Oleh: Setia Budi Sumandra (FMIPA 2016, Manajer BSO Gadjah Mada Menghafal Qur’an 1439 H)
A. Pendahuluan
“Dan di kota itu ada sembilan orang laki-laki yang berbuat kerusakan di bumi, mereka tidak melakukan perbaikan” (Q.S An-Naml: 48)
Indonesia adalah negara yang kaya raya. Dulu, waktu kita di sekolah dasar, guru-guru di sekolah sering memberitahu bahwa Indonesia adalah negara yang istimewa. Ia bagai Zamrud Khatulistiwa yang terletak strategis di persimpangan benua Asia dan Australia. Indonesia adalah negara agraris dan maritim sekaligus. Tidak kalah dengan itu, budaya gotong royong masyarakat Indonesia juga mampu menghadirkan keamanan dan ketentraman tersendiri bagi negeri yang terkenal dengan keindahan alamnya ini. Maka tidak heran, jika dahulu dalam bahasa Jawa, Indonesia dikenal sebagai negeri gemah ripah loh jinawi (tentram dan makmur serta subur tanahnya). Akan tetapi, jika kita melihatnya ke dalam konteks hari ini, untuk siapakah ketenteraman dan kemakmuran tersebut?
Bagai pungguk merindukan bulan, bagai anak yatim merindukan seorang ayahnya. Malang beribu sayang, kesejahteraan tersebut justru diwakilkan oleh kaum bermazhab kapitalis yang menggerogoti kekayaan Indonesia melalui invisible hand mereka. Mereka dan para antek-anteknyalah yang menguasai dan memonopoli sebagian besar perekonomian di Indonesia. Mereka menamakan dirinya sebagai kelompok 9 Naga. Kelompok ini mengingatkan kita kepada 9 orang laki-laki yang pada zaman Nabi Saleh a.s. (Q.S An-Naml: 48 di atas) memonopoli segala akses perekonomian bangsa Tsamud kala itu. Mereka akhirnya dihancurkan oleh Allah SWT setelah mereka melarang Unta Nabi Saleh a.s. untuk dapat minum air. Dan sejarah ini seakan-akan terulang kembali pada zaman saat ini dan hanya masalah waktu dan izin dari Allah, ada kemungkinan besar akan hancur juga melalui tangan orang-orang yang Ulil Albab (orang-orang yang berakal).
B. Potensi Agraria Indonesia
Dari data BPS diketahui bahwa Indonesia memiliki luas darat 1.916.862,20 km2 dengan jumlah pulau 16.056 yang dihuni oleh sekitar 266.927.712 jiwa penduduk (peringkat ke-4 dunia) dengan rasio 49,9% laki-laki dan 50,1% perempuan. Adapun 2/3 luas wilayah NKRI adalah laut (5,8 juta km2 ) dan garis panjang pantainya terbesar ke-2 di dunia (95,181 km). Sedangkan areal hutan Indonesia memiliki luas 93,9 juta Ha (50,04%) dan areal yang tidak berhutan seluas 93,8 juta Ha (49,96%).
Berdasarkan statistik pertanian tahun 2017, persentase penggunaan lahan di Indonesia meliputi sawah (22,27%); kebun/tegal (31,41%); ladang/huma (13,80%); dan lahan yang sementara tidak diusahakan (32,53% atau sekitar 11.957.736 Ha). Khusus untuk pertambangan, berikut disajikan sebuah tabel:
Berdasarkan Tabel 1.1 dapat diketahui bahwa produksi emas Indonesia pada tahun 2016 mengalami penurunan sebesar 18,84% dibandingkan dengan tahun 2015. Ini terjadi juga untuk batubara yang mengalami penurunan sebesar 2,55%. Yang mengalami penurunan produksi juga adalah minyak bumi, gas alam, biji timah, bauksit, dan bijih nikel. Hanya produksi konsentrasi tembaga yang mengalami peningkatan.
