Proses dan Bentuk Kebudayaan Pluralitas di Jama’ah Shalahuddin Universitas Gadjah Mada
oleh: Wisnu Al Amin
( Mahasiswa PSDK FISIPOL UGM dan Aktivis Jama’ah Shalahuddin UGM 1436 H)
Islam merupakan agama yang pengikutnya sudah tersebar di seluruh negara-negara yang ada di dunia. Baik dalam jumlah mayoritas maupun minoritas di suatu negara. Pada masa awal, Islam lahir di Jazirah Arab. Yang berawal dari kelahiran Nabi Muhammad Saw, pada hari senin, tanggal 12 Rabiul Awwal, tahun Gajah (Bahri, Fadhli (eds.) 2013, Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam Jilid I, halaman 131). Pada masa itu memang belum ditetapkan tahun Islam, layaknya tahun Masehi. Kendati demikian, perhitungan tahun pada masa itu di Jazirah Arab adalah berdasarkan peristiwa besar yang sedang terjadi. Nabi Muhammad Saw yang dilahirkan sebagai manusia biasa sekaligus sebagai utusan Allah Subhanahuwata’ala (Tuhan Semesta Alam) untuk menyebarkan Islam. Tetapi, misi utamanya adalah untuk memperbaiki akhlaq manusia.
Hadirnya Islam pada masa itu tidak lepas dari keadaan budaya yang sedang berlangsung di Jazirah Arab. Salah satu budaya yang sedang terjadi adalah menyembah berhala (menyembah patung-patung). Di lain sisi, budaya yang hadir adalah budaya syi’ir (syair) yang menjadi ciri khas masyarakat Arab. Sebagai contohnya adalah ketika wafatnya Abdul Muthalib, kemudian anak-anaknya menyampaikan syair-syair. Salah satunya adalah syair duka cita Shafiyyah binti Abdul Mutholib kepada ayahnya:
“Shafiyyah binti Abdul Muthalib menangisi ayahnya sambil berkata, Aku kaget mendengar suara ratapan di malam hari
Suara ratapan terhadap seorang laki-laki di tengah jalan
Ketika itulah airmataku mengalir deras
Di pipiku seperti turunnya mutiara
Suara ratapan terhadap Syaibah
(nama asli Abdul Muthalib), orang dermawan dan orang besar
Ayahmu yang baik dan pewaris segala kedermawanan
Orang yang selalu jujur dalam semua peristiwa dan tidak lemah
Ia bukan orang rendah diri dan bukan orang lemah yang memerlukan bantuan
Depanya panjang dan raut mukanya amat indah
Ia ditaati di kaumnya, dan terpuji
Nasabnya mulia, cerah, dan mempunyai banyak sekali kelebihan
Ia menghujani manusia pada musim kering
Ia kakek yang mulia dan tidak mempunyai memiliki cela
Ia senang dengan makanan Al-Musawwad (jenis makanan Arab), dan Masud
Ia sangat lembut terhadap orang-orang mulia
Ia murah hati, pemimpin mulia, dan bak singa
Seandainya saja, seseorang bisa abadi dengan kejayaan masa silam
Namun sayangnya tidak jalan untuk bisa abadi
Pasti ia mengabadikan malam-malam yang lain
Untuk sebuah kebesaran dan keluhuran yang akan datang di kemudian hari.”
(Ibid. halaman 140-141)
Demikian, bahwa kehadiran Islam tidak serta merta menegasikan kebudayaan yang ada di dalam struktur masyarakat.
Secara lebih khusus lagi adalah bagaimana perkembangan Islam yang berlangsung di Indonesia. Yang notabene-nya Indonesia adalah negara yang memilki struktur masyarakat yang multikultural. Jika kita selidiki, bagaimana dahulu walisongo (wali sembilan) di tanah jawa yang mengenalkan Islam dengan tidak menegasikan budaya-budaya yang ada di tanah Jawa. Sebagai salah satu contohnya adalah melalui kesenian, wayang, dll. Hal ini berbeda dengan pengenalan Islam yang terjadi di tanah Sumatera. Pengenalan Islam di tanah Sumatera tidak dengan menggunakan wayang-wayang, karena perkembangan wayang berada di tanah Jawa. Walaupun demikian, Islam merupakan agama yang berkembang secara pesat di Indonesia, hal itu ditunjukkan dengan jumlah penduduk negara Indonesia yang berada di sekitar 80% dari total penduduk di Indonesia. Islam berkembang di Indonesia sesuai dengan keadaan budaya pada masing-masing daerah. Akutulrusi merupakan strategi yang telah berhasil dilakukan dalam menyebarkan Islam di Indoneisa, secara lebih khusus di tanah Jawa.
