Angkat Isu Lingkungan, Kegiatan RDK UGM 1444 H Nol Sampah

RISALAH TEMA BESAR RDK UGM 1444 H

Isu mengenai masalah lingkungan hidup menjadi bahasan yang sangat menarik dewasa ini, salah satunya adalah perubahan iklim yang tengah menjadi permasalahan global. Perubahan iklim termasuk permasalahan penting yang menjadi ancaman serius bagi semua manusia di bumi. Menurut National Aeronautics and Space Administration (NASA), suhu permukaan bumi pada tahun 2021 telah meningkat 0,85°C dibanding suhu rata-rata tahunan selama periode 1951-1980. Dalam satu dekade belakangan, suhu permukaan bumi juga sempat meningkat hingga 1,02°C pada tahun 2016 dan 2020.

Laporan IPCC menegaskan bahwa aktivitas manusia merupakan penyebab terjadinya perubahan iklim, terutama dalam 50 tahun terakhir. Pengaruh manusia (anthropogenic caused) tampak dari meningkatnya emisi gas rumah kaca (karbon dioksida, metana, nitrogen oksida, dan sejumlah gas industri) yang dihasilkan oleh aktivitas manusia, antara lain dari penggunaan bahan bakar fosil seperti batu bara dan minyak bumi pada sektor industri, rumah tangga, transportasi, energi, alih guna lahan, dan limbah domestik.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI menyebutkan bahwa perubahan iklim dapat menimbulkan berbagai dampak negatif bagi kehidupan. Dampak perubahan iklim yakni berkurangnya ketersediaan air bersih, meningkatnya kejadian banjir di daerah pesisir, adanya peningkatan. Adanya perubahan iklim dapat mempengaruhi kehidupan manusia, seperti masalah kesehatan, perubahan cuaca yang ekstrim, serta dapat memunculkan wabah penyakit seperti demam berdarah, penyakit kulit, batuk, pilek. Selain kesehatan, perubahan iklim dapat mempengaruhi sektor pertanian dan ekonomi. Perubahan iklim dapat mengakibatkan gagal panen dari sektor padi, tebu, sayur dan lainnya yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Perubahan iklim dapat mengganggu keseimbangan alam yang normal seperti adanya badai karena perubahan curah hujan, kekeringan karena suhu meningkat dan air yang semakin langka.

Berbagai negara membuat kebijakan dalam mengurangi penyebab perubahan iklim, hal ini dilakukan karena dampaknya masif dan tidak dapat diprediksi. Adanya kesadaran sejak dini terkait perubahan iklim diharapkan dapat mengurangi dan menjaga lingkungan tetap lestari. Sebagai tindak lanjut, pemerintah Indonesia melaksanakan program Net Zero Emissions yang diharapkan dapat mengurangi emisi sebagai penyebab utama perubahan iklim. Net Zero Emissions mengemuka sejak adanya Paris Agreement yang mewajibkan setiap negara menyampaikan target penurunan emisinya yang disebut dengan Nationally Determined Contribution (NDC) mulai tahun 2020 lalu. Dalam dokumen NDC terbaru, Indonesia menaikkan target pengurangan emisi menjadi 31,89% di tahun 2030 mendatang dengan target dukungan internasional sebesar 43,20%. Dengan tindakan yang tepat, Indonesia dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dan menghindari kelaparan, anomali cuaca, serta tenggelamnya pulau di Indonesia maupun di Pasifik.

Net Zero Emissions atau nol emisi karbon adalah kondisi dimana jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap oleh bumi. Untuk mencapainya diperlukan sebuah transisi dari sistem energi yang digunakan sekarang ke sistem energi bersih guna mencapai kondisi seimbang antara aktivitas manusia dengan keseimbangan alam. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakannya adalah mengurangi jumlah karbon atau gas emisi yang dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia pada kurun waktu tertentu.

Indonesia berkomitmen untuk mencapai Net Zero Emissions pada tahun 2060. Pemerintah berusaha menekan emisi karbon di lima sektor kunci sebagai komitmen sekaligus menyokong pembangunan rendah karbon. Kelima sektor tersebut adalah sektor energi, lahan, industri, limbah, dan kelautan. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2019-2024, terdapat sejumlah strategi untuk mendukung pembangunan rendah karbon ini. Pada sektor energi, upaya dilakukan melalui efisiensi dan konservasi energi, pengelolaan sumber energi terbarukan, dan pemanfaatan bahan bakar nabati sebagai substitusi bahan bakar minyak. Sementara di sektor lahan berkelanjutan, restorasi lahan gambut serta rehabilitasi hutan dapat dilakukan seiring dengan upaya menekan laju deforestasi, dan meningkatkan produktivitas dan efisiensi pertanian menuju pertanian berkelanjutan. Di sektor limbah, strategi pembangunan berkelanjutan dapat dilaksanakan melalui pengelolaan sampah rumah tangga dan pengelolaan limbah cair. Sektor industri, pengembangan konsep hijau dapat dilakukan dengan audit penggunaan energi pada industri, modifikasi proses dan teknologi, serta manajemen limbah industri. Terakhir, rendah karbon pesisir dan laut dilaksanakan lewat inventaris dan rehabilitasi  ekosistem pesisir dan kelautan.

Berdasarkan data 2018, sektor lahan menjadi penyumbang terbesar penurunan emisi gas rumah kaca (GRK), besarannya mencapai 36 persen. Selanjutnya diikuti sektor energi dan limbah yang menekan emisi GRK sebesar sepuluh dan delapan persen. Pada 2024, kelima sektor ini ditargetkan akan meningkatkan porsi penurunan emisi GRK. Sektor lahan 58 persen, sektor energi 13 persen, sektor limbah 9 persen, sektor industri dan penggunaan produk (IPPU) 8 persen, dan sektor kelautan 7 persen.

