RILIS: Melawan Ketakutan yang Berlebihan – Tentang JS, RDK, dan Masjid Kampus UGM

Oleh: Kiki Dwi Setiabudi (Ketua Jama’ah Shalahuddin UGM 1439 H)

Co-Author: Departemen Kajian Strategis Jama’ah Shalahuddin UGM

 

Melawan Phobia di Atas Mimbar Akademik
Dalam bidang hukum khususnya, reformasi 1998 telah mengilhami adanya amandemen dalam sistem perundang-undangan Indonesia -tak lain dan tak bukan dalam rangka menghapuskan sentralisasi kekuatan politik dengan pembatasan hak prerogratif lembaga eksekutif, reformasi birokrasi, penghapusan dwifungsi angkatan bersenjata, reduksi produk hukum yang diskriminatif, serta penghidupan nilai-nilai hak asasi manusia dalam konstitusi negara.

Nilai-nilai hak asasi manusia tersebut secara lebih lanjut diatur dalam UUD 1945 Pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia. Nilai-nilai substansial yang diatur dalam Pasal 28 adalah refleksi dari bentuk komitmen negara yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintah dan aparaturnya untuk memenuhi hak-hak dasar warga negara, di mana hak tersebut tidak dapat dicederai, bahkan oleh pemerintah sebagai representasi dari negara yang sejatinya dimiliki oleh rakyatnya sendiri.

Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Pasal 28 E Ayat 3 UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia secara jelas mengatur dan menekankan pada hak manusia untuk berserikat, menyalurkan hasil pikirnya, dan bebas melakukan diskusi. Namun paradoksnya, dalam beberapa kasus di negara kita masih terdapat pelarangan terhadap organisasi tertentu, marginalisasi terhadap kelompok-kelompok minoritas, pelarangan beberapa acara bahkan tausiah Ramadhan, hingga tindakan iliterasi buku-buku tertentu baik oleh pemerintah, tentara, maupun organisasi-organisasi masyarakat.

Di dalam kehidupan kampus, perihal kebebasan dalam berpendapat, berdiskusi, dan melakukan pembahasan kaidah keilmuan juga termasuk ke dalam sebuah kehidupan otonom universitas yang keberadaannya harus dijunjung tinggi, yaitu kebebasan akademik. Kebebasan akademik – yang bermakna kebebasan civitas akademika dalam melakukan pembahasan kaidah
keilmuan – telah diakui oleh pemerintah dalam PP Nomor 30 tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi. Menurut Pasal 17 tentang Kebebasan Akademik dan Otonomi Keilmuan dari PP tersebut, kebebasan akademik merupakan kebebasan yang dimiliki anggota civitas akademika untuk secara bertanggung jawab dan mandiri melaksanakan kegiatan akademik yang terkait dengan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam lingkup universitas, khususnya universitas yang mengaku sebagai Kampus Kerakyatan ini, kata-kata “kebebasan akademik” juga muncul dalam berbagai naskah yang diterbitkan UGM. Contohnya seperti dalam Draft Final Kebijakan Akademik yang dibuat dan dipublikasikan oleh Senat Akademik dan Peraturan Majelis Wali Amanat Universitas Gadjah Mada Nomor 4 tahun 2014 bagian keempat. Dalam regulasi tersebut, UGM dituntut untuk menjamin dan menjunjung tinggi kebebasan mimbar akademik di lingkungan civitas akademika. Dengan kata lain, kampus sebenarnya sudah adil dalam tataran regulasi untuk pemenuhan hak kebebasan akademik bagi mahasiswa UGM. Namun sayangnya, keadilan tersebut hanya sampai
pada tataran teori dan hukum semata, pada praktiknya, UGM dan pemerintah harus belajar dengan lebih baik lagi.

Kamis (17-5-2018) kemarin, pelarangan itu kembali terjadi, kali ini ditujukan kepada Lembaga Dakwah Kampus UGM, Jama’ah Shalahuddin dan Panitia Ramadhan di Kampus (RDK) UGM. Pada potongan poster yang viral tiga hari lalu, nama Ustadz Ismail Yusanto hadir dalam daftar penceramah Safari Ilmu di Bulan Ramadhan (Samudra) atau kajian menjelang berbuka puasa pada kegiatan RDK UGM. Sontak saja poster yang sejatinya belum fix tersebut tersebar luas di jagad maya. Banyak yang mengecam LDK JS UGM dan Panitia RDK UGM dengan alasan mengapa mengundang tokoh yang merupakan pentolan juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tersebut. Di tengah maraknya isu-isu radikalisme yang mengatasnamakan agama akhir-akhir ini, LDK JS juga tak luput dari serangan netizen yang menyudutkan JS tanpa mengetahui duduk masalah sebenarnya – ikut latah menyebut JS sebagai organisasi intoleran dan pencetak jama’ah radikal atau pun sejenisnya. Oleh karena itu, izinkan kami di sini selaku Lembaga Dakwah Kampus Jama’ah Shalahuddin UGM memberikan beberapa klarifikasi dan pemaparan kronologi kasus yang sudah viral ini secara komprehensif dengan sudut pandang kebebasan mimbar akademik.