Seiring dengan berjalannya waktu, memasuki pada perkembangan Islam di era penjajahan. Pada masa itu, perkembangan yang terjadi hingga memunculkan pergerakan nasional. Tetapi, sebelum hadirnya pergerakan nasional, telah lebih dahulu bermunculan gerakan pemuda yang bersifat kedaerahan. Hal itu juga melahirkan pergerakan pemuda islam, yakni Jong Islamieten Bond (JIB). JIB ini tersebar di berbagai daerah pada masa itu. Hingga kemudian, memunculkan pergerakan nasional yang pada masa itu untuk melawan penjajah melalui strategi kooperatif. Pada momentum periode inilah semakin menjamurnya pergerakan-pergerakan di Indonesia. Terutama pergerakan Islam itu sendiri yang juga menjamur. Pada tahun 1912 lahir organisasi masyarakat, yaitu Muhammadiyah. Muhammadiyah sebagai organisasi berlandaskan Islam yang memiliki gerak fokus pada bidang pendidikan dan pengentasan kemiskinan. Kemudian disusul dengan lahirnya Nahdhatul Ulama (NU), yang memiliki gerak fokus pada perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Terdapat lagi, gerakan Persatuan Islam (Persis) di Bandung yang memiliki fokusan di bidang pemurnian Tauhid dan penguatan argumentasi dalam keislaman. Dan berbagai macam pergerakan Islam lainnya.
Pada fase-fase selanjutnya, hingga pergerekan Islam berkembang di dalam kampus. Pada masa ini terdapat banyak dinamika yang masih terekam. Salah satunya ialah Jama’ah Shalahuddin. Jama’ah Shalahuddin merupakan pergerakan Islam yang lahir di dalam kampus. Jama’ah Shalahuddin lahir di Kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada tahun 1976 (Jama’ah Shalahuddin UGM-red). Terdapat peran-peran yang sudah dilakukan oleh Jama’ah Shalahuddin pada masa itu. Salah satunya adalah upaya penolakan terhadap kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kampus (NKK-BKK) di era pemerintahan orde baru.
Seiring dengan perkembangan, Jama’ah Shalahuddin UGM menjadi komunitas yang menarik untuk dikaji. Walaupun Jama’ah Shalahuddin bergerak berdasarkan keislaman, tetapi yang menarik ialah kebudayaan yang berkembang didalamnya begitu dinamis. Tentunya ada faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah, pertama, anggota Jama’ah Shalahuddin terdiri dari berbagai macam bidang ilmu (lintas fakultas) yang saling bertemu. Kedua, anggota-anggota yang tergabung di dalam Jama’ah Shalahuddin memiliki latar belakang pergerakan mahasiswa yang berbeda. Ketiga, kejadian konflik yang berkembang di Jama’ah Shalahuddin. Konflik yang ada dapat berupa konflik antar anggota dan juga konflik lembaga Jama’ah Shalahuddin dengan lembaga lain. Baik konflik yang bersifat manifest maupun yang bersifat laten. kemudian sampailah pada perkembangan terakhir, bahwa Jama’ah Shalahuddin dalam satu sisi menjadi lembaga mahasiswa yang diteliti oleh salah satu komunitas yang ada di Yogyakarta. Mereka menganggap bahwa Jama’ah Shalahuddin dapat dijadikan sebagai representasi umat Islam, khususnya di Indonesia.
