Oleh: Setia Budi Sumandra (FMIPA 2016, Manajer Gadjah Mada Menghafal Qur’an 1439 H)
Di atas sebidang tanah yang cukup luas, hiduplah sekawanan angsa yang sangat banyak. Angsa-angsa itu sudah menempati tanah tersebut selama ratusan tahun. Pada sekawanan angsa tersebut, terdapat beberapa angsa yang besar-besar. Akan tetapi, mereka adalah sekawanan ‘pencuri’. Hingga pada suatu hari, sekelompok pencuri tersebut melakukan aksinya. Pada saat akan melaksanakan aksinya, timbullah pertanyaan. Pertanyaannya adalah mana yang lebih baik, mencuri telur-telur sekawanan angsa tersebut atau mencuri tanah yang ditempati oleh sekawanan angsa tersebut?
Pernahkah Anda melihat bandara-bandara untuk penerbangan kapal domestik? Pernahkah anda melihat jalan-jalan Bypass, bangunan-bangunan pencakar langit yang sedang dibangun seperti di Meikarta dan lokasi reklamasi Teluk Jakarta, hutan sawit milik BUMN yang luasnya berhektar-hektar, lahan-lahan transmigrasi, bendungan-bendungan, kawasan konservasi hutan, regulasi hutan melalui Perhutani, perusahaan air minum kemasan, aturan teritorial laut (ZEE) yang diberlakukan oleh PBB, lokasi dan perusahaan tambang, atau tempat-tempat wisata di Indonesia? Pernahkah Anda memikirkan lebih dalam, mengapa ‘bangunan’ itu bisa ada dan bagaimana regulasi yang mengatur atasnya? Siapa yang berperan di balik itu dan apa motifnya? Apakah semua pembangungan demi pembangunan di negeri ini merupakan representasi dari kesejahteraan rakyat Indonesia? Atau jangan-jangan, hal tersebut justru merepresentasikan kesejahteraan bagi cukong korporasi dan para pelaku koruptor yang menjamur di Indonesia?
Harapannya merepresentasikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Tetapi kita seringkali terkungkung dalam idealisme dan melupakan realita sehingga merasa ‘anyem-anyem’ saja menikmati segala fasilitas yang ada tanpa ada rasa ‘suudzhan’ terhadap hal tersebut. Suudzhan disini maksudnya adalah sikap skeptis dan kritis. Adapun realitanya dapat Anda saksikan dari ulasan-ulasan yang akan saya jabarkan di bawah ini. Semua itu terbungkus dalam pembahasan yang dikenal dengan istilah agraria.
Agraria menurut UU No 5 Tahun 1960 didefinisikan sebagai bumi, air, dan udara. Dari poin definisi tersebut, kita dapat mengetahui bahwa agraria mencakup ruang lingkup strategis yang sangat luas, yaitu tanah, air , dan udara. Ruang lingkup strategis ini menyebabkan agraria dipandang sebagai ruang hidup dan sumber kehidupan. Tetapi, bak pisau bermata dua, hal tersebut dapat mengundang permasalahan yang kompleks dibalik kompleksitas kebermanfaatannya.
Siapakah yang mengundang masalah tersebut? Tentu saja orang-orang yang berkepentingan terhadap agraria yang mementingkan dirinya sendiri. Tetapi terkadang pelaku kepentingan tersebut bingung ketika harus memilih satu diantara dua situasi. Seperti halnya ‘pencuri’ yang kebingungan antara mencuri tanah atau telur angsa pada bagian pembukaan artikel ini. Mencuri telur-telur angsa tentunya bisa dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa mengundang perkelahian dari kawanan angsa yang lain, tetapi untungnya sedikit. Jika mencuri tanah yang ditempati, tentunya hal tersebut tidak bisa dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan pasti akan mengundang perkelahian, tapi untungnya besar yakni dapat mengolah tanah yang ditempati dan kalau beruntung dapat mencuri telur dari kawanan angsa. Tetapi pada artikel ini, kita tidak akan membahas tentang angsa. Adapun jawaban dari pertanyaan pada pembukaan diserahkan kepada pembaca setelah membaca semua artikel yang akan dirilis nantinya.
