Pada ayat ke 5, Allah berfirman, “Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik.” Kita semua mengetahui bahwa kehidupan manusia tidak lepas dari salah satu dari dua keadaan, yaitu ketika manusia diberi nikmat serta diberikan hal-hal yang menyenangkan oleh Allah subhanallahuwata’ala, maka manusia memiliki kewajiban untuk bersyukur. Atau ketika manusia diberi ujian dan cobaan, maka manusia memiliki kewajiban untuk bersabar. Tidak ada kehidupan manusia yang lepas dari salah satu dari dua keadaan ini. Karena kedua keadaan ini terus silih berganti. Tidak ada di dunia ini manusia yang hidupnya selalu mendapatkan hal-hal yang tidak menyenangkan seumur hidup dan tidak pernah mendapat kenikmatan serta kebahagiaan. Begitupun sebaliknya, tidak ada manusia yang mendapatkan kenikmatan dalam hidupnya tanpa ada hal-hal yang tidak menyenangkan. Pilihannya hanya salah satu dari dua keadaan tersebut.
Oleh karena itu, kita perlu memahami bahwa pembahasan tentang sabar tidak terlepas dari salah satu dari dua keadaan tersebut, sedangkan pembahasan tentang syukur memiliki pembahasan tersendiri. Pembahasan kali ini akan lebih mendalam mengenai sabar. Di dalam Al-Quran, Allah subhanallahuwata’ala menjelaskan lebih dari 94 bahasan tentang sabar dengan berbagai bentuknya, seperti dalam bentuk kata kerja, baik kata kerja bentuk lampau maupun kata perintah, dan juga dalam bentuk kata benda. Hal ini menunjukkan bahwa sabar memiliki hubungan yang erat dengan berbagai kegiatan manusia. Bahkan dalam beberapa ayat, Allah subhanallahuwata’ala mengatakan bahwa akan mengangkat derajat orang menjadi imam ketika mereka bisa bersabar.
Dalam QS. As-Sajdah: 24, juga dijelaskan bahwa untuk menjadi imam diperlukan kesabaran. Kemudian dalam QS. Al-A’raf: 137 dijelaskan bahwa Allah subhanallahuwata’ala menetapkan kalimatnya yang husna ( yang paling baik) bagi mereka Bani Israil yang bersabar. Dalam QS. An-Nahl: 96, dijelaskan pula bahwa Allah subhanallahuwata’ala akan memberikan balasan atau pahala dengan yang lebih baik untuk manusia yang bersabar atas sesuatu yang telah mereka kerjakan. Artinya di sini bukanlah balasan yang sama, tetapi balasan yang lebih baik. Dalam QS. Az-Zumar: 10, dijelaskan tentang seberapa banyak balasan yang lebih baik itu diberikan oleh Allah subhanallahuwata’ala. Dalam QS. Al-Baqarah: 157, juga dijelaskan tentang orang-orang yang bersabar, yaitu mereka yang akan mendapatkan shalawat dan rahmat dari Rabb mereka, Allah subhanallahuwata’ala. Salah satu hadist tentang sabar berbunyi, “Tidak ada seorang pun yang diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (Hadist shahih Bukhari). Jadi jika seseorang diberi akhlak kesabaran, maka hal tersebut merupakan karunia Allah subhanallahuwata’ala yang sangat besar dan tidak semua orang diberi kesabaran. Imam Hasan Al-Bashri, beliau mengatakan bahwa sabar merupakan perbendaharaan kebaikan dari Allah subhanallahuwata’ala. Allah subhanallahuwata’ala tidak memberikan kesabaran kepada orang yang tidak mulia di sisiNya. Hal ini menunjukkan bahwa kesabaran diberikan kepada orang yang mulia di sisi Allah subhanallahuwata’ala.
Secara garis besar, sabar dapat dibagi menjadi 2 jenis, yakni:
Pertama, sabar dengan badan. Misalnya badan sabar untuk menahan rasa berat ketika menjalankan shalat tharawih yang di dalamnya dibacakan surat-surat yang panjang. Bentuk kesabaran ini adalah bentuk kesabaran fisik yakni menahan rasa berat.
Kedua, sabar yang dilakukan dengan jiwa, atau dengan hati. Kesabaran ini bentuknya banyak, misalnya kesabaran menahan dari keinginan-keinginan hawa nafsu, sabar dalam mengendalikan syahwat perut ataupun syahwat kemaluan. Hanya saja dalam perkembangannya, penamaan-penamaannya dapat berbeda-beda. Ada sabar dalam menghindari rasa marah, ada sabar dalam mengendalikan hawa nafsu, dan ada pula sabar ketika ditimpa suatu musibah atau cobaan dengan tidak berkeluh kesah.
