RILIS
Tragedi Penembakan di Christchurch
Oleh:
JAMA’AH SHALAHUDDIN
“Seorang mukmin terhadap mukmin (lainnya) bagaikan satu bangunan, satu sama lain saling menguatkan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Kronologi Singkat
Setiap muslim laksana satu tubuh, luka pada suatu bagian akan dirasakan oleh yang lainnya. Telah terjadi tragedi kelam yang dideklarasikan sebagai kejadian luar biasa oleh Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Adern. Penembakan brutal di dua masjid di Kota Christchurch, Masjid An Noor dan Masjid Linwood, terjadi pada siang hari Jumat (15/3). Penembakan terjadi sekitar pukul 13:40 waktu setempat, dimana umat muslim berkumpul pasca pelaksanaan ibadah shalat Jum’at. Dalam insiden tersebut dikabarkan bahwa 49 korban tewas dan terdapat dua WNI yang terkena tembakan.
Sisi Lain Tragedi
Tragedi ini selain menyebabkan gelombang kesedihan dan simpati, juga memantik kembali pembicaraan mengenai terorisme di sekitar kita, meskipun sebenarnya tidak pernah benar-benar hilang. Teror, teroris, dan terorisme menjadi kata yang cukup sering digaungkan pasca tragedi ini. Padahal seharusnya masalah terorisme ini sudah dapat diatasi, setidaknya dikurangi dengan tindakan preventif. Namun apa daya, label Islam sebagai agama teroris sudah terlalu melekat di publik, sehingga bukan tidak mungkin tragedi Christchurch ini adalah kelalaian dari pihak setempat karena selalu mengidentikkan teroris dengan nuansa yang berbau islam, sehingga lupa menempatkan Masjid sebagai lokasi yang juga berpotensi diserang teror. Keyakinan publik tentang Islam sebagai teroris yang mengakar kuat diuji dengan fakta bahwa pelaku dari tindak kriminal ini bukanlah seorang muslim. Meskipun begitu, sikap islamophobia tetap saja muncul. Korban meninggal dan jamaah lainnya yang menyaksikan tragedi ini justru menjadi pihak yang disalahkan dan mirisnya, dengan seruan islamophobia seorang anggota Senat di Australia.[i] Kalau saja islamophobia mereka tidak separah ini, bisa saja mereka mengambil hikmah dari sejarah Rasulullah SAW dan Piagam Madinah. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban seluruh pihak dijamin dan tidak ada eksklusi, seperti yang mereka lakukan pada komunitas muslim saat ini, kepada pihak manapun.
Diketahui bahwasanya pelaku merupakan pihak yang berasal dari golongan sayap kanan (neo-nazi) dan pelaku pun terinspirasi secara ideologis untuk melakukan tindakan teror tersebut.[ii] Tindakannya dapat didefinisikan sebagai tindakan terorisme mengingat pelaku merencanakan tindakannya, menjadikan warga sipil sebagai target, menyerang ruang publik, dan ditujukan untuk menyebarkan ketakutan selayaknya menayangkan tindakannya secara langsung di media sosial. Mengingat tragedi berikut ini dilakukan oleh pelaku dari golongan neo-nazi, Pemerintah Selandia Baru yang mana selama beberapa dekade terakhir memiliki fokus persepsi keamanan bahwasannya pelaku teror berasal dari kalangan muslim yang terindoktrinasi radikalisme selayaknya komplotan ISIS, pengajian Masjid radikal, dan individu maupun kelompok yang terus mengadvokasikan tindakan terorisme sehingga dapat disimpulkan bahwasanya persepsi keamanan Pemerintah Selandia baru hanya melihat golongan muslim lah yang berpotensi menjadi pelaku terorisme.[iii] Alhasil, fokus persepsi tersebut mendorong terabaikannya golongan neo-nazi sebagai bagian dari golongan yang berpotensi menjadi pelaku teroris padahal golongan tersebut seringkali melakukan berbagai tindakan kekerasan yang diasosiasikan secara langsung terhadap ideologinya seperti halnya pada tragedi kerusuhan di Charlottesville, Amerika Serikat (AS).[iv]
Hal tersebut pun berlanjut pada kegagalan Pemerintah Selandia Baru dalam kasus ini yang mana dikarenakan dengan tidak menjadikan neo-nazi sebagai golongan yang berpotensi meneror sehingga tidak mengerahkan tenaga intelijen untuk bisa mencegah kasus ini bisa terjadi.[v] Akan tetapi, kegagalan Pemerintah Selandia Baru tidak bisa dipungkiri dikarenakan tragedi Christchurch merupakan tragedi pertama yang melibatkan neo-nazi. Pada tahun-tahun sebelumnya, tindakan teror neo-nazi di negara-negara barat tidak menimbulkan kerusakan ataupun signifikansi teror selayaknya pada tragedi Christchurch, sehingga tidak menarik perhatian para pembuat kebijakan yang berkaitan dengan keamanan, dan berbagai rangkaian aksi teror muslim radikal di negara-negara tetangga Selandia Baru (Australia dan Indonesia) yang tentunya mengalihkan persepsi keamanan anti-teror Pemerintah Selandia Baru.