Potensi dalam bidang Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia, yang diambil dari data statistik EBTKE 2016, juga tidak kalah menarik. Terdapat 11.998 MW sumberdaya dan 17.546 MW cadangan dari Panas Bumi; 75.091 MW untuk Tenaga Air; dan 32.653,8 MW untuk Bio Energi. Potensi ini sangat besar untuk memasok kebutuhan listrik yang ada sehingga dapat membantu mengurangi kerugian Indonesia di sektor energi, khususnya listrik.
C. Antara Kapitalisasi dan Inflasi
Menurut Cahyono (2017), terdapat setidaknya tiga paradigma yang mendasari pengelolaan sumber daya Agraria di Indonesia, yaitu paradigma pembangunan dan ekonomi, paradigma politik sumber daya alam, dan paradigma kemiskinan dan kesejahteraan. Kita akan fokus pada paradigma yang kedua, yaitu paradigma politik sumber daya alam.
Paradigma politik sumber daya alam yang paling banyak diterapkan oleh bangsa Indonesia adalah paradigma yang bercorak developmentalistik dan sebagian developmentalistik cum konservasionistik. Paradigma ini memiliki nalar bahwa sumber agraria dan sumber daya lainnya diposisikan hanya sebagai aset dan potensi ekonomi pembangunan dan komoditas pasar yang digerakkan oleh modal (kapital). Paradigma ini dimiliki oleh para kaum kapitalis.
Ustadz Muhaimin Iqbal dalam salah satu ceramahnya menyatakan bahwa saat ini permodalan di seluruh dunia, termasuk indonesia, didominasi oleh permodalan kapitalisme. Dalam era kapitalisme, kita semua bekerja untuk pemilik modal. Contoh sederhananya adalah listrik. Ini sebenarnya merupakan monopoli karena kita membayar listrik hanya pada satu perusahaan, yaitu PLN. Seharusnya hasil perusahaan PLN dapat memakmurkan negeri ini. Akan tetapi pada kenyataannya tidak. Pada tahun 2017, PLN hanya untung sekitar 4 triliun, sedangkan yang dibayar ke pemilik modal dalam bentuk bunga oleh PLN adalah sekitar 18,5 triliun. Para pemilik modal untung 4 kali lebih banyak daripada PLN.
Saat ini, suburnya kapitalisme di Indonesia sangat di dukung oleh realita bahwa kita hidup di zaman era globalisasi. Zaman yang menyebabkan power budaya lokal ditelan oleh power budaya global. Zaman yang menciptakan perilaku-perilaku sosial seperti hedon perilaku instan. Zaman dimana sistem informasi, komunikasi, dan teknologi berkembang sangat pesat. Adapun karakter sistem produksi kapitalis adalah cekatan dalam mengakumulasikan keuntungan melalui kemajuan dan sofistikasi teknologi, informasi, dan komunikasi. Mereka juga pandai untuk membentuk kebutuhan manusia agar dapat mengkonsumsi apa-apa yang diproduksi oleh pasar kapitalis sehingga hampir semua kebutuhan yang tergolong sekunder dan tersier, dapat disulap menjadi kebutuhan primer. Tetapi parahnya adalah modal hanya terpusat pada individual saja, sehingga menyebabkan uang banyak beredar hanya pada orang-orang yang memiliki modal besar saja (baca: orang yang tajir). Kita pun secara tidak sadar bekerja banting tulang siang malam hanya untuk membayar para pemilik modal.
Contoh sederhananya adalah ketika kita sebagai orang yang mempunyai kemampuan cukup memberikan uang bulanan kepada anak kita atau kita bersedekah kepada anak-anak yatim dan anak-anak yang kurang mampu. Atau kita bisa tilik juga realita beasiswa Bidikmisi dari pemerintah. Jika kita perhatikan, banyak dari mereka yang menggunakan uang nya bukan untuk hal yang lebih bermanfaat, tetapi untuk hal-hal sepele seperti beli pulsa, beli kuota, beli mie instan, makan mewah, beli pakaian mewah, dll. Artinya uang yang diberikan, sudah kembali lagi ke para pemilik modal besar di perusahaan Indosat, XL, Indomie, McDonald’s, KFC, dll. Ini adalah contoh yang sangat sederhana dari realita sosial yang kita hadapi di balik bayang-bayang kapitalisme. Bagaimana dengan hal yang lebih besar lagi seperti pertambangan, perikanan, kelautan, kemaritiman, pertanian, energi, kehutanan, pendidikan, dan lain sebagainya?
