Etika Profetik Lingkungan dalam Khazanah Intelektual Muslim

Oleh: Rini Jayanti

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat  Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raaf : 56)

Dunia sedang mengalami keprihatinan mendalam sehingga berada dalam krisis yang kompleks. Krisis tersebut menyangkut hajat hidup orang banyak di muka bumi ini tanpa terkecuali melampaui batas negara, ideologi, sosial, ekonomi, budaya dan agama. Krisis tersebut adalah Krisis Lingkungan. Krisis tersebut tanpa disadari semakin meluas sedangkan manusia lambat laun melupakan tanggungjawab keilahiannya akan hakikat dirinya sebagai khalifatullah al-ardi. Alam semesta hanya menjadi budak hawa nafsu manusia demi pemenuhan keserakahan diri dan kekuasaan.

Berkenaan dengan keadaan tersebut, maka umat muslim perlu melakukan rekonstruksi ulang akan pemikirannya mengenai studi etika ekologi islam yang menjadi bahan untuk membimbing moral melestarikan alam, karena alam dan manusia adalah sebuah kesatuan. Manusia tidak hanya dianggap sebagai bagian integral dari alam melainkan menempati posisi yang mempertanggungjawabkannya kelak pada hari akhir. Pola hubungan manusia merupakan suatu subyek terbesar di muka bumi yang disertai kesadaran akan eksistensinya, terkhusus berkaitan dengan alam. Salah satu caranya yakni dengan melakukan internalisasi nilai-nilai normativitas islam. Berikut ini berbagai pandangan etika menurut para intelektual muslim, di antaranya:

Pelajaran bagi kita semua tentang bagaimana Rasulullah SAW sangat peduli terhadap pelestarian Lingkungan Nabi mengajak para sahabat untuk menghidupkan tanah-tanah yang tidak produktif (ihya al mawat). Tanah di atas oleh Nabi Muhammad dan para sahabat ditanami dengan pohon-pohon dan tanaman yang dapat bermanfaat untuk penduduk muslim. Menanam pohon tersebut di maksud Rasulullah bukan hanya untuk generasi saat itu tapi memang sebagai kepedulian nabi untuk generasi di masa depan, sebagaimana hadits “Barang siapa yang menghidupkan lahan mati, baginya pahala. Dan semua yang dimakan burung dan binatang menjadi sedekah baginya.” (HR An-Nasai, Ibnu Hibban dan Ahmad).

Menurut Syed Hossein Nasr yang terkenal dengan gagasannya tentang a sacred science atau sains sakral, mengungkapkan bahwa berdasarkan pengetahuan profetis islam, islam menganjurkan penganutnya untuk tidak menaklukkan alam, dalam arti mengeksplorasi sumber daya alam secara brutal. Manusia dapat memanfaatkan sumber daya alam sesuai dengan perintah Allah. Serta ambisi ingin menguasai alam hanya akan berujung pada krisis lingkungan.

Selanjutnya menurut Ziauddin Sardar, salah satu ekolog islam, menyebutkan bahwa ada beberapa pemecah permasalahan mengenai lingkungan yakni, Bersandar pada prinsip syariat yang berpijak pada tauhid. Dengan tauhid mampu melahirkan khalifah (manusia) yang amanah. manusia diberikan otoritas untuk memanfaatkan sumber daya alam, menurut Sardar manusia juga harus mematuhi aturan syariat, misalnya Konsep halal dan haram. Dalam hal ini, apabila pemanfaatan terhadap sumber daya alam akan membawa kepada kemaslahatan dan kesejahteraan diperbolehkan (halal). Namun sebaiknya, jika pemanfaatan terhadap sumber daya alam akan menimbulkan dampak negatif atau merugikan masyarakat maka tindakan ini dilarang (haram). Artinya, bisa dipahami bahwa manusia tidak diperbolehkan untuk mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.

Kemudian Sardar juga menawarkan natural teleology sebagai pemecah masalah, yakni menghendaki tindakan dalam merawat alam melalui penerapan syariat secara menyeluruh pada setiap muslim. Natural teleology merupakan gagasan yang mengharuskan manusia untuk menempatkan alam sebagai prioritas tertinggi dalam kehidupan. pada posisi ini, alam menempati posisi yang paling tinggi di banding dengan materi lain. Sebab, alam tidak hanya sebatas materi kosong yang menjadi sebagai produsen kebutuhan manusia dan seluruh makhluk hidup, melainkan juga alam memiliki nilai-nilai teologis, sebagai ayat (tanda) kebesaran Tuhan dan sarana untuk mendekatkan diri pada Tuhan.

Lalu ada Quraish Shihab yang berpandangan, bahwa manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi dikehendaki dapat menjalin hubungan baik dengan alam dan juga sesamanya, bukan dalam pola hubungan antara penakluk dan yang ditaklukkan atau antara tuan dan hamba, namun hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah. Mengingat kemampuan manusia dalam mengelola alam bukan sebagai akibat dari kekuatan yang mereka miliki, namun bentuk dari anugerah Allah terhadap manusia. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan juga alam, secara harmonis sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ilahi yang tertera dalam wahyu-wahyu-Nya. Namun tentu dibutuhkan kreativitas manusia dalam memahami wahyu yang diarahkan sesuai dengan perkembangan dan situasi lingkungan yang ada. Bagi Shihab, prinsip pokok landasan interaksi antara manusia dengan lingkungannya, yaitu menjaga keharmonisan hubungan yang prinsipnya menjadi tujuan semua nilai etis atau pun agama.

Menurut Musthafa Abu Sway, ketika menegaskan bahwa tugas manusia sebagai khalifah tidak akan bermakna apa-apa bila manusia tidak mampu melaksanakan tugas-tugasnya dalam mengelola lingkungan dan mengkonservasi lingkungan.

Menurut Cak Nur fungsi manusia sebagai khalifah Allah itu memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih sendiri tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan hidupnya di atas bumi, sekaligus memberikan pembenaran bagi adanya tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatan itu di hadapan Tuhan. Akan tetapi, apa yang terjadi sekarang adalah bahwa umat Islam kehilangan kreativitas dalam hidup duniawi ini, sehingga memberikan kesan seolah-olah mereka telah memilih untuk diam dan tidak berbuat apa-apa. Dengan kata lain, mereka telah kehilangan semangat ijtihad.

Pandangan para intelektual Islam di atas hanya sebagian kecil dari suara kepedulian kaum Muslim terhadap lingkungan, walaupun demikian pandangan- pandangan tersebut dapat memperlihatkan kesadaran terhadap fenomena kemodernan dewasa ini, bahwa manusia modern kini telah mengalami krisis lingkungan sebagai akibat dari hilangnya nilai-nilai luhur transenden yang dapat mengerem gerak laju keserakahan manusia terhadap sumber daya alam. Untuk itu, upaya yang efektif dalam mengatasi krisis lingkungan dan juga menggiatkan kembali konservasi lingkungan adalah dengan membangun nilai-nilai etika lingkungan berbasiskan agama atau tepatnya etika lingkungan berbasis normativitas Islam.

 

 

Daftar Pustaka

Arifullah, Mohd. 2011. “Eco Ethics Spiritual: Membangun Relasi Antara Manusia dan Lingkungan Berbasis Normativitas Islam,” Tajdid: Khazanah dan kajian keislaman progresif, Vol x. No. 2.

Assya’bani, Ridhatullah. 2017. “Eko Futurologi: Pemikiran Ziauddin Sardar” Dialogia, 15, No. 2.

Sarvestani, Shavali. 2008. “Environmental Ethics: Toward and Islamic Perspective” American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci., 3 (4): 609-617.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.