Sejatinya, tidak ada niatan sama sekali dari Panitia Ramadhan di Kampus maupun Jama’ah Shalahuddin untuk bertindak radikal seperti apa yang disematkan oleh beberapa netizen maupun media mainstream, Ustadz Ismail Yusanto murni diundang karena beliau adalah alumni UGM, mantan Ketua Ramadhan di Kampus, dan Sekjen Jama’ah Shalahuddin di tahun 1980-an. Lebih-lebih, Ustadz Ismail Yusanto akan membawakan tema kajian Samudera tentang Pendidikan Islam, tidak melenceng dari ToR yang sudah diberikan panitia. Tapi apa daya, beliau sudah dicoret atas kehendak beberapa pihak rektorat dan pemerintah yang tidak suka, menggangap beliau berbahaya dan berpotensi menyebarkan ideologi yang dilarang. Sampai titik ini, kami ingin bertanya serius, di manakah kebebasan akademik yang dijamin dalam berbagai regulasi di atas? Mengapa, bahkan
selevel Universitas Gadjah Mada masih ketakutan atas term yang berlainan dengan definisi Pancasila yang ditafsirkan sesukanya oleh penguasa? Bukankah di kampus, tempat di mana dialektika terjadi, tempat di mana sharing knowledge terjadi tidak seharusnya perbedaan ideologi diberangus dalam ranah akademis? Jika corong pengetahuan saja ditentukan semaunya oleh penguasa atas nama menjaga stabilitas negara, siapakah yang seharusnya dicap sebagai pelaku
intoleran tersebut?

Di samping itu, jika kita melihat lebih jeli siapa saja yang diundang sebagai pembicara oleh Panitia RDK UGM 1439 H tahun ini, tentu emosi akan mereda dan hujatan akan terhenti di ujung tenggorokan. Mengapa tidak? Karena memang Panitia RDK tahun ini mengundang pembicara dari berbagai background yang berbeda. Ada sejumlah nama dari golongan NU, Muhammadiyah, kelompok tarbiyah, kalangan salafi, akademisi, para peneliti bahkan profesor, budayawan; termasuk Romo Magniz yang beragama non muslim. Kesemuanya tersebut panitia hadirkan untuk memberikan gambaran bahwa ada banyak sekali mazhab pemikiran dan ekspresi keagamaan dari masing-masing pembicara. Tidak ada sama sekali niatan untuk menjadikan Masjid Kampus sebagai arena percaturan politik nasional. Karena sekali lagi, ini adalah arena kampus yang bebas dari intervensi politik, tempat di mana pertukaran gagasan terjadi, tempat di mana seharusnya ilmu pengetahuan datang dari segala arah tanpa sekat pemisah, tidak boleh ada yang takut dan menganggapnya berbahaya, karena sejatinya itulah yang disebut sebagai esensi dari kebebasan mimbar akademik.

Kronologi Penetapan Pembicara RDK UGM
Bulan Februari 2018, konsep dan proposal Ramadhan di Kampus (RDK) Universitas Gadjah Mada tahun 2018 sudah selesai. Konsep meliputi seluruh desain rangkaian kegiatan pra-Ramadhan sampai menjelang akhir Ramadhan, termasuk tema dan pembicara di setiap kegiatannya. Selesainya konsep dan proposal RDK 1439 H di Bulan Februari bukan menjadi titik di mana
konsep yang tertera pada proposal sudah diterima dan disetujui oleh pihak Direktorat Kemahasiswaan (Dirmawa) dan jajaran rektorat UGM.

April 2018, saya selaku ketua Jama’ah Shalahuddin UGM bersama pengurus Jama’ah Shalahuddin UGM dan beberapa koordinator kepanitian RDK 1439 H mengadakan pertemuan dengan pihak Dirmawa dan Pimpinan Universitas di Gedung Pusat
Balairung UGM. Kegiatan tersebut membahas terkait seluruh konsep dan kegiatan RDK UGM 1439 H termasuk pembicara yang mengisi agenda di RDK. Hasilnya, panitia RDK mendapat beberapa masukan dari pihak Dirmawa terkait pembicara Ramadhan dalam rangka menetralkan kondisi dari latar belakang pembicara yang dirasa perlu diimbangi dengan sudut pandang lain,
tidak ada pencoretan nama dalam pertemuan dan hanya rekomendasi untuk tidak menghadirkan satu pembicara dikarenakan ada masalah dan kesulitan mengenai Protokol.