Allah SWT sudah mengingatkan kita 1400-an tahun yang lalu. Dia berfirman yang artinya,
“Harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Q.S. Al-Hasyr: 7)
Begitulah Allah telah mengingatkan kita agar jangan berperilaku seperti para kapitalis. Perilaku ini menyebabkan kemudharatan dan termasuk dalam golongan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi (Q.S. An-Naml: 48). Lihat saja kondisi Indonesia saat ini. Saya ambil contoh untuk sektor pertanian dan peternakan agar pembahasan kita tidak terlalu luas. Harga beras misalkan, naik 59,42% dari tahun 2009 ke 2017 (Rp 6.737/kg menjadi Rp. 10.739/kg). Komoditas kedelai mengalami fluktuasi harga dengan tren kenaikan yang signifikan, yakni sebesar 35 persen dari Rp 7.953/kg di tahun 2009 menjadi Rp 10.739/kg di tahun 2017. Kita lihat juga untuk daging Sapi, sepanjang tahun 2017 harga daging sapi segar rata-rata mengalami kenaikan menjadi Rp. 120.000 per kg dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, yakni sekitar Rp. 113.000. Semuanya itu adalah komoditas pangan kita dan menurut BPS, kenaikan harga bahan pangan kerap menjadi pemicu utama terjadinya inflasi.
Siapakah yang paling patut disalahkan atas kenaikan harga bahan pangan kita? Pakar agronomi Indonesia, Muhaimin Iqbal, menjawab riba. Riba merupakan produk dari kapitalisme. Memangnya hubungan antara naiknya harga pangan dengan riba apa? Secara sederhana, harga dibentuk oleh mekanisme supply (penawaran) dan demand (permintaan). Harga akan melonjak ketika supply terbatas dan demand sangat tinggi.
Permintaan untuk beras, cabai, kedelai, garam, dan daging selalu tinggi. Akan tetapi, supply-nya yang terbatas. Hal ini dikarenakan mulai berkurangnya masyarakat Indonesia yang bertani, berkebun, dan beternak. Kenapa? Karena pekerjaan-pekerjaan tersebut dianggap kuno dan beresiko serta terkesan tidak dijamin aman oleh pemerintah karena kebijakan yang tidak menguntungkan mereka. Otomatis sebagian investor pangan juga akan berpikir dua kali karena berusaha untuk menghindari resiko dan mereka tentunya lebih memilih untuk investasi yang aman dan dijamin pemerintah, yaitu investasi deposito dengan menaruh uang di bank konvensional yang dengan mudah memberikan hasil pendapatan kisaran 6% tanpa resiko, meskipun itu sistem ribawi karena menerapkan bunga. Hal ini merugikan para pengusaha pangan karena barang mereka kurang laku dari investor dan menimbulkan ketidakpercayaan diri untuk melakukan usahanya. Apalagi pemerintah seringkali melaksanakan impor bahan pangan yang menyebabkan harga pangan lokal tergerus dan kalah saing. Berikut tabel impor beberapa bahan pangan:
Jika kita perhatikan, impor bahan pangan yang dilakukan oleh pemerintah cukup signifikan. Bahkan yang aneh adalah, garam pun kita harus impor. Padahal 2/3 dari luas wilayah NKRI merupakan laut seperti yang sudah disampaikan pada pembahasan potensi agraria di atas. Jadi wajar jikalau kepercayaan terhadap pemerintah oleh para petani, nelayan, pekebun, dan peternak menurun sehingga mereka yang merupakan pahlawan pangan harus rela menjual tanah nya kepada pengembang (developer) untuk dijadikan bangunan infrastruktur. Mereka harus rela menjadi TKI dan meninggalkan tanahnya ke negara orang hanya untuk mencari modal dan penghidupan yang lebih layak. Bahkan para pemuda, generasi penerus untuk bertani, berternak, nelayan dan berkebun di desa-desa, sudah banyak yang memiliki mindset yang tidak baik tentang pekerjaan tersebut. Bagi sebagian mereka, pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang menurunkan “marwah” mereka. Kemudian apa solusi para pemilik modal/kapital?
