Ramadhan di Kampus UGM 1445 H mengadakan Pagelaran Budaya sebagai peringatan Nuzulul Qur’an dengan mengangkat tema “Transformasi Budaya melalui Internalisasi Nilai-nilai Al-Quran sebagai Pondasi Pembangun Peradaban” pada Rabu (27/03) di halaman Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada. Rangkaian kegiatan ini diisi dengan kajian diskusi panel dari 2 narasumber yaitu Irfan Afifi sebagai penulis buku dan budayawan serta Prof. Ismail Fajrie Alatas, Ph.D. sebagai Associate Professor Kajian Islam dan Timur Tengah New York University. Kajian diskusi ini dimoderatori oleh Andi Prayitno, S.Fil., M.Phil.
Pelaksanaan pagelaran budaya menjadi ciri khas dari Ramadhan di Kampus UGM yang selalu membawakan tema kontekstual yaitu kompleksitas budaya dan agama. Pada tahun ini, pagelaran budaya dibuka dengan penampilan hadrah dari Manunggaling Rebana, penampilan monolog dari Teater Gadjah Mada bertemakan syahid, dan pembacaan sari tilawah. Kemudian, sambutan Dr. Hempry sebagai perwakilan Direktorat Mahasiswa UGM.
Diskusi panel pertama dari Irfan Afifi bertemakan transformasi budaya Islam. Kebudayaan dalam kacamata Islam merupakan produk kearifan yang secara utuh itu bentuk pendar dari ajaran keagamaan. Arif merupakan perasaan dari nilai-nilai keagamaan yang sudah melalui dialog dengan situasi masyarakat sehingga menciptakan kebudayaan. Secara ontologis, arif merupakan orang yang sudah mencapai kearifan/maqam arofah yang sudah mengenali kenyataan hidup dalam sebuah tataran lalu diterjemahkan ke dalam kebudayaan.
Pada zaman ini, kebudayaan seringkali dipisahkan dengan agama. menurut Irfan, hal ini merupakan kesalahan yang fatal. Kesenian dan kebudayaan merupakan produk olah tertinggi kemanusiaan sehingga mewujudkan keindahan. Puncak tertinggi olah kemanusiaan yang menghasilkan proses berkebudayaan disebut husnul khuluq. Makna akhlak/khuluq adalah yang baik bukan sekadar sopan santun dengan tataran adab, tetapi jati diri kecenderungan ciptaan dari manusia. Kesejatian ciptaan yang keluar dapat mewarnai kehidupan ini dengan keindahan.
Ilustrasi menerjemahkan nilai-nilai Al-Qur’an dalam realitas kebudayaan masyarakat yaitu melalui bodo kupat (lebaran ketupat hari ke-7) yang saat ini seringkali disebut bid’ah. Saat ini, simbol ketupat telah bertransformasi ke Idul Fitri yang diadopsi oleh masyarakat Betawi. Kebudayaan ini berupa inovasi kemanusiaan yang berusaha menerjemahkan nilai-nilai Al-Qur’an ke dalam realitas kehidupan. Kondisi kebiasaan dan sudah dihidupkan di dalam masyarakat tersebut disebut sebagai living sunnah yang baik, bukan bidah.
Tuhan memberikan perumpamaan/contoh terkait kalimat-kalimat yang baik. Pertama, tatanan yang baik itu seperti pohon yang baik, yaitu akar harus menancap kuat ke bawah agar pertumbuhan sehat, sehingga dahan ranting dapat menjulang tinggi dalam sebuah pertemuan dialog kebudayaan lain. Penataan budaya masyarakat yang merupakan pendaran dari nilai-nilai Al-Qur’an harus dibangun untuk membantu masyarakat tertanam akarnya kepada akar fitrah rohani kemanusiaan, jika tidak, ia justru akan terasingkan. Dengan demikian, tatanan kebudayaan harus mengakar ke dalam kebudayaan masyarakat. Kedua, tatanan kebudayaan harus mengantarkan seseorang bertemu dengan fitrah kemanusiaan sendiri. Visi dari Al-Qur’an yaitu mengutuhkan proses kemanusiaan yang mana penyebar Islam terdahulu sudah pernah menerjemahkan ke dalam realitas kebudayaan.
Problematika memahami asumsi dasar dari tema “Bagaimana cara menerjemahkan/menginternalisasi nilai-nilai Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.” Pertama, lebih menitikberatkan agensi/kemampuan manusia untuk menginternalisasi. Seakan-akan manusia memiliki kemampuan untuk menginternalisasi sesuatu eksternal berupa kalam ilahiah yang dinilai tidak mungkin. Kedua, terlalu mengasumsikan bahwa Al Qur’an adalah buku/kitab sehingga dapat diambil dan diserap nilainya. Hal ini, berarti abstraksi adanya nilai dan substansi, serta medium sebagai penyampaian substansi yang akan diambil nilainya.