Oleh karena demikian, berdasarkan beberapa latar belakang kasus di atas maka penulis bermaksud untuk mengetahui lebih dalam terkait Jama’ah Shalahuddin UGM. Maksud tersebut secara spesifik adalah memahami bagaimana sesungguhnya persepsi yang terbangun oleh anggota Jama’ah Shalahuddin yang notabene-nya memiliki latar belakang yang berbeda dalam memahami proses dan bentuk kebudayaan yang berjalan di dalam Jama’ah Shalahuddin UGM. Terlebih juga, bahwa penulis sendiri merupakan aktor yang terlibat langsung di dalam Jama’ah Shalahuddin hingga saat ini. Dengan demikian, menjadi kemudahan bagi penulis untuk menginterpretasikan dinamika-dinamika kebudayaan yang terbentuk di dalam Jama’ah Shalahuddin UGM.
Sejarah Lahirnya Jama’ah Shalahuddin UGM
Akan ada beberapa versi mengenai fase-fase bagaimana sejarah lahirnya Jama’ah Shalahuddin UGM. Tetapi, adanya versi-versi mengenai fase-fase tersebut tidak sampai membuat perbedaan secara signifikan mengenai bagaimana cikal bakal lahirnya Jama’ah Shalahuddin UGM. Merujuk pada arsip risalah pedoman umum gerak Jama’ah Shalahuddin UGM tahun 1988. Lahirnya Jama’ah Shalahuddin berangkat dari keadaan serta iklim Kampus yang pada waktu itu sangat kental dengan pertentangan “politik kampus” yang tajam. Pertentangan tersebut terjadi pada kelompok ekstrem kanan (HMI) dan kelompok ekstrem kiri (GMNI). Keadaan tersebut terjadi pada era 1972 sampai dengan 1978.
Keadaan seperti itu telah membuat kondisi yang sangat tidak menguntungkan bagi mahasiswa. Khususnya adalah bagi kelangsungan hidup keagamaan di dalam kampus. Hal itu, karena setiap kegiatan-kegiatan yang ada selalu ditarik pada term politis. Termasuk kegiatan perkuliahan oleh dosen. Dengan begitu, memunculkan rasa ketidaknyamanan pada kelompok yang berada di luar dua kekuatan besar tersebut. Atau sebagai contohnya, kelompok GMNI tetapi satu sisi memiliki semangat keislaman yang tinggi. Keadaan yang demikian, ditambah kekhawatiran lagi dengan miskinnya kreativitas pada saat itu, baik dari segi jenis suatu kegiatan maupun kualitas kegiatan itu. Stigma yang hadir pada saat itu adalah, bahwa kegiatan keagamaan hanya terbatas pada peringatan hari-hari besar Islam saja. Dengan jenis penyelenggaraan yang itu dan itu saja, kemudian yang menyelenggarakan itu dan itu juga.
Keadaan demikian memberikan citra kepada kelompok Islam yang tidak mengenakkan. Kelompok Islam tidak memiliki kemampuan yang lebih dalam menyelenggarakan kegiatan, kreativiitas yang tumpul, berbicaranya banyak tetapi dalam kerja bernilai nol besar. Ditambah dengan sepak terjang personal di dalam kepanitiaan yang sangat minim pengalaman, sehingga menciptakan iklim yang “semrawut”, yang dapat memperkuat kesan buruk kepada pihak luar.
Usaha-usaha untuk memperbaiki keadaan, kebanyakan kandas ketika dihadapkan pada kekokohan “sistem politik kampus” pada masa itu. Sehingga ketika ada momentum demikian, melalui creative minority (JARI JEMARI ALLAH) pada saat itu mencoba untuk membongkar kebuntuan sistem sosial politik di dalam kampus. Momentum baru didapatkan pada tahun 1976, melalui pertemuan beberapa orang yang memendam ide, kerinduan dan dambaan yang sama agar tercapainya situasi keagamaan yang lebih baik dan lebih berkualitas di dalam Kampus UGM.
Kegiatan yang dilakukan awalnya adalah berlabel “MAULID POP 1976”, kemudian berlanjut menyelenggarakan Ramadhan in Campus I (RIC I). Dengan adanya dua kegiatan ini adalah sebagai pemecah kebekuan kampus dan berlanjut dengan mencairnya suasana kampus. Ketika keadaan mencair, pada tahun itu pula saat diselenggarakannya RIC I dicetuskan nama Jama’ah Shalahuddin (pada saat itu awalnya yang dilabelkan adalah “jema’at” bukan jama’ah).