Para bankir akan semakin gencar menawarkan dan meminjamkan modal kepada para pengusaha pangan untuk memodali usaha mereka, seperti yang terjadi di daerah saya. Tetapi para pengusaha pangan harus mengembalikan pinjaman kepada bank dengan tambahan bunga. Di sinilah tempat masalahnya. Para pengusaha pangan tersebut, biasanya untung yang di dapat tidak terlalu besar atau bahkan rugi karena lahan yang ada, berkurang kesuburannya seiring meningkatnya penggunaan pupuk non organik seperti ZA dan lainnya. Ini diperparah juga karena harga pangan di pasaran mulai anjlok karena kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan. Alhasil, si pengusaha pangan terkadang tidak mampu untuk membayar pinjaman awal, apalagi bunga nya, karena keuntungan yang diperoleh harus dibagi untuk modal selanjutnya dan/atau untuk menutupi utang yang bersangkutan dengan pihak lain dan memenuhi kebutuhan keluarga si pengusaha pangan. Sehingga akibatnya adalah meminta perpanjangan pada bank dan bunga nya pun bertambah. Kalau semakin lama tidak mampu membayar sampai jatuh tempo, tidak sedikit yang rumahnya disita atau barang jaminan sebelumnya diambil oleh bank. Kemudian apa solusinya?
Solusinya adalah:
“…Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (Q.S Al-Baqarah: 275).
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa” (Q.S Al-Baqarah: 276).
Itulah dua solusi dari Allah SWT jikalau kita ingin memutar perekonomian menjadi perekonomian yang sehat dan adil. Allah sudah menghalalkan jual beli dan sedekah. Perbanyak kegiatan jual beli dan perbanyak sedekah baik itu berupa wakaf maupun yang lainnya, karena itu yang dahulu pernah membuat dunia mengalami revolusi pertanian jilid 1 di Andalusia (Spanyol) pada abad ke 8-12 Masehi meskipun para orientalis Barat tidak mengakuinya. Di samping itu, Allah sudah mengharamkan Riba dan Allah memusnahkan riba. Semoga Allah memasukkan kita menjadi golongan orang-orang yang turut andil dalam memusnahkan riba.
Daftar Pustaka
2018. Outlook Energi Indonesia 2018. Diakses 03 Februari 2019.
2018. Statistik Indonesia 2018. Diakses 03 Februari 2019.
Cahyono, Eko. 2017. Gemah Ripah Loh Jinawi Untuk Siapa?: Makin Jatuhnya Cita-Cita Kedaulatan Agraria. Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol.1, No.1, 2017, hlm. 65-79.
Iqbal, Muhaimin. 2017. Beyond the Horizon: Men-disrupt Kejumudan Modern. Tanpa copyright
Konsorsium Pembaruan Agraria. 2017. Catatan Akhir Tahun 2017 KPA: Tahun Darurat Agraria; Kedaulatan Pangan pun Diabaikan; Kemiskinan Tak Terentaskan. Diakses 02 Februari 2019.
Rachman, Fauzi Noer. 2013. Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria yang Kronis, Sistemik, dan Meluas di Indonesia. Bumi Jurnal. Hal:1-14.
Anonim, http://blogpengertian.com/jumlah-penduduk-indonesia/. Diakses 03 Februari 2019, jam 14.28.
Anonim, https://www.youtube.com/watch?v=WR9ITlRzccA. Diakses 03 Februari 2019.