Sampah merupakan penyumbang emisi penyebab permasalahan lingkungan yang paling dekat dengan masyarakat. Timbulan sampah dari rumah tangga merupakan penghasil sampah terbesar dibandingkan dengan sumber-sumber sampah lainnya, yaitu sebesar 36%, lebih besar dari timbulan sampah dari pasar tradisional yang hanya 24%. Dari data yang ada, sampah banyak dihasilkan dari sektor rumah tangga yang artinya dihasilkan dari aktivitas masyarakat sehari-hari. Hal ini menunjukkan betapa erat keterkaitan antara aktivitas masyarakat dengan produksi sampah. Oleh karena itu, penyelesaian masalah sampah harus dimulai dari masyarakat itu sendiri. Ramadhan Di Kampus mengedepankan aksi nyata yang dapat dilakukan langsung oleh masyarakat untuk berkontribusi dalam penyelesaian permasalahan lingkungan.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2021 mencatat volume sampah di Indonesia yang terdiri dari 154 Kabupaten/kota se-Indonesia mencapai 18,2 juta ton/tahun. Sampah yang terkelola dengan baik hanya sebanyak 13,2 juta ton/tahun atau 72,95%. Dari data tersebut, masih ada sekitar 5 ton sampah yang tidak terkelola dengan baik. Pada beberapa tempat pembuangan akhir di Indonesia, terjadi penumpukan sampah yang tidak terkendali, seperti yang terjadi di TPA Piyungan dan Bantar Gebang. Sampah dari masyarakat yang sudah disalurkan melalui lembaga yang ada, berakhir di tempat pembuangan akhir dan dibiarkan menumpuk. Dengan adanya penyaluran sampah dari pemerintah diharapkan pengelolaan sampah dapat dilakukan secara menyeluruh, namun pada kenyataannya terdapat banyak kendala yang menyebabkan sampah tersebut hanya berpindah tempat dan menumpuk. Peristiwa tersebut menggambarkan betapa kompleks masalah sampah di Indonesia.

Sampah yang dihasilkan dari aktivitas manusia dapat terdistribusi di air maupun tanah. Di lingkungan perairan, sampah memengaruhi sistem biotik dan abiotik. Studi dari Joleah B Lamb (2018) menyebutkan  bahwa 89% terumbu karang yang terpapar sampah plastik  cenderung terjangkit penyakit karena sampah plastik mampu memicu terjadinya kolonisasi mikroba patogen. Sampah yang menumpuk di daratan dapat memicu turunnya kualitas tanah akibat tertahannya air yang akan masuk ke tanah oleh sampah. Oleh karena itu, sampah merupakan permasalahan yang sangat perlu untuk diselesaikan.

Penyelesaian masalah sampah dimulai dari pembiasaan gaya hidup nol sampah atau zero waste pada masyarakat. Menurut Zero Waste International Alliance, zero waste merupakan konservasi semua sumber daya melalui produksi, konsumsi, penggunaan kembali, dan pemulihan produk, pengemasan, dan bahan yang bertanggung jawab tanpa pembakaran dan pembuangan ke tanah, air, atau udara yang mengancam lingkungan atau kesehatan manusia. Penerapan gaya hidup zero waste mampu membantu menyelesaikan permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh sampah secara signifikan karena produksi sampah oleh masyarakat dapat ditekan. Dengan berkurangnya jumlah sampah yang dihasilkan, secara langsung dapat mengurangi dampak buruk akibat penumpukan sampah. Langkah pembiasaan zero waste di masyarakat dapat dimulai dengan menghindari penggunaan plastik sekali pakai atau single use plastic agar tidak masuk ke tempat pembuangan akhir dan berakhir menumpuk.

Penerapan zero waste dalam masyarakat secara luas mendorong terwujudnya zero waste society. Zero waste society merupakan keadaaan masyarakat dimana gaya hidup zero waste telah diterapkan dengan baik. Ketika masyarakat telah memiliki kesadaran untuk menekan produksi sampah, sampah yang terdistribusi akan turun secara signifikan. Dampaknya terhadap lingkungan adalah berkurangnya jumlah sampah terdistribusi baik di air maupun tanah. Polutan yang ada di lingkungan berkurang akibat berkurangnya sampah yang ada.

Sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, Islam mengajarkan agar selalu menjaga kelestarian alam. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-A’raf ayat 56 berikut.

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَ رْضِ بَعْدَ اِصْلَا حِهَا وَا دْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًا ۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ

“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.”

Oleh karena itu, Ramadhan di Kampus 1444 H mengangkat tema “Green Ramadhan: Satukan Langkah Menuju Zero Waste Society”. Tema tersebut diwujudkan melalui rangkaian kegiatan Ramadhan Di Kampus 1444 H. Seluruh kegiatan didesain dengan konsep minimalisasi sampah yang diterapkan hingga detail kegiatan. Contoh penerapan zero waste di kegiatan Ramadhan di Kampus 1444 H adalah rencana penggunaan sugar cane box yang dapat dikompos untuk pengganti kardus nasi buka bersama.

Dengan terwujudnya Ramadhan di Kampus 1444 H diharapkan mampu mengajak masyarakat untuk lebih menyadari perannya sebagai khalifah fil ardhi.  Selain itu, dengan terlaksananya Ramadhan di Kampus diharapkan dapat turut menjawab permasalahan yang ada terkhusus pada masalah lingkungan.