Kemudian, pada pertengahan bulan April 2018 (17-4-2018), Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan mengundang pengurus Jama’ah Shalahuddin UGM dan panitia inti RDK dalam rangka berkoordinasi terkait seluruh kegiatan RDK yang akan dilaksanakan di ruang wakil rektor. Perbincangan hangat terkait kegiatan dan pembicara terjadi secara detail dengan dihadiri oleh beberapa perwakilan dari Dirmawa dan BPM (Badan Pengelola Masjid) UGM serta perwakilan dari Takmir Mushola Fakultas dan Lembaga Dakwah Fakultas UGM. Lima hari setelah itu (22-4-2018), Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan megundang kami kembali selaku pengurus Jama’ah Shalahuddin UGM dan panitia inti RDK, undangan ini berisikan koordinasi lanjutan terkait seluruh kegiatan RDK yang dilaksanakan di ruangan wakil rektor kembali. Pertemuan itu diakhiri dengan pemanggilan dari salah satu teman kami bernama Yusuf Maulana selaku HRD RDK. Tidak disangka, arahan justru berisi perintah untuk segera membatalkan Ustadz Ismail Yusanto sebagai salah satu pembicara Samudera RDK 1439 H.

Beberapa hari kemudian, tepatnya Selasa 15 Mei 2018, saya selaku Ketua Jama’ah Shalahuddin dipanggil untuk menyelesaikan persoalan pembicara yang telah disebar di media massa, dari pertemuan ini kami (Pimpinan Rektor, Rektor, Ketua Takmir Maskam UGM, dan saya, Ketua JS) menyepakati untuk tetap menghadirkan pembicara-pembicara yang sudah ditetapkan tersebut dengan konsekuensi penjagaan serta penyampaian materi yang menyejukkan sekaligus kami mengajak untuk siapapun yang kurang berkenan dan berfikir kurang baik mengenai pembicara, kami undang untuk ikut mengkaji dan menyaksikan secara langsung proses negosiasi berlangsung.

Keesokan harinya, jajaran rektorat diperingatkan oleh pihak Kemenristekdikti untuk tetap membatalkan pembicara (IY) yang sebelumnya sudah disepakati untuk hadir. Pada malam harinya, Rapat Istimewa diadakan antara Pihak Rektorat, Takmir Maskam, dan JS di Ruang Takmir Maskam UGM. Dari hasil rapat tersebut terjadilah pembatalan Pembicara Agenda Samudra
(kajian menjelang buka puasa) yakni, ustadz Ismail Yusanto, ustadz Nopriadi, dan Fahri Hamzah.

Pada hari Kamis, tepat sehari setelah diskusi pembatalan dilakukan, saya dan Ketua RDK dipanggil untuk mengikuti konferensi pers di Kantor Sidang Rektor. Dari hasil konferensi pers tersebut, pimpinan rektorat menyampaikan akan ada tindak lanjut dari pihak UGM dalam menangani pembicara RDK dengan melakukan pembatalan terhadap pembicara yang disebutkan di atas.

Sejatinya saya dan beberapa perwakilan dari LDK JS UGM dalam konferensi pers tersebut telah menyampaikan, bahwa Jama’ah Shalahuddin sejatinya mengundang berbagai pembicara dalam agenda RDK tersebut melalui pertimbangan dan riset mendalam serta melalui perbincangan dengan berbagai pihak baik universitas maupun ormas yang ada di Indonesia. Ada berbagai ‘warna’ dan ekspresi keagamaan yang sejatinya berusaha RDK dan JS hadirkan dalam Ramadhan di tahun ini, namun ternyata, ada beberapa oknum yang salah menangkap maksud tersebut dan membaca kasus secara parsial. Hasilnya, berita hanya mencoba memojokkan kami dan menyebut JS sebagai organisasi intoleran dan suka bermain api. Kami sampaikan di sini, jika prasangka itu masih melekat di benak Anda, marilah kita bertemu dan melihat langsung kondisi di lapangan.
Saya dan teman-teman panitia akan memperlihatkan sesuatu yang berbeda dari sangkaan dan tuduhan yang memojokkan.

Dengan kejadian inilah, kami berharap kepada seluruh umat Islam dan warga Indonesia terkhusus seluruh mahasiswa di seluruh Nusantara, bergeraklah selagi itu benar untuk menegakkan keadilan, jangan pernah khawatir karena Allah akan menuntun kepada jalan yang benar, Allah telah menentukan segala perkara untuk makhluk-Nya sesuai dengan ilmu-Nya yang terdahulu (azali) dan ditentukan oleh hikmah-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi melainkan atas kehendak-Nya dan tidak ada sesuatu pun yang keluar dari kehendak-Nya. Maka, semua yang terjadi dalam kehidupan seorang hamba adalah berasal dari ilmu, kekuasaan dan kehendak Allah, namun tidak terlepas dari kehendak dan usaha hamba-Nya. Terakhir kami sampaikan, bahwa kami akan mendukung segala proses lanjutan dalam penyelesaian masalah ini dengan baik, namun posisi kami tetap pada keinginan kampus yang bebas dari intervensi politik, karena memang sejatinya ia adalah mimbar akademik yang harus bersih dari kepentingan kekuasaan, lebih-lebih hal ini berkaitan dengan dakwah kepada ummat Islam. Kami mendukung segala proses keadilan, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.

 

Daftar Rujukan:

  • Undang-Undang Dasar Negara Indonesia 1945
  • PP Nomor 30 tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi
  • Peraturan Majelis Wali Amanat Universitas Gadjah Mada Nomor 4 tahun 2014

 

(berkas PDF bisa diunduh di ugm.id/RILISJSUGM)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.