Sebuah Pengantar Menuju Hikmah Idul Adha

sajadha1434h

Hidup adalah momentum. Momentum adalah deretan waktu yang pada saatnya nanti akan menjadi kenangan dalam hidup kita. Momentum dalam hidup kita dihadirkan agar selalu menjadi lebih baik dan itulah yang selalu diamanahkan oleh hidup.

“Ahsanu ‘Amala” (amal yang paling baik) itulah amanah hidup kita. Maksudnya, hidup tidak mengizinkan kita hanya menjadi orang baik tetapi hidup menuntut kita menjadi yang lebih baik untuk menuju kematian yang paling baik. Karena sebaik apa pun kita di dunia, akhirnya akan berujung pada kematian. Dan ujung dari yang “lebih” adalah yang “paling”. Kata “lebih baik” berujung pada “paling baik”.

Momentum dalam hidup ada 2 macam:

1.   Momentum yang sifatnya individual

Adalah momentum yang berbeda antara orang satu dengan orang lain. Misalnya : ada orang yang momentum hidupnya kaya tapi ada orang lain yang momentum hidupnya serba kekurangan.

Meskipun makan di tempat yang sama, kuliah di universitas yang sama, jurusan pun sama, bahkan satu kos, belum tentu momentum masa depannya sama. Tapi memang Allah membuat momentum kita berbeda. Misalnya: Nikah. Kalau waktu, dan tempatnya semua sama, maka siapa yang mau datang? siapa yang jadi tamu undangannya? Perbedaan ini merupakan seleksi Allah terhadap manusia untuk menguji siapakah yang paling baik amalnya.

Orang miskin belum tentu lebih buruk dari orang kaya. Pilih mana antara jadi orang kaya atau orang miskin? Pilih jadi orang kaya tapi baik, atau jadi orang baik tapi kaya? Baik mana, antara orang miskin tapi baik atau orang baik tapi dia miskin? Yang terpenting adalah.. jadilah orang yang baikJ. Jadi orang kaya ataupun miskin tidak masalah, yang penting “baik”. Namun tidak ada salahnya jika kita bermimpi untuk jadi orang kaya, asalkan dengan motivasi yang baik, misalnya “Saya ingin jadi orang kaya karena kalau saya kaya, saya bisa sedekah sebanyak mungkin sehingga akan bermanfaat bagi orang lain”.

Di zaman sekarang coba perhatikan. Orang kaya itu belum tentu mau sedekah. Tapi jika kita pikir lebih dalam, orang kaya yang sedekah itu sebenarnya masih biasa lho. Begitu pula dengan orang miskin yang tidak sedekah, itu fenomena yang biasa saja. Yang luar biasa itu adalah jika ada orang miskin yang sedekah, dan orang kaya yang sedekahnya berlebih atau sedekahnya banyak. Keduanya memiliki Nilai plus-plus.

2.     Momentum yang sifatnya bersamaan (Ijtima’)

Allah SWT memberikan momentum ijtima’ ini tujuannya agar kita memiliki kesempatan yang sama untuk jadi baik dan lebih baik. Kita dan saudara memiliki kesempatan yang sama untuk sama-sama menjadi lebih baik.  Sendiri itu tidak enak. Contohnya: Kita lagi puasa. Tapi sendiri. Puasa sendiri itu enak kah? Lapar sendiri, haus sendiri, kita sendiri yang tidak makan, buka puasa sendiri,dll sendiri. Lebih enak dan lebih baik mana, puasa sendiri atau kita puasa dan yang lain juga sama-sama puasa?. Suasananya akan sangat berbeda.

Contoh lagi, sholat rajin sekali, tapi sendirian tidak ada siapa-siapa. Kira-kira enak ndak? Ya, enak sih kalo pas kita tahajjud malem-malem. Tapi kalau pas sholat fardhu, apakah mau sendirian terus? Antara sendiri dengan berjamaah, tentu lebih enak sholat berjamaah. Masuk surga sendirian gak enak. Sementara teman-teman yang lain di neraka? Melihat orang lain menderita juga tidak tega (meskipun sebenarnya kita tidak bisa menjamin, kita masuk golongan yang masuk surga atau neraka).

