Dekat dan Mendekatkan, Angan-Angankah ?

Oleh: Aqil Wilda Arief (Ketua JS UGM 1431 H)

(Sempat terhapus dari website JS. Diterbitkan kembali 26 Juli 2019 dengan perbaikan ejaan)

Kehidupan manusia senantiasa diwarnai oleh kejadian-kejadian yang beraneka ragam. Tidak hanya kejadian yang melekat di masing-masing individu, bahkan bagaimana persepsi terhadap sesuatu kejadian itupun juga menambah nuansa keindahan susunan kata pada paragraf kehidupan manusia. Adalah sebuah karunia dari Allah ta’ala ketika tiap diri dibekali oleh ciri khas. Ciri khas yang dengannya antara satu Individu dengan yang lainnya dapat dibedakan. Ciri khas atau karakteristik itupun juga dapat tergambarkan saat bagaimana tiap-tiap individu mempersepsikan suatu kejadian atau hal-hal yang ada di sekelilingnya. Ciri khas yang didasari atas keyakinan akan sesuatu yang bertahta di dalam jiwanya.  Entah itu kebaikan yang mengarahkan pada jalan ketaqwaan, atau keburukan yang mengantarkan pada jalan ke-fujur­­-an.

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (Q.S. Asy-Syams: 8)

Hadirnya karakteristik tersebut dalam diri manusia, adalah merupakan sebuah tantangan yang harus dihadapi dengan baik ketika seorang da’i hendak melakukan syiar-syiar kebenaran kepada mereka semua. Butuh sebuah ketrampilan dalam hal penyampaian sebuah risalah kebenaran yang mulia. Dan ini semua berbicara tentang bagaimana memposisikan risalah kebenaran tadi sebagai sebuah satu hal yang manis. Bukan sebagai satu hal yang membuat bulu roma berdiri mendengarnya. Bukan sebagai doktrin fundamentalis yang mematikan pikiran. Beberapa kali ditemukan di lapangan bahwa tidak sedikit dari para da’i yang cenderung untuk menampilkan satu bentuk fundamentalisme yang mengerikan dalam menyampaikan risalah kebenaran ini. Menampakkan kegaharan sebuah aturan dan perintah. Ini yang kemudian perlu untuk ummat perhatikan ditengah-tengah upaya menjelekkan citra Islam di mata ummat islam itu sendiri.

 

Pencitraan yang buruk

Berbicara tentang pencitraan itu sendiri, upaya yang dilakukan sungguh dahsyat. Cobalah tengok beberapa kasus yang terjadi ketika risalah kebenaran ini diidentikan pada hal-hal yang sarkastik. Rasa ngeri yang kemudian muncul saat Islam diidentikkan dengan adanya hukum potong tangan ketika seseorang didakwa melakukan tindakan pencurian. Dan masih banyak lagi hal-hal yang kemudian dijadikan sebagai hujjah dalam menginterpretasikan Islam. Ironisnya interpretasi yang diberikan atau dilabelkan itu adalah hal-hal yang terkesan negatif seperti pengekangan, pembatasan akan kebebasan, keras tanpa toleransi, konvensional, bahkan hingga label tidak manusiawi ketika kembali lagi Islam membahas tentang hukum qishas dalam penyelesaian sebuah permasalahan.

Adalah musuh-musuh Allah yang kemudian berusaha menghancurkan diin yang mulia ini dengan berbagai macam cara. Mereka mencoba untuk mendekonstruksi frame, pola pikir masyarakat akan Islam itu sendiri. Mereka mencoba untuk menghancurkan Islam dari dalam dan dengan cara yang soft. Mereka senantiasa menggunakan penafsiran hermeneutik ketika mencoba mentafsirkan ayat-ayat Allah sehingga menimbulkan sudut pandang yang berbeda dalam melihat suatu kebenaran. Tak hanya penafsiran yang keliru tapi juga doktrinase ideologi yang mungkin sudah terbangun dalam dirinya untuk menghancurkan diin  yang mulia ini. Yang membuat miris adalah ketika melihat siapa-siapa yang seharusnya bertanggung jawab akan kegaduhan ini yaitu orang yang tercantum dalam identitasnya (KTP, red) kata-kata Islam untuk memenuhi kolom agama di sana.

Ini adalah sebuah bentuk pengkhianatan.  Pengkhianatan akan sebuah ikrar ketauhidan yang mereka ucapkan ketika masih di alam ruh yang secara tidak sadar mereka gadaikan. Ikrar yang tercantum dalam Surat Al-A’raf ayat 172, “Qooluu balaa syahidna”, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi”. Apakah mereka tidak sadar akan hal ini ?”. Sebenarnya ketauhidan, kemurnian aqidah itu sendiri bersemayam di setiap diri, akan tetapi dosa dan kedzaliman yang masing-masing diri itu lakukan yang kemudian menutupi dan membungkus serta mengeruhkan kejernihan aqidah yang bersemayam di masing-masing diri. Bahkan selubung dosa telah mengeraskan hati-hati mereka layaknya batu cadas.

 

Strategi dan Persiapan yang Sesuai dengan Logika Kontemporer

Dalam menghadapi arus dekonstruksi yang merapuhkan ini perlu strategi yang matang. Mengapa perlu strategi yang matang, karena secara tidak sadar, kita sebenarnya sedang berperang melawan mereka. Seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam dalam mempersiapkan segala sesuatunya sebelum mulai berperang. Tidak hanya persiapan pribadi saja yang dipersiapkan, tapi juga perlengkapan pertempuran pun juga tidak kalah penting untuk dipersiapkan keberadaanya. Sebagaimana Allah sampaikan dalam surat Al-Anfaal ayat 60 yang berbunyi,

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (Q.S. Al-Anfaal 60)

Yang kita hadapi saat ini adalah hal yang berbeda dengan apa yang Rasulullah hadapi ketika itu. Rasulullah ketika itu menghadapi musuh yang nyata yang dihadapinya langsung secara frontal. Siasat serta strategi yang dilakukannya pun adalah bagaimana untuk dapat menang, paling tidak untuk dapat bertahan dalam sebuah pertempuran. Yang kita hadapi saat ini adalah musuh yang tak kasat mata, secara perlahan dan halus menggerogoti pondasi keimanan, dan sedikit demi sedikit mencemarkan aqidah yang telah bersemayam di masing-masing diri.

Oleh karena itu, usaha-usaha dakwah yang dilakukan harus senantiasa disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang ada di mana seorang da’i itu berada. Seorang da’i haruslah senantiasa memperhatikan konteks kekinian dan konteks ke-di sini-an dalam kerangka logika kontemporer yang senantiasa terus berapa dari waktu ke waktu. Dan apa yang kita harus berbuat dalam kerangka dakwah bil haq ini guna merubah kondisi ummat Islam saat ini? Seberapa besar kontribusi yang telah kita lakukan untuk jalan dakwah ini?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.