Mari kita menilik apa yang Dia sebagai Pemilik Bumi dan Alam Semesta ini firmankan. Allah SWT berfirman yang artinya:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). ” (Q.S. Ar-Rum:41)
Dalam ayat tersebut, Allah SWT mengingatkan kepada kita, bahwa kerusakan di bumi terjadi disebabkan ulah manusia. Ayat ini sangat menarik. Kerusakan yang ada disebabkan oleh manusia, bukan malaikat, jin, hewan, tumbuhan, bebatuan, dan benda mati lainnya. Artinya, ketika kita ambil negasi dari kalimat tersebut, maka kerusakan di darat dan di laut dapat dicegah oleh manusia atas izin Allah SWT. Sehingga manusia diharapkan menjadi problem solver bagi permasalahan kerusakan di bumi. Hal ini kongruen dengan tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi ini sesuai yang disebutkan dalam Q.S. Al-Baqarah: 30.
Kerusakan yang ada bukanlah hanya kerusakan yang berkaitan dengan alam, tetapi kerusakan secara general, yaitu kerusakan pada alam, kerusakan pada tatanan sosial, dan kerusakan yang lainnya. Hal ini dikarenakan yang di daratan dan di lautan, bukan hanya ada tanah dan air, melainkan di sana juga terdapat manusia yang saling berinteraksi, biota laut, tetumbuhan, hewan, bebatuan, dan yang lainnya. Sehingga kerusakan yang ada sangat kompleks. Allah SWT mengingatkan kita melalui ayat tersebut bahwa perilaku manusia yang tidak baik akan berdampak pada perilaku alam yang tidak baik pula. Ibarat gaya aksi dan reaksi pada fisika dalam hukum Newton ke-3, bahwa setiap ada aksi dengan besar tertentu dikenai pada suatu objek, maka yang dikenai akan memberikan reaksi sebanding dengan besar aksi yang diberikan. Dari perilaku manusia yang kurang baik, muncullah problematika-problematika di bumi ini, salah satunya adalah problematika agraria.
Problematika agraria berbasis nasional dan alot yang sering terjadi, khususnya di Indonesia, adalah masalah yang kita kenal sampai saat ini sebagai Konflik Agraria. Konflik Agraria dimulai dengan pemberian akses ijin/hak pemanfaatan oleh pejabat publik yang mengekslusi sekelompok rakyat dari tanah, sumber daya alam, dan wilayah kelolanya. Dalam literatur studi agraria terbaru, konsep akses dan ekslusi adalah dua konsep yang diletakkan sebagai dua sisi dari satu sisi mata uang. Dua konsep tersebut dapat menimbulkan masalah seperti yang telah disebutkan di dalam Q.S. Ar-Rum: 41 di atas. Hasil analisis secara prediktif oleh Homer-Dixon yang dikutip dalam tulisan Mulyani (2014) menyebutkan bahwa
“….Di abad 21 ini negara seperti Indonesia berpotensi untuk mengalami peningkatan angka konflik sumber daya alam. Ternyata prediksi tersebut sudah dapat dibuktikan saat ini, dari maraknya pemberitaan media lokal dan nasional serta data hasil kajian tentang kejadian-kejadian yang berkaitan dengan perebutan sumber daya alam, penangkapan petani, demonstrasi petani, gugatan masyarakat adat, dan masih banyak lagi.”
Apakah hal tersebut merupakan suatu kebetulan atau memang sesuatu yang dibetulkan? Mari kita biarkan data berbicara. Catatan Akhir Tahun 2017 yang dilansir oleh KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) menyatakan bahwa:
“Sedikitnya telah terjadi 659 kejadian konflik agraria di berbagai wilayah dan provinsi di tanah air dengan luasan 520.491,87 hektar. Konflik-konflik tersebut melibatkan sedikitnya 652.738 Kepala Keluarga (KK). Dibandingkan tahun 2016, angka kejadian konflik pada tahun ini menunjukkan kenaikan yang sangat signifikan dimana terjadi peningkatan hingga 50%. Jika dirata-rata, hampir dua konflik agraria terjadi dalam satu hari di Indonesia sepanjang tahun ini. Jumlah korban dan bentuk kekerasan dalam konflik agraria tahun ini adalah 369 orang dikriminalisasi, 224 orang dianiaya, 6 orang tertembak, dan 13 orang tewas.”
