yang menyentuh kemaluannya, apakah ia harus berwudhu? Beliau menjawab: “Tidak, sesungguhnya (kemaluannya) itu adalah bagian dari tubuhmu”. (HR. Ibnu Hibban)

Maka dirojihkan dalil yang pertama karena pendapat ini lebih hati-hati dan juga karena hadits yang pertama tadi jalannya lebih banyak dan yang menshohihkannya juga lebih banyak, dan juga karena hadits pertama tadi memindahkan dari hukum asal, padanya terdapat tambahan ilmu.

4. Jika tidak ada dalil yang merojihkan, maka wajib untuk tawaqquf (didiamkan), tetapi tidak didapatkan padanya contoh yang shohih.

Yang kedua : Ta’arudh terjadi antara dua dalil yang khusus, dalam keadaan ini juga ada empat kondisi.

1. Mungkin untuk dijama’ antara keduanya, maka wajib dijama’.

Misalnya : hadits Jabir rodhiyallohu anhu tentang sifat haji Nabi shollallohu alaihi wa sallam, bahwa Nabi shollallohu alaihi wa sallam sholat dhuhur pada hari an-Nahr (idul adha) di Mekkah (HR. Muslim) dan hadits Ibnu Umar rodhiyallohu anhuma bahwa Nabi shollallohu alaihi wa sallam sholat dhuhur di Mina (Muttafaqun ‘alaihi), maka dijama’ antara keduanya bahwa beliau sholat dhuhur di Mekkah dan ketika keluar ke Mina beliau mengulangnya (sebagai tathowwu’) dengan para sahabat yang ada di sana.

2. Jika tidak memungkinkan untuk dijama’, maka dalil yang kedua (yang datangnya belakangan, pent) adalah sebagai nasikh jika diketahui tarikhnya.

Misalnya : firman Alloh ta’ala : “Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara lakilaki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu.” [QS Al-Ahzab : 50]

Dan firman Alloh ta’ala : “Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu” [QS Al-Ahzab : 52]

Maka ayat yang kedua adalah sebagai nasikh (penghapus)bagi ayat yang pertama menurut salah satu pendapat.

3. Jika tidak memungkinkan untuk di-naskh, maka diamalkan dengan yang rojih jika ada dalil yang merojihkan.

Misalnya : Hadits Maimunah, bahwa Nabi shollallohu alaihi wa sallam menikahinya ketika ia dalam keadaan halal (HR. Muslim) (setelah selesai ihrom). Dan hadits Ibnu Abbas bahwa Nabi shollallohu alaihi wa sallam menikahi Maimunah dalam keadaan ia sedang ihrom. (HR. Jama’ah) Maka yang rojih adalah hadits yang pertama, karena Maimunah adalah pelaku kisah tersebut dan ia lebih mengetahui tentang kisahnya, dan juga karena hadits Maimunah tersebut dikuatkan dengan hadits Abu Rofi’ rodhiyallohu anhu : bahwa Nabi shollallohu alaihi wa sallam menikahinya (Maimunah) ketika dalam keadaan halal, ia (Abu Rofi’) berkata : “Ketika itu aku adalah perantara antara keduanya.” (HR. Ahmad)

4. Jika tidak ada dalil yang merojihkan, maka wajib ditawaqqufkan (didiamkan) dan tidak ada pada keadaan ini contoh yang shohih.

Yang ketiga : ta’arudh terjadi antara dalil yang umum dan dalil yang khusus, maka dalil yang umum dikhususkan dengan dalil yang khusus.

Misalnya : sabda beliau shollallohu alaihi wa sallam : “(Pertanian) yang diairi dengan hujan (zakatnya adalah) sepersepuluh.”

Dan sabda beliau : “Tidak ada zakat pada (hasil pertanian) yang di bawah lima wisq“.

Maka hadits yang pertama dikhususkan dengan hadits yang kedua dan tidak diwajibkan zakat kecuali pada apa-apa yang sampai lima wisq.

Yang keempat : ta’arudh terjadi antara 2 nash, yang salah satunya lebih umum daripada yang lain dari satu sisi, dan lebih khusus dari sisi lain.

1. Salah satu dalil bertindak sebagai pengkhusus dari keumuman salah satu dari kedua dalil tersebut, maka dikhususkan dengannya.

Contohnya: firman Alloh ta’ala : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.” [QS. al-Baqoroh : 234]

Dan Firman-Nya: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” [QS. ath-Tholaq : 4]

Ayat yang pertama bersifat khusus pada wanita yang ditinggal mati suaminya, dan bersifat umum pada wanita hamil dan yang selainnya. Ayat yang kedua bersifat khusus pada wanita hamil dan bersifat umum pada wanita yang ditinggal mati suaminya dan yang selainnya. Akan tetapi dalil menunjukkan pengkhususan keumuman ayat pertama dengan ayat kedua, yang demikian karena Subai’ah al-Aslamiyyah melahirkan semalam setelah kematian suaminya, maka Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam mengizinkannya untuk menikah lagi (muttafaqun ‘alaihi). Dengan ini, maka masa ‘iddah wanita hamil adalah sampai ia melahirkan, baik ia adalah wanita yang ditinggal mati suaminya atau yang selainnya.

2. Jika tidak ada dalil yang bertindak sebagai pengkhusus dari keumuman salah satu dari kedua dalil tersebut, maka diamalkan dalil yang rojih.

Contohnya : sabda beliau sholallohu alaihi wa sallam : “Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, janganlah ia duduk sebelum ia sholat 2 roka’at.” (muttafaqun ‘alaihi)

Dan sabda beliau : “Tidak ada sholat setelah sholat shubuh sampai terbitnya matahari, dan tidak ada sholat setelah sholat ashar sampai terbenamnya matahari.” (muttafaqun ‘alaihi)

Hadits yang pertama bersifat khusus pada tahiyyatul masjid dan bersifat umum dari sisi waktunya. Dan dalil yang kedua bersifat khusus pada waktu dan bersifat umum dari sisi jenis sholatnya, mencakup tahiyyatul masjid dan yang selainnya. Akan tetapi yang rojih adalah mengkhususkan keumumam hadits kedua dengan hadits pertama, maka boleh sholat tahiyyatul masjid pada waktu-waktu yang dilarang padanya untuk sholat secara umum, dan hanya saja kami merojihkan yang demikian karena pengkhususan keumuman hadits kedua telah tetap pada selain tahiyyatul masjid, seperti meng-qodho’ sholat fardhu dan mengulang seholat jama’ah, sehingga menjadi lemahlah keumumannya.

3. Dan jika tidak ada dalil dan tidak pula murojjih (dalil yang merojihkan) untuk mengkhususkan keumuman salah satu dari keduanya, maka wajib untuk mengamalkan kedua dalil tersebut pada apa-apa yang tidak terjadi pertentangan di dalamnya, dan tawaqquf (diam) pada bentuk yang kedua dalil tersebut saling bertentangan padanya.

Akan tetapi tidak mungkin terjadi pertentangan antara nash-nash pada satu masalah dari sisi yang tidak mungkin untuk di-jama’, atau di-naskh, atau ditarjih; karena nash-nash tidaklah saling membatalkan, dan Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam telah menjelaskan dan menyampaikan, akan tetapi terkadang yang demikian terjadi pada pendapat seorang mujtahid yang disebabkan keterbatasannya. Wallohu A’lam.

Maraji’:

Kitab Ushulul Fiqh karya Syaikh Muhammad ibn Sholih ‘Utsaimin rahimahulloh.

Ilmu Ushul Fiqh, Prof Abdul Wahhab Khallaf

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.