Zainal Arifin Menyebutkan Oligarki, Politik Dinasti, dan Politisi Pragmatis Adalah Kolaborasi yang Merusak Indonesia

Ahli Hukum Tata Negara UGM, Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M., menyampaikan materi bertajuk “Korelasi Negara Kesejahteraan dengan Demokratisasi Kehidupan Masyarakat sebagai Wujud Negara Paripurna” pada Kamis, (28/03). Beliau yang akrab disapa mas Uceng tersebut menyampaikan terkait korelasi welfare state atau negara kesejahteraan dengan hukum dan tujuan negara paripurna. Konsep negara kesejahteraan (welfare state) dimulai ketika revolusi industri di beberapa negara, khususnya Inggris, bersamaan dengan dimulainya penjajahan yang dipicu semangat kapitalisme. 

 

Beliau menyampaikan, akan berbahaya jika semangat kapitalisme dan semangat kolonialisme bergabung. Sekitar abad ke-6 sampai 8, sepeninggal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, dilakukan ekspansi wilayah Islam sampai masuk area Konstantinopel (Turki) dan Andalusia (Spanyol). Menurut seorang ahli, Anita Lombard, yang membedakan kolonialisme Islam dengan kolonialisme abad pertengahan yang dilakukan Eropa adalah semangat kapitalisme. Islam melakukan penaklukkan hingga ke Spanyol tanpa semangat kapitalisme dan tidak ekstraktif (usaha untuk mengambil hasil alam secara langsung). Berbeda dengan negara-negara Eropa ketika melakukan penjajahan, mereka menginginkan sesuatu dari negara jajahan, seperti rempah-rempah. Pada saat yang sama, negara Inggris juga melakukan revolusi industri, yaitu memasarkan barang dagangannya di pasar-pasar yang mereka buat. Inggris membangun sekolah-sekolah untuk memajukan ekonomi masyarakatnya untuk mendukung daya beli masyarakat terhadap produknya.

 

Beliau menyampaikan, pada awal masa penjajahan yang mulai naik, kapitalisme dan liberalisme mulai menguat. Liberalisme disokong semangat humanisme dan peran negara dipertanyakan ketika itu. Pada akhirnya, lahirlah konsep “Negara Penjaga Malam” (Jerman: Nachtwächterstaat) yang artinya negara berfungsi minimalis, peran negara hanya sedikit dan melimpahkan peran terbesar kepada kapitalis (kapitalisme) dan individu (liberalisme). Ada dua kritik utama terhadap model konsep “Negara Penjaga Malam”, yaitu kritik marxisme oleh Karl Mark dan utilitarianisme oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Aliran marxisme menganggap negara hanya alat represi bagi satu kelas kepada kelas yang lain, peran negara seharusnya diambil alih oleh kaum buruh, karena negara hanya dijadikan alat untuk menindas oleh kaum borjouis. Aliran kedua, utilitarianisme menganggap bahwa peran negara seharusnya lebih ditingkatkan, negara memiliki peran terbesar untuk menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan sebagian besar masyarakat. Negara kesejahteraan lahir dari konsep utilitarianisme ini, artinya negara memiliki peran memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan sebesar-besarnya kepada masyarakatnya. Belakangan ini, konsep marxisme mengalami pembaharuan dengan melahirkan konsep sosialis-demokrat yang mencoba mencari titik tengah dengan tetap berpegang pada liberalisme, tetapi dengan nuansa demokratis dan sosialis. Konsep hukum pada teori sosialis-demokratis menganut supremacy of law (hukum menduduki posisi paling tinggi dan menjadi sumber acuan kehidupan). Dalam penerapannya, harus berdasar pada equality before the law (semua orang sama di hadapan hukum) dan berdasar pada Hak Asasi Manusia (HAM). 

 

Lalu, apa yang dimaksud negara paripurna? Beliau menyampaikan, konsep negara paripurna dari perspektif Islam. Terdapat perbedaan dari para ahli, ada yang mengatakan sejak negara Islam berdiri dan menerapkan standarisasi Islam pada semua aspeknya, tetapi ada yang mengatakan negara Islam yang hanya menerapkan substansi keislaman tanpa hukum yang berlandaskan nilai keislaman. Konsep negara paripurna menurut pendapat lain adalah negara yang bisa berlaku demokratis, yaitu negara yang memperbesar ruang aspirasi dan partisipasi masyarakat. 

 

Beliau menyoroti negara Indonesia dari segi negara kesejahteraan, negara hukum, dan negara paripurna saat ini, bahwa keadaan Indonesia miris. Dalam UUD Tahun 1945, Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai negara kesejahteraan. Alih-alih menjadi negara yang sejahtera oleh sumber daya alam yang melimpah, justru pejabat pemerintah banyak yang merangkap menjadi pengusaha yang memanfaatkan sumber daya alam di Indonesia untuk kepentingan pribadi dan golongan. Hal tersebut dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan dan cara kerja pemerintah yang seharusnya dapat memberikan kesejahteraan untuk masyarakatnya. Beliau juga menyoroti 3 kolaborasi yang merusak Indonesia saat ini, yaitu para oligarki, politik dinasti, dan politisi pragmatis. 

 

Beliau menyampaikan, bahwa negara paripurna dilihat dari sisi demokratis, yaitu negara memberikan ruang bagi masyarakatnya untuk berpartisipasi dan menyampaikan aspirasi. Di sisi lain, negara paripurna dilihat dari sisi negara hukum adalah penjagaan supremasi hukum. Negara paripurna juga mementingkan penegakan hak asasi manusia. 

 

Beliau menutup kajian dengan mengatakan, “Mari kita membedakan problem itu sebagai sebuah problem struktural atau problem personal.” Maka, problem Indonesia saat ini, ketika demokrasi berjalan secara prosedural, penegakan hukumnya bermasalah, welfare tidak terjaga dan hanya menguntungkan segelintir orang, bukanlah problem personal yang bisa selesai dengan satu solusi. (Efi Munasifah/Editor: Hafidah Munisah/Foto: Tim Media Kreatif RDK)

 

 

 

Saksikan videonya berikut ini:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.