Dengan hadirnya Jama’ah Shalahuddin pada waktu itu, kebudayaan “saling gosok” antar golongan menjadi tereduksi. Sehingga dasar gerak yang disepakati di Jama’ah Shalahuddin adalah menghapuskan kesan bahwa Islam adalah milik golongan, Islam tidak kreatif, jorok dan semrawut. Citra jelek tersebut mulai meluntur dan partisipasi orang Islam di Kampus mulai meningkat. Dan yang lebih besar adalah Jama’ah Shalahuddin ingin mempertemukan dua kekuatan politik kampus besar pada masa itu, ektrem kanan dan ekstrem kiri.
Dinamika Budaya di Jama’ah Shalahuddin
Saat ini usia Jama’ah Shalahuddin sekitar 39 tahun. Dari perkembangan awal hingga saat ini banyak bentuk-bentuk kebudayaan yang terbangun di Jama’ah Shalahuddin. Baik pada saat menyampaikan keislaman di dalam kampus ataupun pada saat menjalin hubungan internal aktivis Jama’ah Shalahuddin. Pada perkembangan awal, cara-cara yang dilakukan oleh Jama’ah Shalahuddin dalam menyentuh pihak eksternal adalah melalui seni dan budaya. Contohnya pada masa awal berdirinya, instrumen yang digunakan adalah dengan menyelenggarakan “MAULID POP”, acara ini adalah berupa pameran seni budaya karya budayawan-budayawan di Indonesia. Pada generasi selanjutnya yang tidak jauh dari generasi awal, instrumen yang digunakan masih melalui seni dan budaya. Bentuknya adalah dengan menyelenggarakan pentas teater. Pada waktu itu, memang terdapat misi besar yang akan dilakukan. Di era pemerintahan orde baru, ketika para perempuan muslim tidak diperkenankan menggunakan jilbab. Kemudian Jama’ah Shalahuddin hadir untuk memecah kebuntuan sistem melalui seni dan budaya, yaitu pentas teater. Pada waktu itu, awalnya bekerja bersama dengan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) untuk membacakan puisi “Lautan Jilbab”, momen yang digunakan adalah pada saat Ramadhan di Kampus (RDK) UGM. Pada saat RDK berikutnya, ditampilkannya teater “Lautan Jilbab” tersebut. Berangkat dari puisi yang dibuat oleh Cak Nun.
Gerakan yang dilakukan oleh Jama’ah Shalahuddin banyak menggunakan instrumen seni dan budaya. Hal ini dilakukan di Jama’ah Shalahuddin, karena Jama’ah Shalahuddin dihadirkan untuk membungkam kekuatan politik kampus. Ingin menghadirkan suasana yang cair. Ingin menghadirkan aktifitas keagamaan yang tidak diselubungi oleh kekuatan politik tertentu. Hal ini dibuktikan dengan adanya data di Arsip Jama’ah Shalahuddin mengenai pedoman umum gerak Jama’ah Shalahuddin UGM terdapat Pokok Kebijaksanaan dalam menentukan Pedoman Gerak Kegiatan Jama’ah Shalahuddin UGM, yang berisi Tiga Butir Kebijaksanaan dan Empat Butir Penjabaran Sikap.
“Tiga Butir Kebijaksanaan:
- Terjalinnya ukhuwah antara warga muslim di Kampus di UGM, tanpa memandang kotak-kotak kelompok ideologis.
- Terciptanya iklim yang kreatif—inovatif dalam menggarap dan menyelenggarakan kegiatan keagamaan, menjauhi konflik politis.
- Terwujudnya penghayatan penyelenggaraan kegiatan kerja yang:
Sungguh, ikhlas, dedikatif yang mengutamakan kerja nyata meskipun kecil dalam skala daripada omong besar namun tanpa realisasi.
Empat Butir Penjabaran Sikap:
- Kerja keras tanpa kenal batas status dan kelas-kelas.
- Kerapian kerja dan diarahkan sempurna, terencana dan nyata, berdisiplin.
- Ikhlas sepi publisitas, mengarah pada prestasi kerja, dedikatif terhadap kelompok, bukan diri pribadi.
