“Tak ada tempat yang rasanya lebih tepat untuk berbicara mengenai literasi selain di Jogja. kota ini sarat akan kampus, bertebaran toko buku, dan melahirkan pegiat sastrawan dan seniman.” Begitulah kalimat pembuka narasumber RPL pada malam pertama bulan April tahun 2024. Pada kesempatan kali ini, Masjid Kampus UGM menghadirkan seorang jurnalis dan pendiri Narasi, Najwa Shihab, S.H., LL.M. atau yang kerap disapa sebagai Mbak Nana sebagai pengisi diskusi setelah tarawih, membawa tema “Pemuda dan Kesadaran Literasi di Era Digital”.
Mbak Nana menyebutkan bahwa menurut survey, Jogja merupakan kota yang memiliki minat literasi digital paling tinggi di seluruh Indonesia dengan indeks 3,64. Walaupun sebenarnya angka ini masih di bawah negara-negara di ASEAN. Meskipun begitu, riset kolaborasi internasional antara Departemen Teknik Mesin dan Industri dengan Deakin University Australia menganalisis kemampuan Gen Z dalam menilai hoaks.
Hasilnya, jika dilihat dari sumber informasi, masyarakat terbagi menjadi empat golongan. Golongan pertama merupakan fatalis yang percaya begitu saja informasi yang ada. Golongan kedua merupakan individualis, yakni yang punya kemampuan lebih dalam memilih informasi. Golongan selanjutnya disebut hierarki yang cenderung percaya jika berita bersumber dari pihak otoritatif seperti pemerintah atau dari pemangku kebijakan.
Golongan terakhir merupakan egaliter, yakni golongan yang percaya sesuai dengan apa yang dipercayai oleh lingkungan sekitarnya, mudah terbawa arus. Mbak Nana menyebutkan rata-rata Gen Z banyak termasuk golongan keempat. “Sedangkan jika menggunakan metode lainnya, 83 persen Gen Z tidak bisa membedakan mana yang fakta, mana yang dusta, mana yang sampah, mana yang emas,” sambungnya.
Ia mengungkapkan alasan bagaimana bisa muncul hasil tersebut adalah karena rata-rata anak muda sekarang hanya berhenti membaca sampai di judul saja dan tidak ada kemauan untuk memverifikasi suatu berita. Padalah, literasi lebih dari sekadar mengoperasikan gawai, ini juga kemampuan kita untuk bisa mengolah dan menganalisa informasi secara kritis.
Pendiri Narasi tersebut menyebutkan empat ukuran literasi digital, yakni digital skill, digital ethic yang merupakan kepekaan kita untuk bisa berperilaku sama di dunia maya maupun di dunia nyata. Kemudian digital safety yang berarti kemampuan untuk bisa melindungi keamanan data kita dan juga mengenali virus, serta digital culture. Sebuah sikap menyertakan sumber jika mengunggah postingan orang lain.
“Semua itu intinya adalah bagaimana kita menggunakan seluruh kemampuan kita dalam mengolah informasi dengan tujuan memperbaiki kualitas hidup kita sebagai manusia atau end goals kita,” ungkapnya.
Menanggapi pertanyaan mengenai literasi, Mbak Nana menyatakan tidak adil rasanya mengukur tingkat literasi Gen Milenial dengan Gen Z hanya dengan parameter pergi ke perpustakaan. Hal itu dikarenakan budaya dan zaman kini telah berubah, maka pendekatannya juga berbeda, salah satunya bisa melalui jalur digital.
Zaman berubah, maka kita juga harus ikut berubah. Jurnalis kondang itu memberitahukan rumus jurnalisme adalah membuat hal penting menjadi menarik agar orang lain juga merasa itu penting. Ia mengatakan bahwa rumus ini bisa diterapkan di mana saja termasuk jika ingin mengajak anak muda ke perpustakaan, kuncinya adalah bagaimana menghidupkan perpustakaan tidak sebatas menjadi tempat untuk meminjam buku.
Gen Z sekarang lebih menyukai bacaan yang mewakili keragaman pemikiran, sesuatu yang anti-mainstream, dan buku-buku yang menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai masalah hidup. Pilihan buku-buku pun harus menyesuaikan, karena jika kita bersikukuh menggunakan cara yang lama, maka kita tidak akan bisa maju.
Menyikapi buku bajakan, ia menjelaskan bahwa seharusnya kita bisa menjadi manusia yang menghargai kerja keras orang lain dengan tidak membeli buku-buku bajakan. Penting bagi negara untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Selain asupan perut, tetapi juga asupan akal, dan asupan hati.