Allah menghadirkan momentum jama’i  yaitu pada waktu bulan Ramadhan. Ramadhan dihadirkan untuk semua bukan untuk orang-orang tertentu. Ramadhan itu kesempatan untuk menjadi lebih baik. Lebih terasa sama-samanya kan ya? Puasa, sholat fardhu, sholat tarawih, buka puasa dan amalan2 lainnya, dilakukan bersama-sama dan muncul suasana kebersamaan yang berbeda dari bulan-bulan lainnya.

Ahsanu ‘amala adalah pribadi yang selalu berusaha untuk berbuat dan beramal lebih baik. Bagaimana caranya agar bisa ber-ahsanul ‘amala? Ia merasa selalu diawasi Allah swt secara lahir dan batin dengan menjadi pribadi yang lembut (lihat QS. Al-Mulk : 13-14)

Qurban merupakan peristiwa kekerasan yang menyimpan berjuta kelembutan yang mengalir ke muara Ahsanu ‘amala. Anatomi Ahsanu ’amala, yang menjadi Kriteria Orang Baik:

1.     Ketundukan yang utuh tanpa batas kepada apa yang dimaui Allah swt.

Menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dengan sebenar-benarnya meskipun itu berat.

2.     Menjadi jalan bagi orang lain untuk menjadi baik atau lebih baik.

Sejauh mana kebaikan-kebaikan kita menginspirasi orang lain untuk menjadi baik atau lebih baik. Contohnya : ada teman kita yang mau sholat tapi mukenanya basah. Lalu kita keluarkan mukena terbaik kita dan kita pinjamkan. Kita di sini menjadi orang yang sangat baik

3.     Bebasnya kita dari segala pamrih duniawi. Kebaikan apa pun, kita lakukan dengan ikhlas, lillahita’ala.

Hari Qurban ini tak hanya menjadi qurban biasa, tapi sejauh mana kita dapat mengambil pelajarannya yaitu dengan mempertemukan ketiga poin tersebut dalam diri kita.

Ada 3 sosok di balik syariat Qurban :

1.   Nabi Ibrahim

Nabi yang mempunyai perjuangan merintis kota Mekah ini adalah sosok yang memiliki ketundukan tanpa batas kepada Allah swt. Pada saat beliau diminta mengorbankan putranya yaitu Nabi Ismail, beliau memilih tunduk. Tunduk seutuhnya tanpa batas. Harapannya kita bisa lebih dari itu. Kita sekarang dipermudah dengan diperintahkan berqurban berupa hewan sapi,kambing/domba. Namun, ketika kita diminta berqurban, “Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berqurbanlah. ” (QS. Al-Kautsar: 2), kita masih mikir-mikir dulu. Kalau kita berqurban dengan mencari kambing yang harganya paling murah, padahal kita mampu beli yang lebih baik kualitasnya, berarti ketundukan kita belum utuh.

2.   Nabi Ismail

Sosok yang  rela melepaskan segala apa yang disenanginya demi kebaikan yang lain. Nyawanya  rela dilepas demi kebaikan Bapaknya. Agar Bapaknya bisa melaksanakan perintah Allah. Kalau seumpama Ismail menolak dan mengatakan begini terhadap mimpi ayahnya “Bapak salah lihat kali. Kan Bapak sudah tua, harusnya aku yang menyembelih Bapak bukan aku yang disembelih”, maka ini akan membuat Nabi Ibrahim tidak bisa menjalankan perintah Allah sehingga ketundukan Nabi Ibrahim tidak sempurna, dan tentunya tidak akan ada hari qurban pada zaman sekarang. Tapi Ismail adalah anak yang sholeh dan berbakti. Ia berusaha agar orang lain bisa menjadi lebih baik meski mengorbankan sesuatu yang sangat dicintainya (nyawanya).

Sebenarnya siapa yang paling berperan dalam menjalankan perintah Allah ini? Jawabnya adalah Ismail. Karena ia bersedia dikorbankan demi melaksanakan apa yang diperintahkan Allah swt kepada Bapaknya, padahal resikonya sangat besar, yaitu ia harus rela kehilangan nyawanya. Anak yang baik adalah anak yang bisa menjadi jalan ke surga bagi ayah dan ibunya. Istri yang baik adalah istri yang bisa menjadi jalan ke surga bagi suaminya, begitu pula sebaliknya. Artinya orang yang baik adalah orang yang bisa menjadi sarana bagi orang lain menuju kebaikan/surga.