- Mengenal batas gerak, menghayati ruang-ajang dan kiprah kegiatan, menjauhi “term politis” serta menyalurkan minat politik dalam kegiatan-kegiatan “di luar” lingkup jama’ah.” (Diambil dari Arsip Jama’ah Shalahuddin UGM tahun 1988)
Dengan melihat pada penjabaran di atas, bahwa kebudayaan yang dibangun di Jama’ah Shalahuddin adalah budaya kerja. Kemudian, budaya heteregon dalam bergerak. Sehingga sekat- sekat politis yang dapat memecah umat Islam, menjadi sesuatu hal yang sangat dihindari dalam gerak Jama’ah Shalahuddin.
Transformasi yang Terjadi di Jama’ah Shalahuddin
Terdapat pergeseran gerak di dalam Jama’ah Shalahuddin. Pada generasi awal berdirinya Jama’ah Shalahuddin pengelola-pengelola yang ada di Jama’ah Shalahuddin merupakan aktivis- aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Kemudian pada perkembangannya, aktivis-aktivis GMNI mulai angkat kaki dari Jama’ah Shalahuddin..
Pada era berikutnya, khususnya pada tahun 90-an Jama’ah Shalahuddin didominasi oleh kelompok Ikhwanul Muslimin (IM). Ada data yang menarik pada masa itu, seperti yang ditulis di dalam skripsi oleh seorang aktivis Jama’ah Shalahuddin,
“Semenjak tahun 1996 ketika Hasto Karyantoro, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan angkatan 1993 menjabat Ketua Umum periode 1996-1997 beberapa orang dari kelompok HMI-MPO menangis. Menurutnya, tangisan itu berasal dari keprihatinan kelompok HMI-MPO dimana semenjak IM mewarnai Jama’ah Shalahuddin, maka organisasi ini menjadi tampak eksklusif, yakni cenderung menutup diri dari kehidupan masyarakat dan lingkungan dan tidak mampu bersosialisasi dengan kehidupan mahasiswa pada umumnya, …”
(Nugroho A, Feriawan, 2002, Konflik Kepentingan Mahasiswa Islam Studi Tentang Pluralitas dan Konflik di Jama’ah Shalahuddin UGM, halaman 28)
Pada era ini mulai muncul benih-benih konflik di dalam Jama’ah Shalahuddin, khususnya yang terjadi antara kelompok HMI-MPO dengan IM. Konflik-konflik yang muncul berupa konflik kultural dan konflik politis di dalam kepengurusan Jama’ah Shalahuddin. Pada saat Jama’ah Shalahuddin diketuai oleh M. Arief Rahman pada tahun 1997-1998, maka disusunlah kepengurusan oleh Dewan Formatur. Tetapi, yang mencengangkan adalah ketika semua kepengurusan yang dipilih adalah berasal dari kelompok IM. Tidak satupun yang berasal dari kelompok HMI-MPO. Pada saat itu reaksi yang dimunculkan oleh kelompok HMI-MPO adalah melakukan penempelan pamflet dan walk-out pada saat pelantikan kepengurusan. Reaksi ini kemudian berlanjut dengan membentuk aliansi Jama’ah Shalahuddin Perjuangan (JSP) yang diketuai oleh M. An’am Thamrin. Peristiwa tersebut mengakibatkan pemanggilan Ketua Umum Jama’ah Shalahuddin M. Arief Rahman oleh Pembantu Rektor III (yang pada waktu itu adalah Ir. Bambang Kartika).
Bertolak dari sanalah, maka Jama’ah Shalahuddin di tahun 2000-an hingga ke sini mulai kehilangan identitas semangat awalnya, yaitu untuk meredam kekuatan politik tendensius di kalangan mahasiswa. Di samping hal itu, ciri khas gerak Jama’ah Shalahuddin yang melalui seni dan budaya mulai berubah. Dalam perubahannya aktivitas Jama’ah Shalahuddin cenderung menyentuh pihak internal Jama’ah Shalahuddin saja, kurang menyentuh pihak eksternal secara stretegis.