Menanggapi pertanyaan bagaimana kita bisa lebih membedakan antara opini dan fakta, Mbak Nana memberikan cara dengan menganggap semua adalah opini dan kita harus bersikap skeptis. Setelah itu, bandingkan informasi yang kita dapatkan dengan mencari sumber di platform lain.
Ia juga menjawab pertanyaan salah satu jamaah mengenai bagaimana kita bisa memverifikasi lebih jauh mengenai sebuah sumber dan para ahli adalah dengan melihat rekam jejaknya. Kini, semua orang bisa kita nilai rekam jejaknya karena teknologi memungkinkan semua bisa terekam dan bisa diukur. Sayangnya, dunia sudah terpolarisasi, semuanya diukur dengan kepentingan. Karenanya kita harus gencar membaca dan kritis terhadap segala hal.
Jika kita bertanya mengenai siapa yang bertanggung jawab terhadap media atau informasi yang beredar, Mbak Nana menjawab itu adalah tanggung jawab semua orang. Media memang bertanggung jawab, tetapi kini media juga sedang berada di ujung tanduk karena semua orang ingin media berkualitas, tetapi gratis. Oleh karena itu, click bait terkadang tidak bisa dihindari. Untuk itu, audiens diharapkan bisa menekan media dengan cara kritis karena kini banyak sekali opini yang lebih dipercaya daripada fakta.
Ia juga memberikan langkah-langkah memilah informasi. Langkah pertama adalah jangan hanya membaca judul, tetapi juga membaca isinya, kemudian bandingkan informasi yang sudah didapat dengan media-media lain yang kredibel. Langkah kedua dan yang terus ditekankan pendiri Narasi tersebut adalah kita harus skeptis. Harus selalu mempertanyakan sesuatu yang terlalu dipaksakan. Langkah ketiga adalah mengantisipasi sesuatu yang terlalu indah.
Najwa Shihab juga sempat menyinggung mengenai 3 dari 10 orang merasa frustasi di dunia maya. Ia kemudian memberikan tips untuk bisa keluar dari keadaan tersebut. Gen Z merupakan generasi yang menerima tsunami informasi sejak lahir, maka tidak heran jika semua informasi itu memengaruhi penatnya pikiran dan menimbulkan kecemasan.
Menghadapinya, berkaca dari kehidupan Mbak Nana sendiri yang berasal dari keluarga berlatar belakang pendidikan, ia terbiasa diberi kesempatan untuk mengambil kesempatan sedari muda. Hal itu mempengaruhi kehidupannya ke depan. Namun, tidak semua orang memiliki support system seperti itu. Jika tidak bisa menemukannya, maka kita bisa membuatnya sendiri.
“Create your own pride, jangan gengsi untuk minta tolong. Rasa nyaman didengarkan adalah harga yang sangat berharga,” ujarnya.
Menyikapi ketimpangan literasi di Indonesia, Mbak Nana menjelaskan bahwa tidak perlu jadi menteri pendidikan untuk berkontribusi terhadap literasi. Masyarakat yang berdaya akan bisa jauh lebih maksimal daripada aparat negara yang tidak peduli. Tanggung jawab mencerdaskan bangsa ada di pundak anak muda. Negeri ini terlalu luas jika hanya diserahkan kepada aparat negara.
Sebelum menutup diskusi, Najwa Shihab berpesan bahwa kita harus optimis. Optimisme adalah percaya dan setia pada proses. Kita harus berani bersuara, karena jika tidak disuarakan, sama dengan kita kalah berkali-kali. Jika pada akhirnya tidak sesuai dengan apa yang diimpikan, itu tak apa karena yang penting adalah perjuangannya.
“Saya optimis adalah ketika saya datang ke kampus-kampus, bertemu dengan mahasiswa. Karena saya percaya bahwa negeri ini ada di tangan anak muda. Sejarah negeri ini ditentukan oleh anak muda yang kritis, mau berperan, mau turun tangan, mau tetap bersuara, dan setia pada nilai-nilai yang dijunjung,” lanjutnya.
Mbak Nana menutup diskusi dengan berpesan kepada anak muda, “Berdosa kalian jika membiarkan hoaks-hoaks berseliweran dan anak muda tidak mau meluruskan. Lebih baik dibilang sok tahu daripada orang dibiarkan termakan kedustaan.”
Terakhir, ia menyampaikan bahwa dunia terkadang terasa dingin, tetapi mari bikin romantis dengan mencintai literasi. membaca bisa membuat kita lebih bahagia dan juga mengasah empati kita, “Orang yang suka membaca tidak akan mudah menghakimi. Ia akan menunda menyimpulkan hingga halaman terakhir,” pungkasnya. (Hanung Maura/Editor: Hafidah Munisah/Foto: Tim Media Kreatif RDK)