Identitas dan pandangan pelaku terhadap golongan tertentu (sebagai orang sayap kanan) merupakan faktor yang melatarbelakangi tindakan keji ini. Namun, fakta bahwa dirinya merekam sendiri perilakunya justru lebih mengerikan. Kebencian yang berakhir pada pembantaian ini dipicu oleh seruan kebencian yang beredar di jagad maya dan kepada jagad maya pula kejahatan ini dilakukannya. Apabila merekam penembakan saja sudah cukup buruk, maka pelaku ini jauh lebih buruk karena menyiaran langsung di media sosial Facebook. Sebelum akhirnya Facebook menyadari peristiwa ini, rekaman ini sudah dilihat oleh ribuan orang yang akhirnya meneruskannya ke teman-temannya di sosial media lain, termasuk twitter.[vi] Daya kejut dari rekaman ini sangat kuat, dimulai dengan perspektif orang pertama selayaknya tentara yang sedang memegang senjata dalam video game, penonton tiba-tiba disajikan penglihatan membunuh acak dari perspektif orang pertama.
Perspektif orang pertama atau shooter dalam video ini bukan tidak mungkin terinspirasi video game peperangan yang tidak sulit ditemui sebagai permainan sehari-hari orang-orang di sekitar kita, bahkan anak-anak. Meskipun tidak berdampak langsung, paparan terhadap cara membunuh, bahkan merencanakan pembunuhan, dapat mengarah sebagai jalan keluar bagi kebencian yang membuncah dalam diri, termasuk dalam pelaku penembakan ini. Selain mencegah diri menjadi agen penyebar kebencian, hendaknya kita juga tetap menumbuhkan hubungan sosial yang erat dengan sanak saudara dan teman-teman yang memainkan permainan serupa. Hal tersebut dapat menjadi sebuah tameng diri para pemain dari anggapan bahwa virtual reality yang dilihatnya di permainan merupakan realitas yang nyata.
Reaksi Masyarakat
Rose Mini, psikolog anak dari Universitas Indonesia menyebutkan bahwa semua orang memiliki sifat ingin menjadi yang pertama mengetahui.[vii] Itulah yang menyebabkan orang menyebarkan informasi yang baru mereka dapatkan ke orang lain, tak terkecuali video kekerasan. Sayangnya, yang penyebaran video tragedi ini justru lebih menunjukan sikap kesensasionalan dibanding untuk saling mengingatkan, sebuah sikap yang seharusnya dilakukan oleh setiap muslim. Dalam menyikapi beredarnya rekaman tragedi ini, sebagai pembaca yang bijak, seharusnya tidak menyebarkan video kekerasan lebih lanjut. Penyebarluasan dapat memantik kembali trauma yang dialami para saksi mata. Selain itu, penyebarluasan tanpa persetujuan dapat melanggar privasi korban dan keluarga.
Pemerintah Indonesia sendiri telah mengatur ini dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam pasal 45 ayat 1 yang menegaskan, “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Sehingga, tidak seharusnya keinginan kita untuk terlibat dalam sensasi dunia maya justru membuat kita memantik trauma para jamaah yang hadir saat tragedi, melukai privasi keluarga dan korban, serta secara legal melanggar hukum. Pemberitaan tidak hanya datang dengan bentuk video, kita tetap bisa memberitakan apa yang terjadi melalui lisan dan tulisan, sehingga keprihatinan terhadap tragedi kemanusiaan yang menimpa sesama saudara muslim tidak cepat surut.
