Oleh: Rifda Hanin Vidyadhara H (Departemen Pelayanan dan Syiar JS 1439 H)
“Dan hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS 3: 104)
Terjemahan dari kutipan ayat Al-Quran di atas, kiranya sudah dapat menjelaskan dengan baik, betapa perlunya bagi kita untuk mengambil peran dalam kegiatan dakwah sekecil apapun itu. Karena menurut pepatah, bagaimanapun juga, tiap-tiap kita hakikatnya adalah da’i sebelum menjadi apapun di dunia ini. Bentuk dakwah yang paling sederhana –misalnya bagi mereka yang pandai berbicara, menguasai public speaking, dan memahami tentang isu-isu keagamaan adalah dengan berceramah dalam suatu kajian atau berorasi dihadapan publik. Namun, bagaimana halnya jika dakwah tidak disederhanakan ke dalam makna sesempit itu saja? Bagaimana jika dakwah tidak hanya identik dengan ceramah dan berbicara saja? Bagaimana jika ada alternatif lain selain berbicara yang sama-sama mampu menghujamkan makna kepada siapa saja yang mau memahaminya? Karena sekali lagi, bagaimanapun juga, dakwah adalah seni tentang mengajak sebanyak-banyaknya orang agar berbuat dan menebar kebaikan di muka bumi –tentu dengan apapun cara-cara yang Ia ridhoi.
Ya betul sekali, jawabannya adalah menulis. Saya yakin, menulis adalah cara terbaik untuk menorehkan kenangan kebaikan yang tak pernah lekang oleh zaman bahkan ketika si penulis dimakan rayap sekalipun (baca: meninggal). Memulai membiasakan menulis tidak perlu berorientasi agar mampu menerbitkan buku-buku islami atau segala macamnya. Menulis adalah tentang kemauan untuk berbagi kisah dan ia memiliki makna yang luas. Memulai menulis dengan membuat caption sederhana untuk postingan instagram atau dengan membuat status dakwah di laman media sosial kamu adalah cara sederhana untuk bisa menebar kebaikan kepada siapa saja tanpa terkecuali. Rutinitas inilah, jika terus kita ‘amalkan’ akan memberikan manfaat baik seperti efek domino yang ketika satu runtuh yang lain ikut mengikutinya.
Tahun 2012, hasil penelitian dari Programme for International Student Assesment (PISA) menunjukkan, bahwa budaya literasi masyarakat Indonesia terperosok jatuh berada pada peringkat terburuk kedua dari total 65 negara, Indonesia berada di ranking ke-64. Sedangkan hasil yang tidak jauh berbeda ditunjukkan dalam hal tingkat literasi Indonesia. Lembaga UNESCO pada tahun 2017 mengeluarkan hasil penelitian tingkat literasi Indonesia yang berada di urutan ke-60 dari total 61 negara, berada tepat di atas Botswana dan di bawah Thailand. Penulis menyadari bahwa sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, sudah seharusnya kita prihatin dengan kondisi saat ini. Bahkan, ketika kita berbangga diri dan mengatakan “hobi saya adalah membaca”, tidak sedikit dari kita akan ‘ditertawakan’ oleh masyarakat Eropa –mengapa tidak, di negara-negara maju seperti Eropa, membaca sudah menjadi rutinitas dan melekat dengan kehidupan masing-masing mereka, bukan lagi suatu hal yang bisa disebut sebagai kegemaran atau hobi.
Tingginya tingkat literasi di suatu negara adalah tanda majunya negara tersebut. Karena dengan membaca, pikiran masyarakat akan terbuka dan menjadi paham dengan perbedaan sudut pandang yang biasa terjadi di masyarakat. Pun dengan menulis, yang salah satu tujuannya adalah ‘mengikat’ ilmu dan menjadikannya abadi, menulis adalah cara yang paling mudah untuk meningkatkan minat baca warga Indonesia. Bahkan dengan menulis dan proses reproduksi ilmu pengetahuan inilah, Islam dulu telah sampai pada puncak keemasannya. Di Kota Baghdad yang saat itu jadi pusat ‘cahaya’ kejayaan Islam di dunia terdapat suatu perpustakaan raksasa bernama Baitul Hikmah. Akan tetapi, bangsa Mongol menyerang Dinasti tersebut dan membakar sebagian besar buku-buku disana. Akibatnya, cahaya Islam mulai redup karena pemeluknya mulai kehilangan ghiroh menggali ilmu pengetahuan kembali. Umat Islam dijauhkan dengan buku-buku yang dulunya lekat dengan kehidupan mereka.
Jika kita kontekstualisasikan dengan Indonesia, mungkin itulah yang terjadi dengan bangsa ini sekarang. Masyarakat dihadapkan dengan fitur media sosial yang lebih menarik, dan berdampak pada budaya instan dan menurunnya minat baca dan menulis masyarakat di dalamnya. Melihat kejadian ini, apa yang dikatakan Ray Bradbury tentang bagaimana cara meruntuhkan suatu bangsa menjadi sangat relevan, bahwa untuk menghancurkannya, ‘anda’ tidak perlu membakar buku-buku hasil karya mereka, cukup dengan membuat mereka berhenti membaca ‘kalian’ akan melihat keruntuhan bangsa tersebut. Oleh karena itu, melihat apa yang terjadi hari ini dengan Negara Indonesia, mengambil jalan dakwah dengan memperbanyak literasi dan diskusi adalah cara terbaik untuk memperbaiki moral bangsa ini, karena bagaimanapun, ayat pertama yang turun ke muka bumi adalah ayat tentang ‘ayo membaca’ –tentang ayat-ayat ilmu pengetahuan.