Pemerintah atau perumus kebijakan berasumsi bahwa kemiskinan adalah kelangkaan uang atau kelangkaan barang dengan solusi bantuan sosial (bansos). “Saat ini kita memiliki kegelisahan akademik yang disebut sebagai kemiskinan struktural, manifestasinya hanya dalam discourse akademik, dalam praktik kebijakan kalau ada ya samar-samar” ujar Prof. Dr. Purwo Santoso, M.A., Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM dalam ceramah tarawih Ramadan Public Lecture 1445 H, Jum’at (22/3) yang diselenggarakan di Masjid Kampus UGM.
Kemiskinan struktural merupakan produk dari struktur kehidupan bermasyarakat. Cara bertransformasi, cara memproduksi atau berjualan makanan dapat menjadi sumber ketimpangan. Dari hubungan yang timpang tersebut, kajian kemiskinan struktural hanya disukai oleh orang-orang yang membagi kelas lalu yang tersisih dicarikan jalan keluar dengan melawan, sehingga terciptanya ketegangan sosial seperti protes. “Wacana strukturalis yang metodologinya diproduksi oleh orang-orang kiri, itulah yang menjadikan wacana itu bisa bertahan dan solusinya bersifat struktural” ujar Prof. Purwo.
Ketika terdapat masalah, maka solusinya adalah Hak Asasi Manusia (HAM). Sejauh ini, negara belum bisa menjanjikan pemberantasan kemiskinan untuk menjamin hak asasi warga negaranya. Faktanya, jika Indonesia sudah memiliki kebijakan penanggulangan kemiskinan bertahun-tahun yang lalu, maka saat terjadi masalah akan dapat teratasi dengan baik. Wawasan strukturalis yang tidak diadopsi oleh pemerintah, sangat memungkinkan tidak adanya jalan keluar dari permasalahan kemiskinan struktural karena tidak menembus atau tidak menempa struktur.
Belajar dari sejarah Utsman bin Affan, pada saat itu mulai dilembagakan baitul-maal (rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta) yang sekaligus menjadi solusi untuk permasalahan masyarakat dalam konteks penanggulangan kemiskinan dan juga bertujuan sebagai tanggung jawab dari negara untuk mensejahterakan masyarakat. Negara belum berani menjanjikan zero poverty (nol kemiskinan) kepada masyarakat seperti zaman khalifah Utsman bin Affan, karena ukuran kemiskinan yang bergeser seiring berjalannya waktu dan garis kemiskinan juga dirumuskan dari waktu ke waktu.
Selanjutnya, Prof Purwo berbicara mengenai kesejahteraan rakyat, bahwa maksud dari mensejahterakan pada level minimal adalah dengan tidak adanya kemiskinan sehingga adil dan makmur dapat direalisasikan. Namun karena watak kemiskinan bersifat struktural dan watak struktural tidak pernah disiasati dengan strategi yang seksama, maka belum terlaksana solusi yang tepat.
Solusi yang mungkin bisa terealisasikan yakni, ketika baitul-maal menjadi tata kelola makro untuk menanggulangi kemiskinan, maka masyarakat akan lebih kontributif sambil mensucikan harta dengan pemetaan cara yang tepat supaya efek yang diberikan lebih signifikan. (Fatiya Auliya/Editor: Hafidah Munisah/Foto: Tim Media Kreatif)