Proses Aktor Jama’ah Shalahuddin dalam Memahami Kebudayaan di dalamnya
Yang menjadi pemikat awal orang untuk berkeinginan bergabung di Jama’ah Shalahuddin adalah kegiatan-kegiatan yang diselenggarakannya. Salah satu andalan Jama’ah Shalahuddin untuk mengajak pihak eksternal berpartisipasi ialah melalui kegiatan rangkaian Ramadhan di Kampus. Di samping acaranya yang bervariasi, pembicara yang dihadirkan adalah pembicara strategis umat Islam di Indonesia. Di samping itu, terdapat anggapan bahwa mekanisme pembentukan interaksi di Jama’ah Shalahuddin cukup baik, yang menghadirkan bentuk interaksi kekeluargaan yang kuat. Walaupun demikian, terdapat pihak yang menganggap bahwa terkadang pengelola yang ada di dalam Jama’ah Shalahuddin tidak memiliki disiplin yang tinggi. Terkadang hal itu menjadi sesuatu hal yang berada di luar ekspektasi sebelumnya ketika awal bergabung.
Kendati demikian, perasaan yang terkadang dirasakan adalah konflik yang terjadi di Jama’ah Shalahuddin. Bahwa konflik yang terjadi di Jama’ah Shalahuddin merupakan konflik yang jarang ditemui di dalam kampus. Apakah itu konflik antara kelompok-kelompok pergerakan. Apakah itu konflik kultural yang ada di internal Jama’ah Shalahuddin. Pada penyelesaiannya ada mekanisme otomatis yang sudah menjadi mindset pengelola Jama’ah Shalahuddin, yaitu mengembalikan pada identitas Jama’ah Shalahuddin. Bahwa paradigma yang dibangun di Jama’ah Shalahuddin adalah, Jama’ah Shalahuddin merupakan rumahnya umat Islam, serta pergerakan apapun memiliki hak untuk bergabung dengan Jama’ah Shalahuddin.
Ada hal yang menyatukan mereka yang berbeda-beda di dalam Jama’ah Shalahuddin, yaitu budaya kerja. Budaya kerja yang tinggi inilah sesuatu yang menjadi modal di Jama’ah Shalahuddin. Dengan kata lain, budaya kerja ini yang menjadi instrumen penyatu aktivis-aktivis Jama’ah Shalahuddin yang berbeda kelompok, seperti kelompok-kelompok yang telah disinggung sebelumnya.
Jama’ah Shalahuddin diposisikan sebagai ummatan wasathan (kelompok tengah). Budaya yang dibangun di Jama’ah Shalahuddin tidak berat pada salah satu pemikiran, tidak berat pada salah satu budaya tertentu, tidak berat pada salah satu metode-metode tertentu, melainkan yang dibangun di Jama’ah Shalahuddin adalah menjembatani budaya-budaya, pemikiran-pemikiran, metode-metode yang berbeda tersebut. Dengan kata lain, di dalam Jama’ah Shalahuddin dibangun budaya toleransi yang tinggi, budaya saling memahami antara kelompok pergerakan dan non kelompok pergerakan yang menjadi bagian di dalam Jama’ah Shalahuddin.
Di samping itu, cara-cara yang ditekankan oleh setiap individu yang berada di dalam Jama’ah Shalahuddin adalah menjaga sikap terhadap perbedaan-perbedaan yang terjadi di dalam Jama’ah Shalahuddin. Berdasarkan salah satu tulisan yang dimuat di www.kajasha.ugm.ac.id mengenai (Mafahim Jama’ah Shalahuddin UGM yang ditulis oleh Megantara Vilanda, 2010),
“…Setiap anggotanya ketika berada di Jama’ah Shalahuddin, harus mau melepas jaket kelompok ekstra kampusnya. Example : dulu Pak Haryanto adalah aktivis HMI, namun ketika berada di JS, ia melupakan HMInya, nanti setelah berada di luar JS, maka ia HMI kembali. Sehingga, di JS ini akan bersih dari politik kekuasaan antar gerakan Islam” (Diambil dari www.kajasha.ugm.ac.id)
Proses dan pembentukan kebudayaan yang demikianlah yang selalu ditanamkan bagi setiap anggota atau pengelola baru di Jama’ah Shalahuddin. Kerena, Jama’ah Shalahuddin sebagai penguhubung kelompok-kelompok pergerakan, serta mengenyampingkan kepentingan politis di dalamnya.