Data tersebut tentunya masih merupakan data yang sudah terlaporkan. Mengingat luasnya wilayah Indonesia, data Konflik Agraria real di lapangan yang belum terlaporkan diduga lebih banyak dari data statistik yang ada. Menolak lupa dari nawacita Presiden Joko Widodo pada janji ke 5: “Kami akan meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, diantaranya akan dicapai melalui….”peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program ‘Indonesia Kerja’ dan ‘Indonesia Sejahtera’ dengan mendorong land reform dan kepemilikan lahan seluas 9 juta hektar”, oleh Dewi Kartika selaku Sekjen KPA menyampaikan, “Catatan Akhir Tahun KPA di Tahun 2017 menyoroti lambatnya realisasi janji politik dan kebijakan reforma agraria. Berbanding terbalik dengan kecepatan kerja-kerja proyek investasi skala besar yang lapar tanah. Pengadaan tanah untuk proyek infrastruktur dan ekspansi perkebunan komoditas secara cepat dan ganas mengkonversi lahan-lahan pertanian dan mengubah landscape kebun masyarakat, lalu berakibat pada konflik agraria”.
Pernyataan beliau tersebut dikutip oleh penulis bukan berarti artikel ini bertendensi politis di masa suasana hiruk-pikuknya politik saat ini, melainkan ingin menunjukkan secara objektif bahwa pada pemerintahan Jokowi, konflik agraria masih belum bisa teratasi secara maksimal dan jumlah konflik yang ada belum bisa didiferensiasikan. Bahkan dari sumber yang ada terdapat dugaan, jangan-jangan telah terjadi perselingkuhan antara pemerintah yang korup dengan pihak korporasi yang rakus atas nama pembangunan.
Bukti-bukti di atas adalah sekedar kulit sebelum menyelami isinya. Permasalahan-permasalahan yang lebih spesifik sangat perlu diketahui dan dikaji sebagai bahan evaluasi dan referensi dalam upaya minimalisasi jumlah konflik agraria dan memutus akar konflik agraria yang kronis, sistematis, dan meluas ini. Peran para ilmuwan (termasuk didalamnya juga ulama) sangat ditunggu sehingga tidak muncul lagi istilah “ilmuwan kalah dengan politikus”. Hal ini kiranya sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas, bahwa masalah mendasar yang dihadapi oleh manusia saat ini adalah masalah ilmu. Jikalau ilmuwan di Indonesia rusak, maka hal tersebut akan berdampak pada kerusakan yang ada di bumi, begitupun sebaliknya.
Selain ilmuwan, para politikus juga diharapkan memainkan peran yang lebih amanah dan jujur dalam menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat. Jikalau para politikus menganggap diri mereka sebagai perwakilan rakyat, maka hal tersebut tidak berarti harus mewakili kesejahteraan rakyat pula. Adapun kesejahteraan rakyat dapat tercapai, salah satunya, dengan upaya meminimalisir potensi konflik agraria yang ada dan melaksanakan sebaik mungkin kebijakan-kebijakan agraria yang menguntungkan rakyat dan negara.
Daftar Pustaka
Antoro, Kus Sri. 2013. Anatomi Konsep Penyelesaian Konflik Agraria: Studi Perbandingan antara Ranah Kebijakan dan Ranah Perjuangan Agraria. Bumi Jurnal. Hal: 28-48.
Konsorsium Pembaruan Agraria. 2017. Catatan Akhir Tahun 2017 KPA: Reforma Agraria di Bawah Bayangan Investasi. Diakses 22 Agustus 2018.
Mulyani, Lilis. 2014. Kritik atas Penanganan Konflik Agraria di Indonesia. Bumi Jurnal. Hal: 341-355.
Rachman, Noer Fauzi. 2013. Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria yang Kronis, Sistemik, dan Meluas di Indonesia. Bumi Jurnal. Hal:1-14.