Perlu diingat bahwa selain korban, juga terdapat banyak saksi mata yang merasa trauma akan tragedi Christchurch yang terjadi pada siang itu. Beberapa dari mereka lari dari tempat penembakan dan menyelamatkan diri lewat celah mana pun yang mereka bisa. Salah satu saksi mata dalam masjid itu mengatakan bahwa teroris akan terus menembak jama’ah yang dianggapnya masih hidup.[viii] Hal yang lebih penting bagi kita saat ini adalah bagaimana kita bisa merehabilitasi dan mengembalikan dampak yang dialami saksi mata pembunuhan ini. Menurut ilmu psikologi, dampak saksi mata dapat menyebabkan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). PTSD adalah kegagalan penyembuhan traumatis akibat pengalaman yang mengerikan yang seseorang alami. Begitu besar dampak efek ini sebab seseorang yang bahkan profesional yang menjalankan tugas ini sebagai pekerjaannya pun masih dapat terkena PTSD (MacNair, 2002). PTSD ini tidak terbatas pada orang yang melihat langsung, video vulgar mengenai kekerasan juga dapat menjadi pemantik bagi orang-orang yang secara tiba-tiba terekspos video semacamnya.
Tragedi yang menimpa jamaah shalat Jumat di kedua masjid ini dapat menjadi kesempatan kita untuk menyerahkan diri kepada Allah SWT tanpa menafikkan musibah yang terjadi pada mereka. Adapun respon ideal bagi muslim dalam menghadapi musibah adalah dengan cara yang syari’ah, selayaknya yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dengan mengucapkan setidak-tidaknya “Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’un.” untuk menunjukkan ketundukkan diri atas takdir Allah SWT, atau lengkapnya
“Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’un. Alhamdulillahilladzi ‘aafaani mimmab talaaka bihi, wa faddhalanii ‘ala katsiirim mimman khalaqa tafdhilaa”
Artinya : “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan aku dari musibah yang menimpamu dan benar-benar memuliakanku dari makhluk lainnya”
(HR. Tirmidzi, no. 3431).
Begitu pula apabila musibah menimpa diri kita, hendaklah secara lengkap mengucapkan “Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’un. Allahumma’jurnii fii mushibatii wa akhlif lii khoiron minhaa” yang artinya “Sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah yang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik” (HR. Muslim no. 918). Tuhfatul Ahwadzi (9: 375), Syaikh Muhammad ‘Abdurrahman Al-Mubarakfuri berkata bahwa maksud dari melihat yang lain yang tertimpa musibah, yaitu musibah yang menimpa badan seperti lepra, cebol (terlalu pendek), jangkung (terlalu tinggi), buta, pincang, tangan bengkok, dan semacamnya. Juga yang dimaksud adalah musibah yang menimpa agama seseorang, seperti kefasikan, kezaliman, terjerumus dalam bid’ah, kafir dan selainnya.
Kita juga dapat mengingat kematian dengan mengambil hikmah dari kematian saudara muslim kita dalam tragedi ini tanpa sedikitpun meremehkan apa yang terjadi kepada mereka. Rasa sedih sudah pasti dirasakan, namun ketika kita melihat kembali apa yang terjadi pada almarhum saudara kita, tidak ada salahnya untuk merasa iri terhadap bagaimana Allah SWT mengangkat nyawa mereka. Saudara kita telah meninggal dalam waktu yang mulia, pada hari Jum’at yang diidam-idamkan karena janji Allah SWT dalam hadits “Tidaklah seorang muslim meninggal pada hari Jumat atau malam Jumat, melainkan Allah akan menjaganya dari fitnah (siksa) kubur.” (HR. Ahmad, 10:87 dan Tirmidzi, no. 1074. Syaikh Ahmad Syakir mengatakan hadits ini dha’if). Meski tergolong hadits dla’if, namun tetap bisa dipakai, karena persoalan ini berkaitan dengan keutamaan amaliyyah (fadlail al-a’mal). Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan: “Dan merupakan ketetapan bahwa hadits dla’if, mursal, munqathi’, mu’dlal dan mauquf dapat dipakai untuk keutamaan amal menurut kesepakatan ulama’.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, Beirut, Dar al-Fikr, 1983 M, juz 2, hal. 53).