Al-Qur’an bukan hanya sebatas teks, tetapi sesuatu yang lebih agung dan hidup daripada sekadar teks. Oleh karena itu, terdapat doktrin Untranslatability of The Al-Qur’an yang mana ketidakmampuan Al-Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Prof. Fajrie memiliki sudut pandang berbeda terhadap doktrin ini, yaitu sebuah peringatan bahwa Alquran tidak bisa direduksi menjadi mushaf. Kesalahan umum mengasumsikan Al-Qur’an adalah bukan mushaf, tetapi holy recitation. Al-Qur’an bukanlah buku teks yang dapat dilihat itu, tetapi praktik menyuarakan ayat-ayat wahyu ilahiah tersebut di dalam konteks spesifik yang tidak dapat diterjemahkan. Holy recitation berarti, Al-Qur’an menjadi sebuah praktik ritualisasi yang tidak dapat lagi membedakan medium dengan pesan dan esensi dengan partikularitas penyuaraan bahasanya. Al-Qur’an sebenarnya bukan tidak bisa diterjemahkan, tetapi diterjemahkan bukan dari verbal sains ke verbal sains lain, melainkan verbal sains ke format kehidupan.
Untranslatability bukan menerjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain, tetapi Al-Qur’an bisa menjadi real dan terealisasi pada saat diterjemahkan menjadi kehidupan. Al Qur’an seperti kitab yang hanya bunyi saat disuarakan di dalam konteks yang sangat partikulir, baik dalam konteks salat, qira’ah, semakan, maupun konteks budaya lain. Ritualisasi adalah proses membuka diri, bukan diri kita yang menginternalisasi Al-Qur’an. Akan tetapi menyiapkan dan membuka diri kita sehingga Al-Qur’an sebagai kalam ilahi dapat masuk ke dalam diri kita. Dengan demikian, bukan kita yang mengabsorbsi Al-Qur’an, melainkan diri kita yang mempersiapkan diri untuk diabsorbsi oleh Al-Qur’an. Oleh karena itu, kita menyadari Al-Qur’an bukan hanya teks biasa, melainkan kalam ilahi yang mana penyuaranya menggunakan suara kita.
Al-Qur’an baru bisa disebut Al-Qur’an karena ada praktik ritualisasi, maka ritualisasi berarti asumsi the reciting self. Subjek yang menyuarakan Al-Qur’an ini bukan subjek yang hidup di dunia dalam konteks kosong, subjek manusia itu ada dan berupa makhluk kultural. Dualisme membedakan agama dan budaya merupakan hal problematis. Al-Qur’an adalah praktik penyuaraan dari kalam ilahi oleh seorang subjek budaya dalam sebuah konteks ritualisasi. Hal ini pasti berbeda antara tempat satu dengan yang lain (tradisi selamatan, semakan Al-Qur’an), dan ada beberapa konteks yang sama (salat). Konteks dimana Al-Qur’an itu muncul, maka Al-Qur’an tidak bisa dipisahkan dari budaya.
Praktik-praktik ritualisasi sangat partikular dari satu kultur ke kultur lain, sehingga dibutuhkan community of learning berupa tradisi keilmuan, kesarjanaan, dan praktik-praktik yang ada. Hal tersebut bermaksud untuk menyukseskan penyuaraan tersebut walaupun berbeda-beda. Wahyu ilahi hanya bisa disuarakan dalam ruang lingkup budaya dan memperkaya budaya itu, tetapi juga kalam ilahi hanya dapat dimaknai dan diserap melalui lensa budaya karena manusianya merupakan manusia berbudaya. Dengan demikian, makna Al-Qur’an tidak bisa hanya dipahami melalui kaidah-kaidah leksikon/tata bahasa arab karena makna dari Al-Qur’an tidak bisa dipisahkan dari partikularitas penyuaranya. Oleh karena itu, makna Al-Qur’an akan selalu surplus dan berkelindan dengan budaya.
Doctrine of untranslatability justru mengingatkan untuk berhati-hati dalam menghindari tindakan mereduksi Al-Qur’an menjadi mushaf, walaupun paham gramatika bahasa arab. Hal ini dikarenakan bukan di situ maknanya, maknanya akan selalu terikat dan terkait dengan konteks pragmatik/penyuaranya. Jadi, kita tidak bisa keluar dari partikularitas karena makna tidak bisa dipisahkan dari medium berupa bahasa maupun sang penyuaranya. Bukan hanya apa yang disuarakan, melainkan bagaimana medium wahyu ilahi ini menjadi bagian dari subjek manusia dan mengerjakan melakukan kerja-kerjanya di dalam diri subjek as crucial as what they mean.
Dalam tradisi keilmuan Islam dari siapa Anda mengambil Al-Qur’an itu tidak kalah pentingnya dari pada Al-Qur’an nya sendiri. Pada akhirnya, mushaf hanyalah bejana, tetapi manusia adalah bejana yang mungkin lebih mampu dari mushaf untuk menampung cahaya ilahi yang ada dalam setiap ayat-ayat Al-Qur’an dan bejana-bejana itu selalu culturally particular. (Zuhud Ahnaf Fauzi/Editor: Hafidah Munisah)