Studi kasus : ada teman yang mau mengajar ngaji anak-anak jalanan. Tapi dia sedang tidak  ada kendaraan. Kebetulan bertemu dengan kita yang mau berangkat ujian. Kita tahu kondisinya. Tidak ada yang bisa mengantarkannya. Apa yang kita lakukan? Kita antarkan dia ke tempat ia mengajar. Bismillaah, semoga ini menjadi jalan kebaikan bagi orang lain, ya Allah. Nah, karena kita mengantar teman kita dulu, otomatis kita telat datang ke ujian. Tapi tanpa ada keluh kesah, kita kerjakan ujian dengan sebaik mungkin sesuai kemampuan kita. Kekhawatiran akan takdir jelek itu tidak akan terjadi kalau kita yakin akan pertolongan Allah. Ujian tadi saya kerjakan dengan1/2 nya hanya spekulasi (perkiraan) saya. Saya pasrahkan pada Allah apa pun hasilnya. Tiba-tiba pas diumumkan,”Eh kok dapet A?. Subhanallaah, Allah yang memegang kuasa atas segalanya”.

(Dalam kisah Nabi Ibrahim dan Ismail ini, pada akhirnya ketika Nabi Ismail akan disembelih, Nabi Ismail kemudian digantikan dengan kambing atas kehendak Allah swt).

3.   Ibunda Siti Hajar

Beliau adalah contoh sosok yang berkorban tanpa pamrih. Ketika beliau baru saja melahirkan Ismail, beliau dan Ismail yang masih merah dibawa Nabi Ibrahim dari Palestina jalan ke selatan sampai pada sebuah lembah tandus (yang sekarang menjadi kota Mekah). Bayangkan seorang ibu dengan membawa bayinya yang baru saja lahir jalan kaki ke sebuah lahan tandus. Jauh dan panas. Kemudian suaminya (Nabi Ibrahim) langsung pergi meninggalkan beliau dan Ismail begitu saja tanpa sepatah kata pun.

“Ya Allah, sudah kutempatkan istri dan anakku di lembah tandus di dekat rumah-Mu ini”, lalu Ibrahim pergi. Kemudian Siti Hajar bertanya pada Ibrahim, “Hendak kemana engkau Ibrahim?”. Namun Ibrahim tidak menjawab. Lalu Siti Hajar bertanya lagi, “Hendak kemana engkau Ibrahim?” Namun Nabi Ibrahim tak kunjung menjawab. Lalu sampai pada ketiga kalinya Siti Hajar bertanya, Nabi Ibrahim tetap diam dan tidak mau menjawab. Siti Hajar kemudian berpikir, “Mungkin saya salah bertanya. Itu pertanyaan yang berat untuk dijawab”. Sepertinya suamiku mau pergi ke Palestina menemui istrinya yang lain (Sarah). Bayangkan, bagaimana perasaan seorang istri yang ditinggal suaminya untuk menemui istrinya yang lain?

Kembali ke cerita, Siti Hajar lalu bertanya lagi “Suamiku, apakah engkau   meninggalkan kami ini karena perintah Allah?”.

Akhirnya Nabi Ibrahim menjawab juga, “Ya, istriku, ini perintah Allah”.

Siti Hajar berkata ”Kalau betul-betul demikian, pergilah engkau karena kami yakin Allah tidak akan menyia-nyiakan kami, selama-lamanya.” (kami= beliau dan Ismail). Beliau benar-benar lepas dari pamrih duniawi. Dan keyakinan beliau terbukti. Setiap orang muslim yang ke tanah suci, pasti akan ingat dengan ketiganya.

Contoh kasus :

“Ngapain sih kamu belajar?”