Kemudian, menurut hukumnya, ada 5 bentuk kesabaran yaitu, sabar yang wajib dilaksanakan, sabar yang disunnahkan, sabar yang makruh, sabar yang mubah, dan sabar yang haram jika dilaksanakan. Salah satunya adalah contoh sabar yang wajib, yaitu sabar dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah subhanallahuwata’ala. Lebih lanjut sabar yang diwajibkan itu dibagi menjadi 3 bagian yakni, sabar dalam menjalani ketaatan, sabar dalam menjauhi kemaksiatan dan sabar ketika ditimpa musibah.
Pertama, kesabaran dalam menjalani ketaatan. Sabar dalam menjalani ketaatan ini dibagi menjadi 3 bagian, dilihat dari waktunya, kapan sabar itu dilakukan, yaitu sabar sebelum melakukan amal, sabar ketika beramal dan sabar setelah melakukan amal. Sabar sebelum melakukan amal dilakukan dengan cara meluruskan niat, ikhlas karena Allah subhanallahuwata’ala. Kedua, sabar saat melakukan amal yaitu sabar melakukan amal tersebut hanya karena Allah subhanallahuwata’ala dan juga tidak bermalas-malasan dalam melakukan amal tersebut. Lalu yang ketiga, sabar untuk tidak memberitahukan amal yang telah dikerjakan kepada orang lain, hal ini untuk menghindari rasa riya’ dan sum’ah ataupun hal-hal yang bisa membatalkan amalnya. Ketiga sabar ini masuk dalam kategori sabar dalam menjalani ketaatan. Sabar dalam ketaatan itu sendiri merupakan bagian dari sabar yang diwajibkan.
Kemudian yang kedua, sabar dalam menjauhi kemaksiatan. Bentuk contoh sabar dalam menjauhi kemaksiatan adalah sabar untuk tidak ghibah,sabar untuk tidak berdusta,dan sabar untuk tidak menyakiti orang lain.
Terakhir yang ketiga, sabar ketika ditimpa musibah. Dalam hal ini, sabar ketika ditimpa musibah bukanlah merupakan suatu pilihan seperti sabar dalam menjalani ketaatan dan sabar dalam menjauhi kemaksiatan. Jadi ketika ditimpa musibah, manusia pilihannya memang harus bersabar, tidak ada pilihan yang lain. Dalam hadist shahih Bukhari, Rasullullah sallallahu’alaihi wasssalam bersabda, “Siapa yang Allah kehendaki ia menjadi baik, maka Allah subhanallahuwata’ala memberikan musibah kepadanya.” Dimana musibah itu bertingkat-tingkat dan salah satu fungsi musibah adalah menghapus dosa-dosa yang telah lalu, sehingga saat bertemu dengan Allah subhanallahuwata’ala sudah dalam keadaan suci. Selain itu musibah juga berfungsi untuk mengangkat derajat manusia yang sabar dalam menghadapinya.
Semua ulama sepakat bahwa sabar itu bertingkat-tingkat. Kita boleh mengatakan manusia ada yang agak sabar, sabar ataupun sabar sekali. Allah subhanallahuwata’ala berfirman dalam QS. Al-Imran: 186, “Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah , gangguan yang banyak yang menyakitkan hati.Jika kamu bersabar dan bertakwa,maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.”
Kemudian Allah subhanallahuwata’ala juga berfirman dalam QS. Al-Hijr: 97, “Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan.” Kedua ayat ini menujukkan bahwa diperlukan proses usaha yang panjang untuk memperoleh kesabaran yang bertingkat-tingkat.
Adapun adab-adab dalam kesabaran adalah:
Pertama, saat kita ditimpa musibah maka kita bersabar.
Kedua, ketika kita ditimpa musibah,kita hendaknya mengucapkan kalimat istirja’.
Ketiga, ketika kita ditimpa musibah ataupun sesuatu yang tidak menyenangkan kita harus bersikap tenang, baik dalam fisik maupun lisan, tidak memukul-mukul tubuh ataupun merobek-robek pakaian. Terkait menangis, hal ini diperbolehkan. Sebab Rasulullah sallallahu’alaihi wassalam, pernah menangis saat kematian saudaranya.
Keempat, berusaha untuk tidak menampakan bahwa kita tengah dirudung musibah.
Kelima, berusaha untuk tidak mengeluhkan musibahnya kepada orang lain, Sebab kita harus berusaha menahan diri untuk tidak menceritakan musibah kita kepada orang lain. Namun ketika kita ditanya mengenai musibah yang menimpa kita, maka kita diperbolehkan untuk menjawabnya. Wallahu’alam bisawab
Pertanyaan Kajian
Apakah sabar itu ada batasnya? bisa dikatakan demikian terkait dengan kemampuan masing-masing?
Jawab :
Kalau kita memahami jenis-jenis kesabaran yang telah dijelaskan di atas, maka istilah seperti pertanyaan di atas bahwa sabar itu ada batasnya, berati sabar itu terkait dengan batas kemampuan masing-masing. Namun apabila kita hanya memahami sabar dengan beberapa jenisnya tadi, tidak mendetail, berarti kita hanya memahami definisi sabar, belum memahami batasan sabar itu sendiri.
Sumber: Kajian Minggu Pagi Masjid Kampus UGM