Tragedi ini kemudian bukan menjadi alasan untuk meminta kejadian serupa terjadi agar bisa meninggal di waktu yang mulia, melainkan untuk menjadi penyadaran diri bahwa maut bisa datang kapan saja dan sebaiknya kita mempersiapkannya dengan selalu melakukan hal yang mulia. Seluruh muslim berduka cita atas kejadian ini, namun kembali pada poin-poin di atas, tidak seharusnya kita menyebarkan kebencian yang tidak bisa kita pertanggung jawabkan di jagad maya. Mengecam tindakan ini perlu, membenci pelaku yang telah membunuh tanpa alasan juga sewajarnya menumbuhkan kekesalan, menuntut penegak hukum setempat untuk memberikan ganjaran yang setimpal juga perlu. Namun, kita masih punya musuh nyata di luar sana berbentuk Islamophobia dan tugas kita adalah menjadi sebaik-baiknya muslim demi mengharap ridha-Nya dan berdoa agar Allah SWT melembutkan hati mereka.
“Dengan sebab rahmat Allah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka menjauh dari sekelilingmu” [Ali Imran : 159]
Salam Hangat
Ketua Jama’ah Shalahuddin UGM
[i] Lampen, C. (2019, March 15). Australian senator blames mosque massacre on muslims. The CUT. Retrieved from https://www.thecut.com/2019/03/senator-fraser-anning-blames-mosque-massacre-on-islam.html
[ii] Spoonley, P. (2019, March 15). Christchurch mosque shootings must end New Zealand’s innocence about right-wing terrorism. The Jakarta Post. Retrieved from https://www.thejakartapost.com/academia/2019/03/15/christchurch-mosque-shootings-must-end-new-zealands-innocence-about-right-wing-terrorism.html
[iii] Institute for Economics & Peace. Global Terrorism Index 2018: Measuring the impact of terrorism, Sydney, November 2018. Available from: http://visionofhumanity.org/reports
[iv] Romero, L. (2018, August 17). Terrorism is surging in the US, fueled by right-wing ideologies. Quartz. Retrieved from https://qz.com/1355874/terrorism-is-surging-in-the-us-fueled-by-right-wing-extremists/
[v] Siracusa, J. (2019, March 15). Christchurch shootings ‘catastrophic failure of intelligence’. 9News. https://www.9news.com.au/2019/03/15/19/44/christchurch-mosque-shooting-intelligence-failure-joe-siracusa-a-current-affair
[vi] Marsh, J & Mulholland, T. (2019, March 16). How the Christchurch terrorist attack was made for social media. CNN. https://edition.cnn.com/2019/03/15/tech/christchurch-internet-radicalization-intl/index.html
[vii] Kompas.com. (2017, January 19). Foto korban kekerasan tidak unutk disebarluaskan. Kompas. Retrieved from https://nasional.kompas.com/read/2017/01/19/21513081/foto.korban.kekerasan.tidak.untuk.disebarluaskan
[viii] BBC. (2019, Maret 15). Christchurch shootings: Witnesses ‘prayed for end to bullets’. BBC. Retrieved from https://www.bbc.co.uk/news/amp/world-asia-47578410
Narahubung: Kepala Departemen Kajian Strategis
Mirza F. Taher (0813-9101-5710)
Tulisan sedikit kepanjangan, tapi salut sudah menuliskannya cukup mengalir dan membahas berbagai aspek. Meski ada satu bagian tentang permainan, kemudian virtual-reality yg asumsinya audiens akan terpengaruh lantas bingung akan realita sesungguhnya. Ini sama halnya dengan kasus smackdown dulu yg digadang jadi penyebab bocah bocah ikut ikutan “menyemek” kawannya hingga cidera bahkan meninggal.
Tapi, apa iya sih begitu? Jika kita main game, lantas otak kita terperdaya oh, hal semacam itu lumrah dan nyata terjadi di nyatanya dunia. Sepertinya penulis dalam hal ini berspekulasi terlalu jauh. Belum ada studi tentang hal ini.
Terimakasi
Release the shooting tragedy of Christchurch