Malam itu, di ruang segi delapan yang dipeluk sejuknya angin malam Yogyakarta, peserta Training Kepemimpinan (TK) 2 Jama’ah Shalahuddin berkerumun, menyaksikan layar yang menayangkan sebuah film ciamik. Kebersamaan di antara peserta menghangatkan suasana, bak selimut yang melindungi dari gigil malam Yogyakarta. Di tengah itu, mereka disuguhkan sebuah film yang menghadirkan kenyataan pahit dunia modern: “Budi Pekerti”, sebuah mahakarya yang disutradarai Wregas Bhanuteja dan berhasil mengantongi 17 nominasi di ajang Festival Film Indonesia.
Film ini mengurai lika-liku kehidupan Bu Prani, seorang guru bimbingan konseling yang dihormati karena Budi Pekertinya. Namun, takdirnya berbalik tajam ketika sebuah cuplikan singkat dari peristiwa di sebuah penjual kue putu tersebar luas. Adegan itu, bak setetes tinta hitam yang merusak selembar kain putih, menodai reputasi Bu Prani. Perjalanannya untuk menjadi kepala sekolah yang sebelumnya digadang-gadang oleh banyak pihak pun sirna seketika, ditelan gelombang kritik publik yang tanpa ampun.
Di tangan Wregas, narasi “Budi Pekerti” disulap menjadi potret yang menyayat realitas kita, sebuah dunia di mana arus informasi melaju secepat LRT yang melintasi kota. Tak perlu lagi bisik-bisik gosip di tengah arisan ibu-ibu, cukup dengan sekali usap pada layar, segalanya tersebar bak amuk ombak. Media sosial menjadi ruang yang lebih padat daripada lampu merah di Sekolah Vokasi UGM pada pagi hari yang sibuk.
Dalam film ini, Bu Prani terjebak dalam badai penghakiman dari para wali murid yang tanpa ampun menghujaninya dengan kritik. Apa yang awalnya dimulai sebagai refleksi sederhana untuk murid yang dianggap “nyeleneh”, berbalik menjadi senjata tajam yang menghakimi integritasnya. Film ini menggambarkan bagaimana serpihan kecil dari kenyataan dapat dikelirukan menjadi kesalahan fatal, menelanjangi betapa rapuhnya reputasi manusia di hadapan arus opini publik.
Dibawakan dengan cara yang realistis dan humanis, film ini tak sekadar mengajak kita menonton, melainkan turut merasakan getirnya dunia yang serba cepat ini. Wregas menyuguhkan ketegangan yang emosional, di mana benar-salah dan baik-buruk bertransformasi menjadi sekadar penilaian subjektif, layaknya dua sisi mata pisau. Setiap detik film ini adalah tamparan halus yang mengingatkan kita untuk lebih bijak dalam berperilaku di ruang publik, serta lebih arif dalam menyelami dunia maya.
Pada akhirnya, Budi Pekerti bukan hanya tentang Bu Prani yang terpaksa bergulat dengan arus deras informasi dan prasangka, melainkan juga tentang kita semua. Sebuah pesan untuk tetap memegang teguh integritas dan kesabaran, betapapun kerasnya dunia ini menggoda kita untuk melupakan jati diri.
“Film ini mengajarkan kita bahwa kadang, untuk bertahan, kita tak cukup hati yang baik, namun juga keberanian untuk melawan gelombang yang ingin menjatuhkan.”
Peserta TK 2 JS –