Peran Kehadiran Jama’ah Shalahuddin
Kehadiran Jama’ah Shalahuddin sebagai antitesis atas kebuntuan kekuatan politik di dalam kampus. Kemudian menghadirkan sintesis berupa aktivitas yang cair. Hal demikian ternyata berdampak pada terbentuknya Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus. Yang dahulu juga diinisiasi oleh Jama’ah Shalahuddin di Yogyakarta dengan menyelenggarakan serasehan antar Unit Kerohanian Islam Kampus di Pulau Jawa. Berikut merupakan dokumentasi foto diinisiasinya Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus melalui sarasehan antar Unit
Kerohanian Islam Kampus di Pulau Jawa.
Gambar 1: Foto Peserta Sarasehan LDK Pertama di Yogyakarta
Disamping itu, kehadiran Jama’ah Shalahuddin melalui karakteristik geraknya. Merambah kepada pencarian konseptualisasi ekonomi Islam. Jama’ah Shalahuddin UGM bersama dengan, Fakultas Ekonomi UII dan Fakultas Ekonomi UMY di Yogyakarta, serta Jama’ah Salman ITB dan kaum Muslimin/Muslimat pada Universitas Trisakti di Jakarta, yang pada waktu itu terus-menerus menggali upaya penerapan berbagai unsur tertentu dari sistem ekonomi yang Islami. (Diambil dari Asy’arie, M, Nasution, H, Daya, B, & Muhaimin, Y, (eds. et al.) 1993, Al Quran & Pembinaan Budaya Dialog dan Transformasi, halaman 62.)
Kesimpulan
Islam merupakan agama yang tidak menegasikan kebudayaan bagi pemeluknya. Asalkan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Kemudian secara lebih mikro, terdapat kelompok penggerak Islam. Salah satunya adalah berbasis kampus. Jama’ah Shalahuddin merupakan lembaga yang berada di dalam dunia akademik/pendidikan, tetapi juga mengemban tanggung jawab sebagai penyeru agama Islam. Terdapat keunikan tersendiri yang dibangun di dalam Jama’ah Shalahuddin. Khususnya budaya yang terbentuk didalamnya.Budaya yang dikedepankan di dalam Jama’ah Shalahuddin adalah dengan menggunakan prinsip toleransi atas perbedaan. Kemudian pluralitas dalam kelompok harus dijaga dalam bergerak. Budaya kerja serta inovatif—kreatif menjadi instrumen dalam menyatukan perbedaan kelompok-kelompok yang tergabung di dalam Jama’ah Shalahuddin. Dengan membentuk kebudayaan tersebut, hasil capaian diarahkan kepada inisiator serta prestatif. Pola-pola demikianlah yang dijaga di dalam aktivitas Jama’ah Shalahuddin. Apabila di tengah aktivitas terdapat konflik, maka hal itu akan diarahkan kepada identitas Jama’ah Shalahuddin.
Referensi
Arsip Jama’ah Shalahuddin UGM, 1988
Asy’arie, M, Nasution, H, Daya, B, & Muhaimin, Y, (eds. et al.) 1993, Al Quran & Pembinaan
Budaya Dialog dan Transformasi, 2nd edn, Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI), Yogyakarta
Bahri, Fadhli (eds.) 2013, Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam Jilid I, PT Darul Falah, Bekasi
Nugroho A, Feriawan, 2002, Konflik Kepentingan Mahasiswa Islam Studi Tentang Pluralitas dan Konflik di Jama’ah Shalahuddin UGM, Skripsi S.Sos, Universitas Gadjah Mada
Vilanda, Megantara 2010, Mafahim Jama’ah Shalahuddin UGM, dilihat 13 Januari 2015, <http://kajasha.ugm.ac.id/>.
Turtle Seashore Ear Drive PX5 Programmable Wi-fi Headset Dolby 7.1 me a spot to put my headset other than on the desk/computer chair.
Terimakasih informasi bermanfaat di atas. Jadi tahu soal proses dan bentuk kebudayaan pluralitas di UGM. salam kenal tuk temen2 di JS UGM.