Iwan Satriawan Jelaskan Relasi Antara Tingkat Kepatuhan Atas Hukum dan Indeks Korupsi

Dalam Ramadhan Public Lecture yang dilaksanakan di Masjid Kampus UGM (02/04), Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Prof. Iwan Satriawan, S.H., MCL., Ph.D. memaparkan data Indeks Negara Hukum (Rule of Law Index) negara-negara di dunia. Terdapat sepuluh negara dengan indeks kepatuhan kepada hukum tertinggi di dunia, yaitu Denmark, Norwegia, Finlandia, Swedia, Jerman, Luksemburg, Belanda, Selandia baru, Estonia, dan Irlandia. Kemudian Prof. Iwan juga memaparkan data mengenai indeks korupsi di dunia, negara dengan korupsi paling rendah di dunia, yaitu Denmark, Finlandia, Selandia baru, Norwegia, Singapura, Swedia, Swiss, Belanda, Jerman, dan Irlandia.

 

Keterkaitan dari kedua data yang telah Prof. Iwan paparkan menjelaskan bahwasannya terdapat korelasi positif antara tingkat kepatuhan kepada hukum dengan indeks korupsi, semakin tinggi indeks kepatuhan kepada hukum maka semakin rendah tingkat korupsinya.

 

Terdapat tiga ciri penting dalam negara hukum, yang pertama adalah negara atau kekuasaan harus tunduk kepada hukum. Kedua, pemerintah menghormati hak-hak individu. Ketiga, peradilan yang bebas dan imparsial (tidak memihak). Indonesia mengadopsi sistem negara hukum dengan menjabarkan ke dalam beberapa prinsip. Pertama, indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) bukan negara kekuasaan (Machtstaat). Kedua, pemerintah berdasarkan konstitusi, penguasa harus tunduk kepada konstitusi bukan menyiasati konstitusi.

 

Beliau juga menjelaskan bahwasannya negara-negara maju yang sebelumnya telah disebutkan dalam data, negara-negara tersebut memiliki tradisi pemerintah yang tunduk kepada konstitusi dan hukum. Konstitusi merupakan political consensus, perjanjian luhur antar bangsa yang sepatutnya kita terapkan dalam kehidupan bernegara, “apabila pemerintah sebagai orang yang memiliki kekuasaan yang besar tidak tunduk kepada konstitusi dan hukum, maka itu merupakan pertanda yang tidak baik bagi sebuah negara yang mengklaim sebagai negara hukum.” ujar Prof. Iwan.

 

Prof. Iwan menyebutkan bahwa menurut World Bank, ada kaitan positif antara negara hukum terhadap pertumbuhan ekonomi. Negara hukum dengan sistem hukum yang baik akan secara otomatis menarik para investor untuk berinvestasi dengan negara tersebut. Sebaliknya, para investor cenderung menghindari negara dengan tingkat hukum yang buruk. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan tingkat kepercayaan antara investor dengan dua jenis negara hukum tersebut. 

 

Apabila suatu negara berhadapan dengan pertumbuhan ekonomi yang buruk, maka yang salah satu hal yang perlu untuk dievaluasi adalah bagaimana hukum dalam negara tersebut berdiri. Apakah aparat-aparat negara menjalankan tugas sebagaimana mestinya, atau seberapa banyak tingkat korupsi yang terjadi negara tersebut. “Selama kita tidak bisa memberikan kepastian hukum, keamanan kepada mereka (investor), mereka tidak akan mau berinvestasi di negara kita dan kalau kita tidak bisa memberikan itu, maka kita punya masalah dengan pertumbuhan ekonomi.” ujar Prof. Iwan.

 

Dalam akhir ceramahnya, beliau menceritakan kisah tentang kekhalifahan di masa Umar yang berkaitan dengan tradisi pembatasan kekuasan (limitation of power). Ketika seorang sahabat menyebutkan nama anaknya, Abdullah Bin Umar, untuk diajukan sebagai salah satu kandidat pengisi posisi gubernur yang kosong di Mesir. Beliau, Umar menjawab dengan wajah yang merah dan mata yang melotot, “Jangan kau sebut anak ku, jangan libatkan anak dan keluarga ku ke dalam persoalan politik kekuasan ini. Cukup aku yang menanggung beban kekuasaan.” Yang dapat dipelajari dari  kisah ini adalah Umar yang dengan sendirinya membatasi kekuasaan tanpa perlu diperintah atau ditentang oleh orang lain terlebih dahulu. (Fatiya Auliya/Editor: Hafidah Munisah/Foto: Tim Media Kreatif RDK)

 

 

 

Saksikan videonya berikut ini:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.