Nasaruddin Umar: Islam Bukan Agama Radikal

Samudra (5/4) pada agenda kegiatan RDK 1445 H sore ini dibersamai oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A., beliau ini merupakan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta. Tema yang disampaikan pada sore ini adalah mengenai “Peran Moderasi Beragama dalam Membangun Kehormatan Sosial dan Pembangunan Nasional”. Beliau mengatakan bahwa “Moderasi bukanlah tujuan melainkan keharusan/diperlukan, bukan sesuatu yang dilakukan secara terpaksa karena Indonesia merupakan negara dengan banyak keberagaman agama, suku dan budaya”. Moderasi Islam di Indonesia bukan keterpaksaan untuk mereduksi ajaran agama, seperti memaknai dan mengamalkan ajaran Islam yang terlalu ketat. Singkatnya, moderasi adalah berislam dalam titik tengah dan dipraktikkan untuk menyeimbangkan keanekaragaman. Nasaruddin Umar juga menegaskan bahwa Islam itu sendiri merupakan agama yang sudah moderat.

Islam itu sudah moderat dari segi arti linguistiknya atau dari nilai dan norma. Nilai dari Islam terlalu abstrak, namun dilengkapi oleh norma yang mengatur hukum yang konkrit, berada pada titik tengah antara keduanya. Islam sudah moderat, sebab keberadaannya di antara value dan norma. Berbeda dengan agama atau kepercayaan lainnya, Islam tidak terlalu liberal dan tidak terlalu radikal. 

Nasaruddin menegaskan bahwa istilah moderasi Islam ini merupakan keniscayaan dari Islam sendiri, bukan suatu keterpaksaan Islam untuk beradaptasi. Sebagai contoh, jika Islam adalah agama radikal, maka Islam seharusnya tidak memperbolehkan umatnya untuk berbuat dosa sekecil apapun dan harus perfect dalam beragama. Tetapi kenyataannya, hal tersebut sangat kontradiktif terhadap karakter asli manusia yang memiliki nafsu, sehingga tidak ada manusia yang luput dari  perbuatan dosa. Islam bukan agama radikal, hal ini dibuktikan dari sifat Allah yang Maha Pemaaf. Apabila umat Islam dituntut untuk tidak pernah melakukan dosa, maka esensi dari sifat pemaaf dan pengampun yang dimiliki Allah akan hilang dan atau dipertanyakan. Sama halnya dengan esensi surga dan neraka, keduanya merupakan pembuktian dari balasan atas apa yang dilakukan oleh umat manusia saat hidup. Artinya, Islam mengakui sifat ketidakkonsistenan yang manusia miliki. Sama halnya jika Islam adalah agama liberalis, Allah bisa saja menghendaki dunia hanya dengan satu agama, Islam, tetapi Allah tetap menjadikan manusia sebagai makhluk yang berbangsa-bangsa, bersuku-suku dengan beraneka ragam agama.

Nasaruddin Umar memberikan sebuah perumpamaan, ketika di dunia ini hanya ada satu agama, yaitu Islam, maka pemimpinnya ialah khalifah. Maka ketika kekhalifahan umat Islam berpusat di Indonesia, niscaya akan timbul kegelisahan pada diri umat Islam tentang kepada siapa mereka akan meloyalitaskan dirinya. Sebab setiap negara, memiliki pemimpinnya masing-masing. Tetapi dibalik itu, tidak ada larangan dan tetap ada pula negara yang menerapkan hukum Islam, hal inilah yang membuktikan bahwa Islam adalah agama moderat.

Rasulullah saw. banyak memberikan pertimbangan terkait Islam moderat, salah satunya adalah memfungsikan masjid tidak hanya sebagai tempat beribadah saja. Saat nabi berpindah ke Madinah, bangunan pertama yang ia berdirikan adalah masjid. Kondisi Madinah yang  didominasi oleh Yahudi saat itu, dikejutkan oleh popularitas Rasulullah saw. yang banyak mengislamkan masyarakat sekitar sebab didirikannya masjid sebagai tempat pemberdayaan umat. Nasaruddin menyampaikan, “masjid yang Rasulullah bangun ini kurang lebih 20% digunakan untuk beribadah, sisanya digunakan sebagai pemberdayaan umat” sebagaimana buku yang beliau tulis, Pemberdayaan Umat Berbasis Masjid, masjid digunakan sebagai ruang tahanan, rumah sakit untuk mengobat umat yang turun berperang, tempat latihan berperang, digunakan untuk balai pertemuan, kantor peradilan, sekretariat negara, baitul maal, tempat pertunjukan seni budaya islam, dan di sana juga dilakukan dialog antar agama sebagai tempat meeting point umat beragama. Terakhir beliau menyampaikan bahwa Indonesia merupakan negara yang paling berpotensi untuk mengayomi agama islam, karenanya sebagai anak muda dan rakyat Indonesia sudah saatnya kita mengambil alih estafet kepemimpinan peradaban islam di masa yang akan datang. (Hafifah Nur Ainiyah/Editor: Hafidah Munisah/Foto: Tim Media Kreatif)

 

 

 

Saksikan videonya berikut ini:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.