“Saya butuh ilmu ini, karena ilmu ini akan sangat bermanfaat bagi orang lain. Nilai itu akibat, ijazah juga akibat”. Inilah salah satu contoh tidak mengharap pamrih dunia. Namun yakin Allah akan berikan yang terbaik bagi kita. Niat karena Allah. Allah memerintahkan saya untuk melakukan ini. Untuk sampai pada Allah itu kadang butuh sarana-sarana yang goal (tujuan) akhirnya adalah lillahita’ala (karena Allah).

“Kenapa kamu cari uang?”

“Karena Allah memerintahkan saya untuk bekerja. “…Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu,..(QS. At-Taubah: 105)”. Masalah dapat uang itu adalah akibat. Jika mendapat uang, berarti itu rezeki dari Allah swt. Allah memerintahkan sesuatu pasti ada kebaikan untuk kita.

“Kenapa berdagang?”

“Karena Allah dan Rasul-Nya menyuruh kita berdagang, menjemput rezeki. ”Hendaklah kamu berdagang, karena di dalamnya terdapat 90 % pintu rezeki (H.R.Ahmad).

Sebenarnya fokusannya pada amal berdagangnya bukan pada hasil dagangnya. Ia berdagang, itu menjadi amal tersendiri. Sudah menjadi amal kebaikan.

Capek-capek belajar dapet nilai B. Dapetnya ya cuman capek. Kalau saya belajar karena Allah, memahami ilmu, kok dapet nilai D, ya biasa saja. Berarti saya harus lebih bersungguh-sungguh dalam belajar. Nilai D itu peringatan bagi saya.

“Mengajar, niatnya apa?” Kalau niatnya cari uang, maka ia tidak mendapatkan pahala. “Ya sudah, saya mengajar ya mengajar. Lalu, ketika ada rezeki uang itu berarti rezeki dari Allah swt, Allah yang mengatur. Karena itu rezeki dari Allah swt maka saya terima”.

Jika ada pernyataan seperti ini, “karena mengajar, saya dapat uang”. Ini adalah pernyataan yang salah. Yang benar adalah, karena Allah yang memberikannya. Saya anggap ini sebagai hadiah dari Allah. Kalau seumpama ia mengajar dengan niat mencari uang, lalu ia sedekahkan uangnya itu, maka ia mendapat pahala sedekah dan tidak mendapat pahala mengajar. Pada intinya adalah, semua yang kita lakukan adalah karena Allah atau agar mendapat ridho dari Allah. Dan yakin bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-hamba-Nya yang bertaqwa.

Contoh kasus : Belajar bahasa Arab, agar bisa kuliah di Mesir. Niatkan karena Allah. Kalau nantinya diterima di Mesir ya Alhamdulillah. Kalaupun tidak diterima ya tidak mengapa. Segala apapun niatkanlah karena Allah, kalaupun ada akibat dari niat itu, syukurilah, apapun itu, agar nantinya bisa memunculkan kebaikan-kebaikan yang lain. “Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS Ibrahim : 7)

Adek-adek yang dirahmati Allah, hati yang dipenuhi nilai-nilai akhirat tidak akan disia-siakan oleh Allah swt. Allah telah berfirman dalam QS. Adz-Dzariyat ayat 56 “Sesungguhnya tidak Kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. Segala yang kita lakukan jika kita melakukannya karena Allah, maka itu akan menjadi nilai akhirat untuk kita. Ya Allah, jadikanlah hati-hati kami senantiasa dipenuhi dengan nilai-nilai akhirat. Aamiin.

Momentum Idul Adha bisa menjadikan kita bisa lebih baik seperti Nabi Ibrahim yang tunduk tanpa batas kepada Allah swt, Ismail yang rela mengorbankan diri untuk ketundukan Ibrahim, dan seikhlas Ibunda Siti Hajar yang tidak pamrih dunia. Semoga kita bisa mengaplikasikan kemuliaan-kemuliaan beliau (Nabi Ibrahim, Nabi Ismail dan Ibunda Siti Hajar) dalam hidup kita.

(Ditulis oleh Yuni Zunie Oce)

(Diambil dari Kelas dan Kajian Darush Sholihat oleh Ustadz Syatori Abdurrouf (Ketua Ikatan Da’I Sleman)

One thought on “Sebuah Pengantar Menuju Hikmah Idul Adha

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.